CERITA PENDEK EVAN YS
Sepanjang Bukit Karamuntiang*
“Gubrakk!!
Ini
pasti ulah Tina yang tidak pernah benar melakukan apa-apa. Tidak pernah
memegang apapun tanpa suara kencang seperti petir. Dia tidak pernah peduli
orang lagi tidur atau serius mengerjakan tugas kuliah yang membutuhkan
konsentrasi. Kenapa ya anak ini dilahirkan dengan kurang cermat tapi kelebihan
berat badan. Sungguh mencengangkan
sekaligus mengesalkan.
“Tiiiinnn..kenapa
siiih..” teriakku setengah malas
“Hahahaha…
maaf non…hihihihihi” jawabnya santai tanpa dosa.
“Aduh..aku
kira ada truk yang terbalik” balasku kesal.
Dia
cengar-cengir seperti bola basket yang melantun. Pipi tembemnya membentuk donat
tanpa gula. Ini anak benar-benar mengesalkan, tidak pernah bersalah atas
kesalahannya membangunkan aku yang baru saja tidur karena begadang semalam
suntuk menyelesaikan bahan presentasiku siang ini. Aku terpaksa bangun dan menguap
beberapa kali sebelum masuk kamar mandi . Aku paling tidak bias tidurku
terganggu. Nanti akhirnya akan berbuah pusing nih kepala. Padahal hari ini
presentasi kelas bu Armini yang membuat tiap orang bergidik. Mata dan senyumnya
itu yang membuat setiap diri merasa kecil dan bodoh di depan dosen perempuan
satu ini. Aku tentu saja tidak mau mati konyol di kelas beliau yang terhormat
ini.
“Hebat
kamu Mel, kali ini bu Armini tak berdaya dan lupa mengembangkan senyum sinisnya.”
serbu Vini saat keluar kelas.
“Ah,
biasa aja Vin.” jawabku tenang.
“Apanya
yang biasa?..Kamu sudah mengalahkan singa itu di kelas, kok biasa sih? serang
Vini berkacak pinggang menghalangi jalanku.
“Iyaa…trus
aku harus jingkrak-jingkrak? tanyaku geli..
“Tidak
perlu jingkrak-jingkrak sih, tapi wajahmu itu jangan rata kayak kaca dong.”
jawabnya tidak terima.
“Aku
senang kok, bias menyelesaikan presentasi ini tanpa kendala, jadi tidak sia-sia
aku begadang semalam suntuk mempersiapkan diri.”
“Heeiiii…kok
kamu pucat Mel, kita ke kantin ya.” kata Vini khawatir.
“aku
mau pulang, sorry ya..aku ngantuuuk banget. Tadi si tembem bikin aku tidak bias
tidur.”
“Aku
kok tidak yakin melepas kamu pulang ya Mel..aku antar deh” kata vini menawarkan
jasa.
“Jangan.
Aku pulang sendiri aja.”cegahku.
“Meeelll…”jeritnya
menolak.
“Sudah.
Suaramu mencuri perhatian yang lain…”
“Kamu
kenapa sih Mel, masalah sama Rizky? selidiknya..
“Tidak.
Dan dia baik-baik saja.” candaku
“Risky
mencarimu, katanya kamu sangat sulit ditemuinya.” kata Vini serius.
“Mungkin
karena sibuk saja barangkali, aku lagi banyak tugas, dan dia sering mendaki
akhir-akhir ini.”
“jangan
main-main Mel, Bimo juga sibuk, tapi dia tetap mencariku dan aku selalu
meluangkan waktu bersamanya.”Hujatnya.
“Ah…biasa
saja..tidak ada masalah kok.”
“Benarkah?katanya
tak percaya.
“Yap!kalau
kamu ketemu Risky, bilang dia untuk mencariku dalam hujan, pasti bertemu.” balasku
santai.
“Meeeelll..aku
serius.” hardiknya marah.
“Aku
juga serius. Eehh..wajahmu jelek sekali kalau melotot. Seperti nenek sihir:” kataku
menggoda Vini.
“Aku
kasihan lihat Risky..mencarimu dan sibuk bertanya tentangmu..bahkan dia merasa
telah menyakitimu.” balas Vini prihatin.
“Tidak
ada masalah non, aku pulang dulu, nanti siang aku ngajar di kelas menulis.,”
sahutku ringan sembari berlalu.
jeritnya
tidak percaya.
