DEMI CINTAMU AKU SENDIRI
Oleh Novita
Aku
menatapnya lekat-lekat, seolah aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Ia
mentap lurus ke depan, entah apa yang ia lihat tapi aku yang akan terus
menatapnya, menatapnya dari jauh. Aku tidak punya keberanian untuk
mendekatinya. Apa aku orang yang bodoh?
Ia
terus menatap hujan yang terus mengguyurnya sore itu. Meski jarak kami hanya
sekitar lima belas meter, aku bisa melihat perbedaan antara air hujan dan air
matanya. Ia menangis. Tetapi tidak tanpa melukiskan wajah seorang yang sedang
menangisi sesuatu. Ia mengedipkan mata dan menutupnya untuk beberapa saat, ia
merasakan air matanya mengalir ke pipinya.
Aku
hanya bisa meremas kepalan tanganku, ingin rasanya aku berlari dan menghapus
air matanya. Apa yang ia tangisi? Apa yang ia pikirkan, pertanyaan itu
terlintas dalam pikiranku. Ia tampak menghela nafas panjang, menandakan ia
tampak semakin bersedih hari itu.
Ia
kembali membuka matanya dan menatap lurus ke depan, apa yang ia lakukan di
sana? Pikirku. Tubuhnya sudah mulai basah kuyup, hujan semakin deras tidak
tampak akan berhenti dan itu tidak membuatnya lari dari tempatnya berpijak.
Untuk
pertama kalinya aku melihatnya seperti ini, bukan ini yang aku inginkan, bukan
ini yang ingin aku lihat hari ini. Aku ingin melihat senyumnya yang merekah
dari bibirnya, bukan air mata yang membasahi wajahnya. Aku bahkan ingat ketika
pertama kali aku bertemu dengannya, senyumannya membuatku langsung jatuh hati
padanya karena itu bukan air mata yang membuatku mencintainya. Aku tau ini
bukan saatnya aku mengingat bagaimana kisah pertama kali aku bertemu dengannya
dan kenapa aku begitu mencintainya. Yang aku tahu saat ini adalah hanya dapat
melihat senyumannya, menghapus air matanya, menghilangkan kesedihannya.
Aku
mendekatinya, berjalan perlahan, menginjakkan kakiku ke jalanan aspal yang
mulai tergenang air. Aku bisa merasakan butiran-butiran pasir melewati setiap
celah kakiku setiap aku melangkah. Selangkah, dua langkah aku semakin
mendekatinya. Dan kini aku berada tepat di sebelahnya tetapi ia tidak
bergeming, ia masih sama. Apakah ia bisa merasakan kehadiranku di dekatnya? Apa
ia bisa merasakan rasa cintaku yang begitu besar untuknya?
Aku
menatap wajahnya yang bersedih. Aku menunduk dan melihat tangannya bergetar
sambil mengepal dengan kuat. Entah karena kedinginan atau kesal akan
kesedihannya yang terus menguasainya. Aku mengulurkan tanganku untuk
memayunginya, agar air hujan tidak terus membasahi tubuhnya. Untuk beberapa
saat itu tidak merasakan perbedaannya namun beberapa detik kemudian akhirnya ia
bergerak.
Ia
menoleh padaku dan menatap jauh ke dalam mataku. Raut wajahnya tidak berubah
sama sekali. Hal itu membuatku tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa membalas
tatapannya. Ia tetap terdiam, mulutnya seperti terkunci dan tidak akan bisa
terbuka lagi. Padahal aku berharap ia mengatakan sesuatu padaku tetapi itu
hanya harapan belaka yang tidak akan terwujud saat itu juga.
Wajahnya
dingin tidak mengekspresikan perasaan apapun itu, matanya sayup, tatapannya
tampak tegas, bibirnya mulai berubah warna karena kedinginan tetapi ia tetap
tidak mengatakan apapun.
“Berhentilah
menangis, berhentilah bersedih. Aku disini untukmu, aku akan menghapus setiap
air matamu yang jatuh. Tidak ada yang perlu kau sedihkan, aku akan selalu ada untukmu.
Karena itulah berhentilah bersedih. Aku akan selalu bersamamu sampai kematian
datang menjemput kita berdua. Berhentilah!”
Aku
menarik nafas dan berusaha melanjutkan perkataanku “Aku sendiri karena
menunggumu. Sekarang kau sama sepertiku sendirian. Ayo kita menjalani hidup ini
bersama.”
Novita Sari, lebih senang dipanggil Novi. Gadis kelahiran Kalimantan Timur, Berau, 10 Oktober 1992, ini merupakan sarjana pendidikan Bahasa Indonesia dari FKIP Universitas Borneo Tarakan. Sekarang tinggal di Jl. Sungai Kuyang RT. IV No. 260, Teluk Bayur, Berau. Untuk berdiskusi dapat menghubungi HP 085250554556. atau novita_sasa.sari@yahoo.co.id
Semasa kuliah ia aktif bergiat di Teater Sastra Prodi PBSI FKIP UBT, dan menulis beberapa naskah skenario drama antara lain Bekisar Merah yang diadaptasi dari Novel Ahmad Tohari, Bekisar Merah. Ia juga aktif menulis cerpen dan novel, dan sedang berjuang untuk terus mematangkan proses kreatifnya. Akun Facebooknya Novi Lee Wincehster.
Weh Penulis Kalimantan semakin produktif Pa Thob...
ReplyDeleteharusssss .... apalagi, masih muda-muda. bonus demografis sastrawan hehehe... 5-10 tahun lagi sudah panen hehe
ReplyDelete