NYEKAR
M.
Thobroni
Akhirnya
kami memutuskan berangkat nyekar. Jauh-jauh dari Jakarta ke Porong. Bayangkan,
berapa kilo kami harus menempuh perjalanan. Hanya untuk nyekar! Untuk semua
itu, kami harus bertengkar dengan Mbah Dahlan.
Seminggu lalu, Mbah Dahlan menelepon. Pagi sekali suara
telepon rumah berbunyi. Suara lantang terdengar dari telepon. Suaranya keras
dan tegas. Tanpa basa-basi.
“Kalian
harus nyekar Minggu ini juga. Sebelum Ramadhan tiba. Aku ingin kalian nyekar. Nyekar itu
bagian dari ziarah. Ziarahlah. Ziarah kubur itu mengingatkan akhirat!” Tut-tut-tut.
Tanpa basa-basi Mbah Dahlan mematikan telepon. Kami akrab dengan kata-kata Mbah
Dahlan itu. Kami pernah mempelajarinya suatu petang di Langgar Porong. Langgar
Porong tempat kami mengaji di masa kanak-kanak.
Kami terhenyak di kursi mendengar seruan Mbah Dahlan. Ia
meminta kami nyekar. Kami langsung menolaknya. Aku dan istriku menolak keras permintaan
Mbah Dahlan. Dari dulu kami sudah tidak senang nyekar. Sudah pernah kami
sampaikan kepada Mbah Dahlan.
“Buat apa pergi ke kuburan? Mau mencari
tulang-belulang?” sindir kami suatu waktu.
“Memangnya kenapa? Nyekar itu ziarah ke kuburan
keluarga. Dari dulu sampai sekarang kita melakukannya. Kenapa kalian mempersoalkan?”
protesnya.
“Untuk apa Mbah? Mencari jodoh, pesugihan atau
wangsit?”
Dan pertengkaran itu selalu berhenti. Mbah Dahlan
masuk ke langgar.
Nyekar ke kuburan
keluarga memang tradisi kampung kami. Bila Ramadhan tiba pemakaman kampung penuh
warga. Ada yang datang dengan membawa sapu, sabit, dan bunga. Penjual bunga
segera berjajar menjual bunga beragam warna. Saat nyekar, kami membersihkan
kuburan anggota keluarga. Setelah bersih kami taburkan bunga di atas gundukannya.
Agar kuburan wangi. Kami percaya malaikat senang wewangian.
Dulu orang
tua kami rajin nyekar.
“Kalian
harus rajin nyekar. Apalagi jelang puasa,” ujar Bapak mertua. Dengan berbagai
alasan aku menolaknya. Aku bilang kepada istriku tidak suka dengan hal-hal
mistis. Istriku setuju. Jadilah kami pasangan yang tidak pernah nyekar. Sejak
menjadi bagian Kampung Porong, sekalipun tidak pernah aku nyekar. Begitu pula
istriku. Sejak menjadi istriku ia tak pernah nyekar. Bahkan, hingga kami harus
pergi ke ibu kota.
Istriku
menjadi penyanyi dangdut sukses. Kami memulainya dari pentas panggung kampung.
Istriku menyanyi dan aku mengatur jadwal pentas. Sebelum berangkat, Mbah Dahlan
sempat meminta kami nyekar.
“Sebelum
berangkat, pergilah nyekar. Pamit kepada Mbah kalian. Kalian harus ingat
mereka,” ujar Mbah Dahlan.
“Bulan puasa
belum dekat, Mbah?” tangkis istriku.
Aku tahu
alasan sebenarnya bukan bulan puasa. Istriku memang tidak suka nyekar. Itu terjadi
sejak ia menjadi istriku.
“Nyekar dapat dilakukan
kapan pun! Sepanjang tahun. Nyekar bisa dilakukan kala tahun pertama kematian
keluarga. Bisa juga dilakukan jelang upacara perkawinan. Kita harus meminta
restu kepada keluarga yang telah mati,” bujuk Mbah Dahlan.
“Kami ini sudah lama kawin, Mbah. Anggota keluarga
kami juga tidak ada yang mati!”
“Kalian akan pergi ke ibu kota. Kalian harus nyekar
dan mohon doa restu. Meminta kekuatan batin karena merantau. Kalian akan
menghadapi tantangan. Kalian pasti punya hajat, keinginan besar, cita-cita.
Nyekarlah, minta restu kepada kakek-nenek kalian!”