Aku
hanya melambaikan tangan dan pergi meninggalkannya yang masih berkerut tujuh
keliling. Aku berlari cengar-cengir. Aku melihat Vini yang cantik tersungut
marah kutinggalkan. Matanya membesar dengan tangan masih berkacak di
pinggangnya yang langsing.
Ada
apa denganku, kalau hanya sekedar ngantuk tidak akan membuatku kehilangan
tenaga begini. Aku menyusuri trotoar kampus sendiri. Aku menyukai sunyi, karena
sunyi memberiku ruang untuk mencoba memahami diriku. Semua aku tuliskan dalam
catatan kecil.
“Kenapa
Mel, ada yang salah hingga kamu menghindariku? selidik Risky suatu sore kala
menyusuri hamparan bukit .
“Tidak
ada. Semuanya biasa saja”. Jawabku menghindar.
“Kamu
semakin jauh, aku tidak mengerti kenapa.” kata Risky lembut.
“Jangan
terlalu dipersoalkan, kamu sibuk dengan Mapalamu dan aku juga sibuk dengan
kelas menulisku, jadi tidak ada masalahkan?paparku sembari tersenyum.
“Bukan
itu. Aku mengenalmu dengan baik. Aku tahu apa yang ada di matamu. Kau sengaja
menghindari aku. Kesibukan kita bukanlah alasan.” tuding Risky
“Aku
tidak apa-apa kok, tidak ada masalah dengan mataku. Hanya mungkin karena aku
kurang tidur jadinya mood ku agak bermasalah…”Jawabku sekenanya.
“Sekarang
November dan musim hujan, kenapa peri kecilku justru mengurung diri.”katanya
seperti kepada dirinya sendiri.
“Lagi
banyak tugas Bung, jadinya hujan selalu terlewatkan.” sahutku berusaha santai menghindari
mata Risky yang menusuk.
“Aku
sayang kamu, hujan mengingatkanku selalu pada tubuh kecil yang menari dalam
hujan dan aku menyukainya.” Jawab Risky sembari tetap menatapku dengan kasih
sayangnya yang membuatku menahan diri untuk memeluknya.
Aku
tersentak. Semua karenamu aku menahan diri untuk tidak menikmati hujan, batinku
berat. Sebenarnya apa yang salah dengan Risky? Dia dating dengan warna coklat
tanah seperti yang kusukai. Dia memberi warna-warna baru dalam kehidupanku.
Teman diskusi yang asyik dan berwawasan luas. Dia menyayangiku seperti pelangi
di musim hujan.
Sebenarnya
apa yang salah dengannya. Dia yang selalu dating dengan setangkai edelweis
ketika kembali dari pendakian. Dia membawa cerita tentang gunung dan segala
keindahannya. Juga cerita-cerita perjalanan baktinya bersama teman-teman
Mapalanya. Aku mendengarkan dan menyimpannya jadi bahan tulisan-tulisanku.
Tidak ada yang salah sebenarnya.
Aku
memandang Risky yang terdiam memandang edelweis pemberiannya yang kususun rapi
dalam vas dan sebagian lagi aku kreasikan di dinding dan lemari kamarku. Aku mulai jenuh dengan segala kesempurnaannya.
Cowok tinggi bermata tenang itu membuatku bosan. Aku kehilangan irama
bersamanya. Aku butuh seseorang yang tidak memanjakan aku, dan tidak hanya memujiku.
Aku butuh orang yang mengkritik dan bilang aku salah saat aku berbuat salah.
Aku hanya memandangnya
lekat-lekat sambil tersenyum sumbang dan kemudian berlalu dihadapannya tanpa
menghiraukan suaranya yang mengusik dan mengejar langkahku dan menghalangi
jalanku. Aku benar-benar tidak ingin terusik.
“Meeeelllll….”
“Kenapa
Vin?Bimo menyakitimu.” tanyaku bodoh
Vini
menggelengkan kepala dan kembali memelukku erat. Aku tercenung saat aku lihat
bimo juga sudah berada di hadapanku dengan pakaian yang sangat kotor. Wajahnya
kusut dan sayu, pakaiannya masih menyisakan tanah.
“Ada
apa Bim? aku makin tidak mengerti.
“Risky
Mel..dia kecelakaan…
“Apa????
tanyaku kaget.
