Apakah
Namamu Ibrahim?
Oleh Mardiana
Kappara
Tidak ada hal
yang paling menakutkan bagiku, kecuali ketika aku harus memasuki ruangan ini.
Ruangan 4 x 6 meter. Bercat putih gading dengan sedikit ornamen merah. Sebuah
meja kerja dari kayu jati di tengah ruangan. Permadani lembut terhampar di
lantai. Sekitar 12 kepala binatang diawetkan yang tergantung berjajar di
dinding. Beberapa rak berisi gerabah antik beraneka ukuran. Serta aroma pengap
yang begitu akrab menyergap setiap kali aku memasukinya.
Tentu tidak
tampak hal yang di luar kewajaran apabila melihat pertama kali ruangan
tersebut. Semua tampak biasa. Lelaki kate si pemilik ruangan tersebut pun
demikian. Tetapi, cobalah perhatikan mata lelaki itu. Pandang betul manik matanya.
Sepasang mata yang tidak biasa. Begitu tajam. Selalu tampak merah dan bengis.
Mata yang seolah memiliki taring. Mata itu yang membuatku selalu merasa takut
berada di dalam ruangan tersebut.
“Kau sudah
datang, jongos?”
Aku berusaha
tersenyum. Lelaki kate itu baru menyadari kedatanganku. Atau berpura-pura tidak
menyadari sebelumnya. Dia sedang sibuk menulis sesuatu di atas meja kerja.
“Ada sesuatu
yang ingin kau laporkan hari ini?”
Aku mengangguk.
“Berita baik
atau buruk?”
Aku menelan
ludah. Setengah menunduk. Tanpa satu kata pun mampu terlontar.
“Sudah siap
semuanya?” lelaki itu meletakkan penanya. Duduk dengan anggun di atas kursi
kebesaran. Dia menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk.
“Be,.. Belum,
tuan.”
“Belum?” tampak
beberapa kerut langsung tercipta di dahinya setelah mendengar jawabanku.
Aku mengangguk.
Cemas.
Lelaki kate
memicingkan mata. Berusaha menembus batok kepalaku.
“Jadi, selama
ini apa yang sudah kau kerjakan?”
“Saya sudah
berusaha mencari, tetapi yang Tuan minta bukanlah hal yang mudah.”
Tiba-tiba lelaki
itu meraih sebuah gerabah di atas meja jati dan melempar gerabah berbentuk babi
sebesar kepalan tangan lelaki dewasa tersebut ke arahku. Tepat mengenai jidat. Kurasakan
benar perihnya. Bisa jadi kepalaku berdarah. Karena nyerinya tertinggal begitu
lama di lapis kulit terluar dan kurasakan sesuatu mengalir mengikuti arah gravitasi.
Gerabah itu langsung hancur sebelum
menyentuh lantai. Sementara tanganku sama sekali tak refleks bergerak untuk
meraba bekas lemparan tersebut.
“Bodoh! Berani
benar kau berkata begitu!”
“Maaf, Tuan.”
“Jangan minta
maaf. Aku tidak butuh kata maaf!”
“Sungguh, Tuan. Saya
sudah berusaha mencari kemana-mana, tetapi tidak satu nama Ibrahim pun dapat
saya temukan di muka bumi ini.”
“Omong kosong!”
“Bagaimana
mungkin saya berani berdusta, Tuan?”
“Tidak mungkin
kau tidak menemukan satu pun manusia bernama Ibrahim!”
“Tuan sudah
membunuh nyaris 28,07 juta Ibrahim
di muka bumi ini,”
“Lebih ratusan
juta manusia yang berkeliaran di muka bumi ini, jongos!”
“Tetapi angka
itu terlalu besar untuk diabaikan orang, Tuan.”
“Maksudmu?”
Aku diam. Ragu
untuk bicara.
“Maksudmu,
Jongos?” dia mengulang kembali pertanyaannya dengan nada pelan.
“Sa,..Saya tidak
ingin membuat analisa yang salah. Sebagai pembantu saya cuma mengerti
perintah.”
“Aku tidak tanya
basa-basimu. Aku ingin tahu pendapatmu!”
Aku kembali diam.
Kulirik lelaki kate di depanku.
“Bicara!”
Aku menelan
ludah.
“Saya, saya
merasa,... Ini cuma pendapat seorang yang tidak paham apa-apa, Tuan,” kataku
dengan nada yang semakin lama semakin kutekan.
“Katakan!”
“Ini cuma
analisa saya yang bodoh!”
“Aku tidak
peduli dengan kebodohanmu, aku hanya ingin tahu pendapatmu!”
