CERITA PENDEK SUPANDI, NUNUKAN: AKU DAN MALAM
AKU DAN MALAM
Malam sudah lama tiba. Setelah langit sudah tak berwarna dan
burung-burung kembali ke sarangnya. Aku tak bergeming di tempat. Memandang
langit dan pohon-pohon yang bergerak dari teras rumah. Angin juga datang
menemani gelap bersama bunyi dari lambaian pohon. Aku duduk tak beraturan,
rambut yang tersapu angin dan tangan terikat pada tiang rumah. Mataku memandang
jauh, sesekali berkedip menyalami perih yang terbesit. Aku terlihat melelahkan,
bahkan untuk dipandang semenit saja. Wajahku bahkan masih sama dengan hari-hari
sebelumnya,kusam dan tak bergairah untuk hidup. Meskipun begitu, aku tak
seburuk itu, jantungku masih membara dan hati masih bergejolak hingga tubuh
terasa panas dan terbakar.
Perasaan yang masih kutanam dalam-dalam dan tak ada seorang pun
yang tahu, terlebih suamiku. Aku menyukai langit, ia tak pernah berdusta bahkan
di saat ia telah hilang warna dan indahnya. Itu yang kuharap terjadi pada
suamiku. Laki-laki yang membuatku rela berpisah dengan keluargaku hanya untuk
membuktikan cintaku padanya.
Cinta yang ternyata menipuku, menipu pikiran dan
hatiku. aku sakit, sampai hati terasa hilang rasa, pecah dan dan berhamburan
kemana-mana. Bukan ini yang ku inginkan dari pelarian cinta, aku ingin bukti
dari janji-janji suamiku dulu, yang membuat aku melayang sampai bermimpi
terlalu tinggi bahkan untuk meninggalkan kebahagian, canda tawa yang telah
dibangun keluargaku sejak lama, aku tak berpikir panjang.
Aku baru menyesal,
setelah semuanya telah hilang. Keluargaku yang dulu menyayangiku, kini mungkin
tak akan sudi melihatku lagi. Memang apa ku lakukan sangat memalukan, lari
bersama lelaki yang bukan muhrim hanya untuk merayakan cinta yang palsu. Cinta
yang ternyata hanya segenggam nafsu belaka. Aku masih begini, sampai kapan?
Apakah sampai aku tak bisa merasakan sakit? Itu mustahil, kecuali tuhan telah
memanggilku. Itupun bahkan lebih baik jika membayangkan apa yang aku rasakan
sekarang. Tiap malam datang, aku selalu bertanya, pada langit juga. Tapi mereka diam seakan ikut tertawa
melihat penderitaan yang aku alami. Ya tuhan, lengkaplah penderitaanku.
Aku membatu di teras rumah, malam makin menghitam bersama hati yang
juga kelam. Meski bintang-bintang telah datang menghias langit, dan bulan
sedikit menerawang dengan cahaya samar-samar, suasana masih beku, dingin sampai
menusuk ke pori-pori.
Aku masih penasaran apa sebenarnya yang tengah dilakukan
suamiku dengan wanita itu? Apa wanita itu sudah rebut semuanya? Cinta dan juga
hati suamiku? Apalagi yang sebenarnya yang kutunggu. Bahkan tugasku sebagai
istri untuk memenuhi kebutuhan birahi suamiku juga telah ia ambil, jauh sebelum
aku mengetahui hubungan gelap yang mereka jalin. Dadaku sesak oleh kebencian,
hati perih dan air mata mengucur
deras,deras sekali.
Aku teriak melepaskan kebencian itu, berteriak
sekencang-kencangnya hingga bergema dan melayang bersama angin yang berhembus,
jauh pergi dan hilang. Aku sudah tak berdaya lagi, tubuhku lemas, aku tak
sanggup lagi menopangnya, ku rebahkan pada
teras yang dingin, menyatuh bersama keheningan.
“Mereka pasti puas melihatku seperti ini, bahkan kehancuranku dan
juga kematianku akan menjadi lelucon bagi mereka, bangsatttt” kutumpahkan
kekesalanku pada lantai itu, lantai yang tak tahu apa-apa. Aku memang sudah
gila dibuatnya, urat syarafku sudah lama putus dimakan kebencian dan kemarahan
pada mereka, ya,, suamiku dan wanita barunya. Malam sudah mulai tak bersahabat,
aku dijilati serangga kecil dan di telan dingin, tapi semuanya seakan tak
terasa.
Tubuhku sudah terlalu sakit. Dalam gelap itu, aku pasrah dengan
keadaanku. Terserah malam ingin membuangku atau tetap membiarkanku diam. Aku
sudah tak perduli lagi, bahkan bila dingin mengantarku ke peraduan terakhir,
itu bahkan lebih baik.
Untuk mengambut itu, aku heningkan diri, dari semua
kebencian, kemudian perlahan menutup mata dan merasakan sudut-sudut kenyamanan
yang di sajikan malam untukku. Memang ada, meskipun hanya sedikit mengobati,
aku akhirnya rela bersimpuh dan sepi. Malam tetap berjalan, menjagaku dalan
sepi, sambil menyaksikan kemalangan yang ku alami.
Aku heran, malam saja tahu
itu, kenapa suamiku tidak? Sudah, aku lelah membahasnya.
Comments
Post a Comment