Selepas pertengkaran itu kami tetap berangkat ke ibu
kota. Istriku terikat kontrak pentas dangdut dengan TV swasta. Kami berangkat
ke ibu kota. Dan tetap tidak nyekar ke kuburan. Kami berharap pergi ke ibu kota
memutus hubungan dengan nyekar. Tentu dengan biang kejengkelan kami: Mbah
Dahlan.
Rupanya Mbah Dahlan tak jera. Ia kembali menghubungi
kami. Ia berhasil menemukan nomer telepon rumah kami.
“Bagaimana kabar kalian? Apakah kalian sudah
melaksanakan pesanku?”
“Pesan apa, Mbah?” tanyaku. Aku yang mengangkat
telepon.
“Nyekar. Apakah kalian sudah nyekar?”
“Mbah, tolonglah. Kami sudah bilang tidak suka nyekar.
Kenapa Mbah mengejar. Biarkan kami nyaman dengan kehidupan baru. Sebagai orang
kota, kami ingin mengejar cita-cita. Istriku penyanyi dangdut papan atas.
Rencana kami, uang hasil pentas dangdut kami gunakan merintis bisnis.”
“Bagus. Aku mendukung kalian. Memang cita-cita harus
di kejar. Kata Bung Karno, gantunglah cita-citamu setinggi langit!”
Aku mengumpat dalam hati. Sialan, untuk apa ia
mengutip Bung Karno? Aku diam saja. Kubiarkan Mbah Dahlan terus bicara.
“Nyekar atau ziarah kubur
dapat memberi pelajaran bagi kita. Kita dapat belajar dari orang yang wafat.
Kita bisa menapaktilasi perjalanan hidupnya. Kita bisa refleksi diri. Memang nyekar
dan ziarah kubur bukan keharusan. Namun bukan hal sia-sia. Doa itu sebenarnya
bukan hanya untuk leluhur. Namun untuk peziarah. Untuk kita. Untuk kesuksesan
hidup kita di dunia dan akhirat.”
“Apa hubungannya
nyekar dengan kesuksesan, Mbah?”
Aku masih
berusaha sabar.
“Ketahuilah, Nak. Nyekar sejatinya untuk kita
yang masih hidup. Bukan untuk mereka yang telah mati. Kematian itu sudah
ketentuan Tuhan, bukan? Bukan mendatangi kuburan itu sejatinya. Tapi kemauan
kita untuk belajar kepada leluhur. Belajar kesabaran dan keteguhan. Belajar
untuk merawat rumah tangga kita, kampung kita, masyarakat kita, dan bangsa
kita! Itu yang penting.”
Lelah aku
mendengar nasihat-nasihat Mbah Dahlan. Bagiku semua tidak masuk akal. Diam-diam aku menutup telepon rumah. Dan
suara bordering-dering seperti memekakkan telinga.
Pertengkaran itu
pun lewat sebulan. Mbah Dahlan tak lagi menelepon kami. Tapi, entah kenapa
tiba-tiba ia menelepon lagi. Aku malas menerima telepon. Aku meminta istriku
yang mengangkatnya.
“Kalian harus
pulang. Kampung kalian terancap lenyap! Kampung kalian bakal tenggelam!”
Suara Mbah Dahlan
terdengar nyaring. Istriku seperti bingung. Tapi dia tetap bersuara.
“Kenapa
memangnya, Mbah?”
“Ada lumpur panas
membanjiri kampung kita. Kampung kita akan tenggelam!”
Suara Mbah Dahlan
itu menambah jengkel kami. Kami sudah mendengar beritanya. Aku juga sudah
membaca beritanya di koran. Istriku juga mengikutinya dari TV. Untuk apa pula
Mbah Dahlan menceritakannya?
“Ya, Mbah. Kami
sudah melihatnya di TV. Memang ada semburan dari sumur minyak itu. Tapi kampung
kita tak akan tenggelam, Mbah.”
“Kalian sudah
melihat semburan sumur minyak itu, kenapa tak juga pulang? Pulanglah! Kampong
kita akan tenggelam.”
“Ah, jangan
mengada-ada, Mbah. Tak akan!”
“Aku seperti
punya firasat buruk.”
“Itulah, Mbah.
Jangan terlalu terbawa firasat. Hidup harus rasional. Jangan selalu
berperasaan.”
Pertengkaran itu
pun kembali terhenti. Dalam jangka waktu lama, Mbah Dahlan tak pernah menelepon
kami. Mungkin ia sudah jera. Dan itu membuatku bersyukur.
