PAK KADIRUN
Sesungguhnya
tiada yang aneh dari hari-hari Pak Kadirun, bahkan sejak sekian tahun yang
silam. Ia hidup bersama seorang istri dan tiga orang putra-putrinya. Rumahnya
sederhana, bahkan lebih dari sederhana. Dan memang demikianlah ujaran yang selalu
diterima Pak Kadirun dari kedua orang tuanya. Hidup sederhana. Bersahaja dalam
detik-detik hidupnya.
Pagi-pagi
Pak Kadirun sudah mengambil setimba air dari sumur. Lalu disiraminya halaman
rumahnya yang tidak terlalu luas, tapi asri dikelilingi oleh beberapa bunga
yang ditanam Sholeh, putra bungsunya yang masih SMU sangat suka dengan
bunga-bunga. Setelah tanah halaman rumahnya tampak basah, Pak Kadirun pun
menyapunya hingga tampak goresan-goresan bekas lidi sapunya.
Selepas
menyapu halaman, Pak Kadirun selalu menuju sekitar sumur yang terletak di
belakang rumah. Di situlah Halimah, putri
keduanya meletakkan piring dan perkakas dapur yang telah terpakai. Di
dapur, Bu Alimah menikmati hobinya meracik menu-menu terbaru untuk dihidangkan
kepada keluarganya. Sedangkan Burhan, sudah tentu sedang memberi makan ayam di
kandang, samping rumah mereka. Selalu seperti itu. Sesekali Burhan akan menuju
dapur mengambilkan air untuk dimasak Bu Alimah dan Halimah.
Dan
Pak Kadirun selalu asyik dengan pekerjaannya untuk mencuci piring dan perkakas
dapur yang telah terpakai. Lalu, sebelum mandi Pak Kadirun akan menyempatkan
diri untuk menggosok dinding kamar mandi dan menyiramnya hingga dinding-dinding
itu tampak seperti hamparan permadani. Selesai mandi sambil menunggu istri dan
anak-anaknya selesai menyiapkan sarapan dan mandi, Pak Kadirun menyiapkan
perkakas dan kelengkapan menjahitnya. Pak Kadirun memang seorang penjahit
ulung. Sejak usia lima belas tahun keahlian itu ditekuninya. Keahlian menjahit
itu didapatnya dari warisan turun-temurun sejak jaman mbahnya masih hidup.
Demikianlah Pak Kadirun menikmati hari-harinya.
Tapi
sejak seminggu lalu Pak Kadirun sering merenung di kursi bambu yang terletak di
teras rumahnya. Seminggu lalu, seorang remaja, aktivis masjid di kampung itu
dating ke rumah Pak kadirun. Remaja itu membawa surat permohonan agar Pak
kadirun bersedia menjadi penceramah pada ceramah bakda tarawih, bulan Ramadhan
mendatang.
“Mohon
Pak Kadirun mengisi lembar kesediaan menjadi penceramah,” ujar si remaja itu
tanpa basa-basi. Pak Kadirun termenung. Sejak kapan ia menjadi seorang
penceramah?
Pak
Kadirun hanyalah orang kecil. Wong cilik. Tidak pernah mengenyam
pendidikan, sekalipun Sekolah Rakyat. Bahkan, satu-satunya pengetahuan yang
dimilikinya, ya tentang jahit-menjahit itu. Kalaupun sekarang anak-anaknya
sudah mengenyam pendidikan, bahkan paling rendah berpendidikan SMU, Pak Kadirun
merasa itu tanggungjawabnya sebagai orang tua agar anak-anaknya lebih baik dari
kedua orang tuanya.
“Pak
Kadirun..” Si remaja masjid itu mengagetkannya.
“Saya
tidak bisa, Dik!”
“Saya
hanya mendapatkan titipan. Pak Kadirun musti mengisi lembar kesediaan ini..”
“Kenapa
musti, Dik?”
“Karena
ini sudah dirapatkan oleh pengurus masjid. Remaja masjid hanya menjalankan
saja.”
Pak
Kadirun manggut-manggut. Ia berusaha memahami kesulitan yang biasa dialami oleh
para remaja masjid. Ia pernah remaja dan karena itu sangat paham dengan
kedudukan para remaja di hadapan orang tua mereka. Tapi, apa yang bisa
diperbuat Pak Kadirun untuk melepaskan kesulitan remaja masjid itu? Lama sekali
Pak Kadirun dan remaja masjid itu tidak saling berbicara, masing-masing
termenung dengan pikirannya.