Untuk kesekian
kali, aku kembali menelan ludah.
“Apa susahnya
bicara, goblok!”
Si lelaki kate
tampak tak sabar mendengar suaraku berikutnya.
“Menurut saya, mungkin,
ini hanya sebuah perkiraan saja,”
“Iya?”
“Mungkin
pertunjukan sulap yang ingin Tuan pertontonkan itu tidak terlalu luar biasa,”
“Maksudmu?”
tubuh katenya seketika tegak dari duduk.
Langkahku
langsung tersurut tanpa kusadari. Gemetarku bertambah.
“Sekali lagi,
ini cuma analisa orang bodoh, Tuan.”
“Kau menghina
ide yang sudah aku perjuangkan bertahun-tahun?” terasa berang pertanyaan lelaki
itu.
“Ti, tidak,
Tuan.”
“Lalu?”
“Maksud saya,
melakukan sulap dengan pengorbanan seorang manusia menjadi domba itu bukan
pemandangan yang luar biasa lagi. Itu sudah terlalu biasa. Tidak lagi menyimpan
sesuatu yang berbeda. Lagi pula, uji coba yang Tuan lakukan ini sudah terlalu
lama. Menghabiskan begitu banyak waktu dan nyawa. Saya mencemaskan, hal ini malah
akan merusak citra Tuan sebagai seorang pesulap yang digdaya.”
Lelaki kate
beranjak dari balik meja jatinya. Dengan langkah berderap dia mendekatiku. Di
kelilinginya tubuh ringkihku yang nyaris setegak sapu.
“Apa kau punya
penjelasan yang cukup masuk akal mengenai pendapatmu barusan?”
Aku berusaha
mengumpulkan kata-kata yang tepat di dalam kepala.
“Sa,.. Saya
sudah berkelana sangat jauh untuk menemukan seorang manusia yang bernama Ibrahim.
Ibrahim berikutnya. Saya kira, pekerjaan ini akan semudah pekerjaan-pekerjaan
sebelumnya. Tetapi ternyata saya salah,” aku menarik nafas. Kurasakan suaraku
agak tersengal.
“Iya?” dia tetap
mengelilingiku.
“Peristiwa ini
telah menjadi pembicaraan horor di luar sana, Tuan. Semua orang yang memakai
Ibrahim di dalam namanya langsung menukar nama mereka. Perempuan-perempuan
gadis maupun janda segera memutuskan menikah untuk menghapus nama Ibrahim di
belakang nama mereka. Ibu-ibu hamil tidak lagi memilih nama Ibrahim untuk calon
bayi mereka. Nama Ibrahim berusaha dikubur. Bahkan tidak ada satupun orang yang
berani untuk menyerukan nama Ibrahim lagi. Di kamus dan buku cerita nama
Ibrahim berusaha dihapuskan. Ibrahim berubah jadi momok yang sangat mengerikan
bagi dunia. Dan perlu Tuan sadari, tragedi ini terjadi karena ulah yang Tuan
lakukan demi sebuah usaha untuk menciptakan sulap yang spektakuler.”
Lelaki kate itu
berhenti mengitariku. Dia berdiri tepat di depanku. Tubuhnya hanya setengah
tinggi tubuhku. Tetapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mencekiknya.
Seperti ada aura magis yang membuatku tak mampu melakukan apapun di depan
lelaki itu. Aura yang mampu memantek tangan dan kakiku. Bahkan sekujur tubuh
ceking yang kumiliki.
“Kau menilai
sulapku tidak spektakuler?” kembali dia memicingkan mata.
“Bukan rata-rata
sulap yang telah Tuan ciptakan. Tetapi ide mengenai Ibrahim ini.”
“Aku sudah
menghabiskan begitu banyak waktu, uang, dan tenaga, lalu kau bilang ide
mengenai Ibrahim ini tidak spektakuler sama sekali?”
“I, iya, Tuan.
Ini malah sangat basi.”
“Basi!!!” suara seruannya
kurasakan sangat menggelegar.
Aku tidak ingin
melanjutkan bicara.
“Apalagi selain
basi bagimu?”
Aku menggeleng.
“Bicara, atau
aku akan lebih marah!”
Aku menggangguk.
“Tapi, Tuan
harus menyadari, ini cuma pendapat seorang jongos.”
“Karena aku tahu
kau jongos. Maka bicara! Atau kau ingin kulipat dalam peti sulap?”
Aku menggeleng
kuat-kuat.
“Menurut saya,
sebagai orang awam. Terdapat satu lagi alasan yang jelas-jelas tidak benar dari
sulap yang sedang Tuan eksperimenkan ini,”
“Bicaralah, aku
mendengarkan.” Lelaki itu melangkah ke belakangku.