Kami tetap
mengikuti berita dari TV. Di TV kami melihat ada pakar mengkritik pemerintah
yang dianggap tidak serius menangani luapan sumur minyak. Juga ditayangkan gambar-gambar masyarakat korban yang dirugikan. Mereka harus mengungsi dan kehilangan mata
pencaharian. Sebagian mereka juga tidak mendapatkan kompensasi yang layak. Seorang warga yang diwawancarai TV
mengungkapkan kejengkelannya, “Coba Anda lihat, semua sarana-prasarana rusak. Jangan
bilang tidak terjadi apa-apa di sini!”
Selama itu kami
mengandalkan kabar kampung kami dari TV. Dan selama itu pula kami tak menerima
telepon dari Mbah Dahlan. Kecuali seminggu yang lalu itu.
“Kalian harus
pulang kampung. Kalian harus nyekar! Ini sudah bahaya!” katanya berteriak-terak
lewat telpon, ““Kalian harus nyekar Minggu ini
juga. Sebelum Ramadhan tiba. Sekarang aku ingin kalian nyekar. Karena nyekar itu bagian
dari ziarah. Berziarahlah. Karena ziarah kubur itu mengingatkan akhirat!”
Kami terdiam
dalam beberapa menit. Sampai istriku membuka suara.
“Mungkin ada
baiknya kita pulang kampung, Mas. Tidak ada salahnya kita nyekar,” ujarnya
sambil menghela napas.
Aku tak menduga
ia berkata begitu.
“Kenapa tiba-tiba
berubah?”
“Kita sudah
mendapatkan banyak hal di kota ini, Mas. Ada baiknya kita pulang kampung.
Melihat keadaan kampung kita. Aku jenuh juga hidup di ibu kota. Berangkat pagi
pulang malam. Latihan dan pentas. Selalu seperti itu setiap hari. Apakah engkau
tak kenal rasa jenuh atau bosan? Aku jenuh, Mas! Aku ingin pulang!”
“Kita bisa
rekreasi ke Puncak atau Lembang bila engkau mau?”
“Ah, engkau
seperti tak mengenalku sebagai istri, Mas. Apakah engkau tak lagi dapat
merasakan apa yang kurasakan? Aku jenuh, lelah. Bukan lelah tubuh yang
kukeluhkan. Tapi, lelah rasa dan pikiran, Mas! Aku ingin mengenang masa kecil
dulu. Di kampung melihat kali bening. Aku ingin menengok langgar Porong tempat
aku mengaji dulu. Aku ingin mengunjungi kuburan tempat kami pernah mengenal
rasa takut. Aku juga ingin nyekar ke kuburan kakek-nenek. Sejak aku menjadi
istrimu, aku tidak lagi nyekar. Karena aku mencintaimu, Mas. Aku menghormatimu.
Aku menghargaimu yang tak suka nyekar. Tapi, sejak itu aku merasakan ada yang
hilang dalam diriku. Kecintaanku kepadamu seperti memupus kecintaanku kepada
yang lain. Dan saat ini perasaan itu seperti membuncah bercampur-campur dengan
kangen, kehilangan, keinginan bersua, keinginan untuk bercengkerama dan
bercerita dengan kakek-nenek. Bahkan, engkau harus tahu bahwa nenek yang
pertama kali mengajarkanku menyanyi! Tak ada salahnya bukan mengunjungi
kuburnya sekadar berdoa sebagai ucapan terima kasih?”
Begitulah, aku
akhirnya kalah oleh penjelasan istriku. Ia mungkin benar. Kami harus nyekar. Aku
berpikir mungkin ini saatnya bertemu
Mbah Dahlan pula. Aku ingin memintanya untuk tidak menelepon kembali. Mungkin
dengan berbicara baik-baik Mbah Dahlan dapat mengerti. Tidak perlulah Mbah
Dahlan menelepon, apalagi untuk hal-hal yang menurutku tidak penting.
Akhirnya kami
benar-benar tiba di Sidoarjo. Kami telah memutuskan untuk pulang kampung dan
nyekar. Sidoarjo belakangan ini lumayan crowded dibanding hari-hari
biasa. Masa liburan telah usai, namun ternyata bukan hanya liburan yang membuat
Sidoarjo agak ramai. Tapi sehubungan datangnya bulan Puasa yang mengakibatkan antrian
kendaraan. Jalanan seperti orang panik yang dipenuhi kendaraan hilir-mudik
diselingi klakson bersahutan.
Ya, inilah bulan Sya’ban atau Ruwah kota kami. Inilah bulan yang dianggap tepat memanjatkan do'a
agar arwah lelehur atau kerabat diberikan tempat yang layak. Kami meyakini arwah
leluhur akan datang mengunjungi anak cucu di dunia. Sebab itulah kami melakukan
nyekar. Nyekar berarti kami membawa kembang
alias bunga. Karena itulah, kami segera membeli
bunga. Bunga akan ditaburkan di atas gundukan kuburan leluhur.