“Sekarang
kita ke rumah sakit. Risky di sana. Aku minta maaf Mel, tidak membantu Risky.”
sesal Bim tertunduk.
“Risky
terperosok saat membantu seorang penduduk yang terkepung dalam tanah longsor.
Dan ketika Risky membantunya, tanah itu runtuh dan menimpa Risky…
Aku
tercenung dan tidak lagi mendengarkan penjelasan Bimo dan Vini, aku rasakan
dunia sangat gelap dan berputar-putar. Berat menghantam dadaku yang ringkih,
sesak tak terkata.
Aku
terpaku di depan gundukan tanah merah dan hujanpun mengguyurnya. Aku tidak tahu
harus berbuat apa. Cowok bermata tenang itu benar-benar pergi saat aku mulai
merasakan kejenuhan bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan hal ini terjadi.
Dia tidak bilang kalau akan pergi kegiatan social. Kenapa dia hanya bicara
tentang hujan dan memandang edelweis dalam vas.
Aku
mencoba menelusuri segala kejadian demi kejadian yang bergulir sepanjang
perjalanan kami yang tidak istimewa. Rizky menawarkan cerita cinta tanpa kuasa kutolak,
matanya begitu teduh seperti telaga yang mengalir tenang. Aku menemukan tempat
terbaik dan sangat memalukan kalau itu adalah cinta pertamaku.
Permulaan
yang sangat sederhana dan bias terjadi kepada setiap orang, dan kami bertemu
tanpa perkenalan yang berarti. Aku suka menikmati perjalanan dari kampus menuju
tempat kost berjalan kaki. Menurut Vini hal itu sangat gila dan menghitamkan
kulit tapi aku suka menyusuri bukit karamunting ini sendiri. Aku senang dengan
kupu-kupu dan capung yang beterbangan di atas pohon-pohon karamunting. Aku
seperti mendapatkan irama hidup yang kujalani dengan sungguh-sungguh. Kemudian
akan menulis dalam kamarku hingga larut malam.
Aku
menyukai hujan dan suka bermain hujan seperti Risky yang menyukai hujan tetapi
tentu saja tidak suka main hujan sepertiku. Aku menemukan masa kecilku yang
terpenggal dalam hujan yang memberi
sensasi yang sulit diungkapkan. Bukankah tidak semua hal mesti punya alasan,
dan tidak semua kesukaan memiliki penjelasan juga. Seperti itulah aku selalu
asyik dengan kesukaan-kesukaanku yang dipandang aneh oleh orang-orang
sekelilingku.
Aku
kembali terjebak oleh segala kenangan dan bayangannya yang sulit untuk pergi. Segala senyumnya dan
sesalku berbaur sepanjang langkah yang kuayun. Aku mencintainya dan sangat
mencintainya.
Sekarang
dan untuk selanjutnya, aku akan tetap sendiri menikmati kenangan sepanjang Bukit
Karamunting. Aku akan tetap menyukai hujan dan akan selalu bermain dalam hujan.
Aku akan tetap merasakan telaga tenangnya menatapku berbinar ketika aku bermain
dalam hujan. Aku akan tetap menari di
bawah hujan.
Ini
November lagi Bung, tapi aku akan melewatinya tanpamu. Aku menyusuri Bukit Karamunting
sendirian. Mengumpulkan segala kisah kita yang tercecer dalam hujan. Aku pungut
segala kisah hingga yang terkecil dari kita. Aku menari sendiri melewati November dalam
geletar sunyi tanpa kehangatan matamu yang mengiringiku. Kau akan tetap hidup
dalam angan dan mimpi-mimpiku.
Kenangan
sepanjang Bukit Karamuntiang, 2013
Karamunting: jenis tumbuhan berbuah kecil-kecil berwarna ungu, tumbuh
di sepanjang perbukitan jalan menuju
kampus Universitas Andalas yang terletak di Limau Manih.Padang
++++++++++.
Evan
Ys, Lahir di sebuah kota yang dingin bulan September. Padang Panjang,
Sumatera Barat. Dan kemudian merantau ke Jakarta. Suka menulis, teater, baca
puisi, dan mengkaji karya sastra. Bernaung di atap Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Jakarta. Sekarang sedang mempersiapkan buku antologi puisi
tunggal. Email evanys99@gmail.com
kontak telepon 0813-1068-9463
Comments
Post a Comment