“Persepsi Tuan saya
kira telah salah besar.”
“Persepsiku
salah?”
“Bukankah dalam
sejarah yang dikorbankan bukan Ibrahim tetapi Ismail?”
Dia langsung
menendang belakang lututku. Membuatku jatuh bertekuk. Seketika itu juga dia menempeleng kepalaku. Membuat
pusing yang sangat luar biasa. Pandanganku otomatis berkunang-kunang. Aku
nyaris saja tersungkur. Tetapi tubuhku masih berusaha berdiri tegak di
posisinya.
Kini lelaki
pendek itu berdiri tepat di depan wajahku.
“Kau tahu namaku
adalah Ismail bin Ismail. Jadi, maksudmu aku harus mengorbankan diri?”
Aku tak mampu
menjawab. Kepalaku terlalu sakit setelah dilempar gerabah dan ditempeleng.
“Aku sungguh
tidak menyangka kau mampu menghina Tuanmu dengan sedemikan rupa. Bukankah aku
yang telah mengayomi hidupmu?”
“Tuan yang
meminta saya bicara.”
“Bicaralah yang
pantas.”
“Kalau Tuan
tidak ingin mendengar kejujuran dari saya, kenapa Tuan meminta saya bicara?
Saya mengabdi pada Tuan dengan penuh kesetiaan. Rasa setia itu telah membuat
saya mencintai Tuan dengan tulus. Saya bicara jujur karena saya mulai
mencemaskan Tuan.”
Dia tertawa.
“Tuan mungkin
dalam bahaya besar. Tuan telah menciptakan rasa takut yang luar biasa bagi
manusia di muka bumi. Saya takut, bisa jadi Tuan akan berusaha dimusnahkan.”
Dia bertambah
tertawa.
“Siapa yang
mampu memusnahkan Ismail bin Ismail?”
“Kekuatan Tuan
tidak selamanya tidak diketahui kelemahannya.”
“Kau pikir akan
ada yang mampu membunuhku?”
“Tuan telah
menghilangkan nyawa manusia sebanyak 28,07 juta jiwa hanya untuk sesuatu hal
yang sepele. Bukankah alasan itu cukup untuk membuat Tuan tidak lagi pantas untuk
punya nyawa?”
“Kau berusaha
menakut-nakutiku?”
“Apa untungnya
bagi saya, Tuan?”
“Atau kau yang
merasa ketakutan?”
“Ketakutan atas
apa, Tuan?”
“Siapa namamu?”
“Nama saya?” aku
mengerutkan kening.
“Iya.”
“Kenapa, Tuan?
Bukankah selama ini Tuan selalu memanggil saya dengan panggilan jongos saja.
Tuan tidak pernah menanyakan nama saya?”
“Kali ini aku
ingin tahu namamu.”
“Nama saya Sumanto,
Tuan.”
Lelaki itu
mengangguk-angguk.
“Hanya Sumanto?”
“Benar, Tuan.
Hanya Sumanto.”
Si lelaki kate
tersenyum.
“Baiklah
Sumanto. Sekarang kau carikan aku dua kambing.”
“Baik, Tuan.
Bandot kah?”
“Paling bandot.”
“Baik, Tuan.”
Aku langsung
memutar badan hendak melalui pintu ruangan 4 x 6 meter tersebut.
“Jongos,”
Aku kembali
membalik badan.
“Iya, Tuan?”
“Tidak kau tanya
untuk apa aku minta dicarikan kambing?”
“Tuan ingin
membuat sebuah acara?”
“Iya,”
“Baiklah,
Tuan...” Aku membungkuk sebentar lalu segera membalik badan ke arah pintu
sementara lelaki kate itu kembali berbicara.
“..., aku ingin
mengubah namamu menjadi Ibrahim.”
+++++++++
Tentang Penulis
Mardiana
Kappara. Kelahiran Lambur tanggal 8 Juli 1980.
Menikah dengan Deki Yunianto dan dikaruniai dua orang putera, Khairul Anam Raya
dan Rafif Akbar. Karyanya pernah dimuat di Majalah Bobo,
Aku Anak Shaleh, maupun Annida-Online.com. Menulis beberapa buku antologi,
diantaranya Wajah-Wajah Kayu Bapak, Cara Asyik Menulis Flash Fiction, dan
beberapa buku lain bersama rekan-rekannya di komunitas penulis dunia maya.
Menjadi Salah satu peserta Program Penulisan MASTERA Cerpen 2013.Sekarang tinggal di Jambi.
Comments
Post a Comment