Mbah Dahlan
menjemput kami di gerbang Porong. Ia berlari-lari kecil seperti menjemput
rombongan haji pulang kampung. Ia diiringi masyarakat kampung lain. Kami
menjadi terharu.
“Sebaiknya kita
langsung ke kuburan saja. Selepas itu kita kembali ke Jakarta,” ujarku.
“Kamu belum
berubah, Nak. Masih ketus seperti dulu,” ujar Mbah Dahlan.
Mbah Dahlan
segera mengajak kami ke atas tanggul. Aku benar-benar dibuatnya jengkel.
“Mungkin kita
segera saja ke kuburan!” kataku ketus.
“Kamu benar, Nak.
Kita sudah tiba di kuburan. Di sinilah kita akan nyekar. Di sinilah semuanya
telah terkubur. Rumah, harta, ternak, dan masa depan kita. Taburkan bunga itu
di sini,” ucap Mbah Dahlan.
Aku terhenyak di
tempatku berdiri. Hamparan lumpur terbentang. Burung-burung bertahlil
mengirimkan dzikir kematian. Pusaran air panas menggelegak. Asap membumbung.
Gelisah hingga ke ubun-ubun.
++++++++++
M. Thobroni. Lahir di Jombang 25
Agustus 1978. Pernah mondok di Pondok Pesantren Hidayatullah, dan Pondok
Pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta, aktif di Jamaah Pengajian Selasanan
(Jampes, asuhan budayawan almarhum K.H. Zaenal Arifin Toha), pernah menjadi
relawan dalam kegiatan sosial di Yayasan Al Falah Yogyakarta, Jaringan Advokasi
dan Kebijakan Publik (Jangkep), Syarikat Yogyakarta, menimba ilmu kepada KH.
Mustofa Bisri (Leteh, Rembang), KH. Hasan Abdullah Mlangi, Yogyakarta, dan
guru-guru spiritual yang lain. Lulusan Sastra Indonesia FBS UNY dan Magister Pendidikan
Sastra Anak Program Pascasarjana UNY. Menulis buku Mukjizat Sedekah, Puring
Mahkota Indonesia, Tahajud Energi
Sejuta Mukjizat, Obsesi: Jadi Penulis
Beken, Kiat Asyik Mendongeng, Kisah Si Tokek dan Si Cicak, Kisah Si Sawa, Asyiknya Prosa, Indahnya Puisi, Jurus Jitu Surat Menyurat, Cara Mudah
Bikin Karya Ilmiah, Biografi Kreatif
Gus Mus, Mahabbah Gus Mus, Buku
Pintar Dakwah, Buku Pintar Anak Sholeh, Kubah Mutiara dan Cerita Islami Lain
untuk Anak, Dunia Belum Kiamat: Mengungkap Kontroversi Ramalan Akhir Zaman
Menurut Agama-agama, Kepercayaan dan Sains, Cara gampang Bikin Mading,
Dialektologi Pengantar Teori dan Praktik Kajian, Belajar dan Pembelajaran, Korespondensi, Bahasa Indonesia Komunikasi Lisan dan Tertulis di Perguruan Tinggi
(bersama Zulkifli dan Erna Wahyuni), juga tergabung dalam buku Grafiti Imaji, Mencari Tanda Sunyi, Daftar
Hitam Dendam, Jejak Orang Gelisah,
Masa di Titik Sudut, Catatan Ziarah, dan sebagainya. Tulisannya dimuat Kuntum, Suluh, Fadhilah, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Republika, Jawa Pos,
Pelita, dan lain-lain. Saat ini mengabdi sebagai Staf Pengajar di Jurusan
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Borneo tarakan, sebuah perguruan tinggi di kawasan
perbatasan utara Indonesia. Selain mengajar, juga aktif membangun dan
mendampingi komunitas seni budaya seperti tari, teater, penulisan kreatif di
kawasan perbatasan, baik komunitas guru, komunitas muda, dan anak-anak. Aktif
mengisi acara talkshow pendidikan dan kebudayaan di Radio Republik Indonesia
Tarakan, Tarakan TV, dan menjadi pembicara pelatihan, seminar, diskusi, dan
juri lomba puisi, lomba mendongeng, serta lomba cerdas cermat. Website: www.thobroni.com; email/facebook: galangkautsar@yahoo.com ; twitter:
muh_thobronie; HP 0821 5026 0727.
Comments
Post a Comment