Lelah
menunggu kebingungan Pak Kadirun, remaja masjid itu pun mohon pamit. Pak
Kadirun manggut-manggut. Ia belum bisa melepaskan keheranannya: Kenapa para
pengurus memilihnya menjadi penceramah? Sementara si remaja masjid segera
menuju rumah ketua takmir masjid. Dilaporkannya ulah Pak kadirun yang tidak mau
mengisi lembar kesediaan.
“Pak
Kadirun seperti orang kebingungan, bahkan tampak linglung,” sambil menunduk si
remaja masjid itu berujar kepada ketua takmir. Ketua takmir itu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Persis
seperti dalam mimpi itu..” gumamnya. “Seorang tua berpakaian putih-putih
berwajah bersih mendatangiku dengan sebuah kisah tentang adanya seorang yang
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt… orang yang mendapat kemuliaan itu
bernama Pak kadirun. Sehari-harinya menjadi seorang penjahit. Kepadanyalah aku
mendapatkan pesan agar mengundangnya sebagai penceramah tarawih…”tambah ketua
takmir.
“Menurut
kakek tua itu, Pak kadirun pasti akan
menolak permohonan menjadi penceramah. Selain itu, menurutnya Pak kadirun
merupakan orang yang bersahaja sekaligus rendah hati,” cerita ketua takmir.
“Hanya
sebuah mimpi, kenapa Bapak mempercayainya?”
“Mimpi
itu datang sejak tiga malam lalu, dan datang untuk ketiga kalinya malam tadi.
Apakah aku tidak harus mempercayainya?” suara ketua takmir agak meninggi.
Rupanya beliau kurang terima dengan pertanyaan si remaja masjid. Si remaja
masjid terdiam.
“Aku
sendiri sebenarnya heran, apa yang menyebabkan Pak Kadirun mendapatkan
kemuliaan di sisi Allah, seperti dikatakan kakek tua itu. Makanya, aku ingin
mendapatkan nasehat langsung dari yang bersangkutan,”
“Bukankah
Pak Kadirun hanyalah seorang penjahit?”
“Aku
mengerti. Tapi, aku menuruti nasehat kakek tua dalam mimpi itu. Undanglah Pak
Kadirun dalam ceramah tarawih, Ramadhan mendatang!”
Dan
si remaja masjid itu pun kembali ke rumah Pak Kadirun. Si remaja masjid tidak
datang sendirian. Ia membawa serta seorang temannya. Keduanya langsung
mendatangi Pak Kadirun yang belum beranjak dari kursi bambunya. Rupanya ia
masih memikirkan permohonan pengurus takmir yang lalu. Bila dilihatnya remaja
masjid datang kembali, hatinya bertanya-tanya.
“Ketua takmir menyuruh kami ke sini.
Pak Kadirun mohon bersedia mengisi lembar kesedian menjadi penceramah,” kata Si
remaja masjid.
“Bukankah kalin mengerti, aku bukan
orang berpendidikan, bahkan tidak pernah berbicara di atas podium sekali pun?”
“Kami hanya menjalankan tugas. Ketua
takmir sangat menginginkan Pak Kadirun bisa mengisi ceramah tarawih bulan
Ramadhan mendatang,”
“Aku tidak bisa. Tolong sampaikan
maafku kepada ketua takmir dan seluruh pengurus masjid, untuk permintaan yang
satu ini, maaf, aku tidak bisa membantu. Bila sekadar kerja bakti, aku
bersedia. Tapi untuk berceramah di depan orang banyak, sekali lagi, aku mohon
maaf. Bukan aku tidak mau, tapi kalian sudah mengerti, apa yang bisa kusampaikan dan kunasehatkan kepada
kalian?”
Kedua remaja masjid itu tidak
bertanya-tanya lagi. Keduanya segera berpamitan pergi. Tapi belum lagi keduanya
keluar halaman, ketua takmir dan beberapa pengurus sudah tiba di tempat itu.
Ketua takmir segera mengajak rombongan menemui Pak kadirun. Pak kadirun semakin
terheran-heran. Kenapa orang-orang ini seperti setengah memaksanya menjadi
seorang penceramah, sebuah pekerjaan yang jelas tidak dimampuinya?
“Kedua remaja masjid itu sudah
datang dua kali kesini. Sudah pula saya sampaikan, saya mohon maaf tidak bisa
memenuhi permohonan untuk menjadi penceramah. Bukankah Bapak-bapak sangat
mengerti. Saya hanyalah seorang penjahit, sejak muda dulu. Saya bukan ahli
agama. Bukan pula kiai dan ustadz yang pintar berpidato. Sebenarnya, apa yang
menyebabkan Bapak-bapak seperti setengah memaksa saya menjadi seorang
penceramah?”
“Kami tidak menuntut muluk-muluk,
Pak Kadirun. Kami hanya ingin mendengar cerita hidup Bapak sehari-hari. Mulai
dari bangun tidur hingga tidur kembali. Itu saja. Tidak lebih tidak kurang.
Kami tidak butuh ceramah yang lucu, karena kami terbiasa menonton srimulat.
Tidak pula kami memerlukan pidato yang menggebu-gebu. Cukup cerita saja!” ujar
ketua takmir. Suaranya pelan. Memelas. Hingga Pak Kadirun pun terdiam. Demi
menghargai kedatangan tamunya, Pak Kadirun segera mengisi lembar kesediaan
menjadi penceramah tarawih hingga para tamu itu pun mohon undur diri.
***
Bangunan masjid itu seperti
tergetar. Ruangan masjid seperti tak tersisa menampung jamaah yang tumpah
hingga teras masjid. Di mimbar, Pak Kadirun terdiam sejenak. Para jamaah dengan
setia menunggu Pak kadirun berbicara. Ketua takmir dan segenap pengurus duduk
paling depan.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh…Terlebih dulu saya ingin mohon maaf. Saya tidak bisa berbahasa
arab. Karena itu sesuai kesepakatan dengan ketua takmir dan pengurus yang
datang ke rumah saya tempo hari, saya akan langsung bercerita seputar hidup
saya, sejak bangun tidur hingga tidur kembali…” Demi mendengar suara Pak
Kadirun, para jamaah mendongakkan kepalanya.
“Saya bangun pagi-pagi, tepat
terdengar azan shubuh. Selesai shalat shubuh, saya berolahraga sejenak.
Selanjutnya saya …huk..huk..” Pak kadirun melepaskan batuk terlebih dulu. Para
jamaah menahan napas.
“Selanjutnya saya menyiram halaman
dan menyapunya hingga tidak tersisa sehelai daun pun di halaman itu. Lepas dari
menyapu halaman, saya membantu istri mencuci piring. Lalu, sebelum mandi, saya
menyempatkan diri untuk menggosok dinding kamar mandi. Dan selebihnya, saya
langsung mandi…” Pak Kadirun berhenti sejenak. Diteguknya segelas air putih
yang disediakan oleh remaja masjid.
“Sambil menunggu istri dan anak saya
selesai menyiapkan sarapan dan menunggu mereka selesai mandi dan mengurus diri,
saya menyiapkan pekerjaan menjahit yang saya saya tekuni sejak muda dulu.
Persis seperti yang bapak, ibu dan anak-anak lihat selama ini. Pekerjaan ini
saya lakukan hingga sore. Saya berhenti sejenak untuk makan dan menyempatkan
sholat dhuhur dan ashar. Selesai menjahit, saya beristirahat sejenak sambil
menunggu maghrib tiba. Antara maghrib hingga lepas isya, seperti bapak, ibu dan
anak-anak saksikan sendiri, saya masih berada di masjid ini. Bila ada
pengajian, saya berusaha menyempatkan untuk mengikutinya. Bila tiada acara di
masjid, saya pun berangkat istirahat untuk menyegarkan tubuh. Dan begitu
seterusnya. Tidak ada yang aneh bukan?” Pak Kadirun bercerita panjang-lebar.
Para jamaah terpana. Kepala mereka
terdongak. Mulut mereka ternganga. Mata mereka lebar terbuka. Pak Kadirun tidak
tampak di podium depan mereka. Di podium itu hanya ada seorang kakek tua
berpakaian putih-putih, berwajah putih bersih. Bibirnya tersenyum. Matanya
teduh memandang satu-persatu wajah para jamaah. Tubuh kakek itu seperti
bersayap. Persis malaikat yang didongengkan kakek-nanek menjelang tidur. Tubuh
itu melayang turun, dan mendatangi satu-persatu para jamaah, sambil berbisik:
“Itulah Pak Kadirun yang mulia. Ikuti kerja kerasnya. Teladani kerajinannya...”
Pak Kadirun menutup cermaah dengan
salam, dan turun dari podium. Tepat saat kakek berwajah putih bersih hilang
dari pandangan para jamaah.
Comments
Post a Comment