MAY
Oleh Yulizar Fadli
“Jul, kau pernah dengar nama Carl Gustav
Jung?” .
“Tidak. Aku tak tahu, May.”
“Oke, tak penting. Yang terang, berikutnya,
aku bakal meneliti tentang mimpi. Aku akan buat fiksi mikronya.” Menggebu-gebu
ia berujar, semenggebu perasaanku padanya.
“Ya. Aku mengamini. Tapi aku baca dulu
karyamu. Tolong jangan diganggu,” tukas Jul. Lelaki itu kembali membaca cerita-ceritanya.
Gadis itu mengangguk kemudian mengambil buku Popular Culture karangan Dominic Strinati yang ia taruh di meja dekat
cangkir kopi Jul. Mereka berdua khusyuk membaca. Sementara, dari saluran
televisi, komentar Anggun untuk salah satu kontestan X-Factor heboh terdengar.
1
Di
sepanjang jalan, para pedagang asongan turut meramaikan jalan. Pagi yang indah.
Hari yang cerah.
Tiba-tiba terdengar suara.
“Awal kalimatnya nggak menarik. Klise.” Aku
menyeletuk.
“Please deh, baca dulu semua, ” katanya tanpa
menoleh.
“Tapi memang nggak menarik, May.”
“Baca dulu semua. Oke?”
“Ya ya ya. Oke. Oke.”
*
Di
bawah matahari jam delapan pagi. Seorang pemuda mengayuh sepeda tua di depan
kantor walikota. Ada ransel di punggungnya. Seekor kucing yang sedang mengejar
tikus got melintas di depannya. Lelaki itu kaget, begitu juga kucing yang
hampir ditabraknya.
Dari
arah yang berlawanan, pedagang mainan, tukang semir, juga petugas lalu lintas
tiba-tiba dikagetkan oleh suara ledakan. Semua orang terhenyak. Termasuk lelaki
paruh baya yang sedang makan di warung soto babat—sendoknya mengambang di
antara mangkok dan mulutnya. Sepersekian detik jantung orang-orang itu mendadak
berhenti. Seolah darah tak mengalir lagi ke wajah mereka.
Ledakan itu terdengar tiga kali. Orang-orang menutup telinga
dan berteriak histeris. Mereka mencari-cari sumber bunyi. Beberapa orang
bertukar pandang, kemudian menatap berkeliling ke arah kantor walikota. Seorang
pemuda tergeletak tak jauh dari sepeda. Tak bergerak. Punggungnya penuh luka.
Mungkin mati.
2
Di
rumah bedeng, sebrang jembatan, dari dalam
kamar mandi, terdengar senandung perempuan. Telinga perempuan itu, yang
terhalang bunyi air keran, mendengar percakapan samar.
”Jangan
khawatir, ini aman.”
”Kenapa tidak pakai tabung gas yang besar sih?”
”Dijamin
aman. Tenang ajalah?”
”Ya
terserah. Yang penting hati-hati.”
Selang
beberapa menit, ketika senandung perempuan itu
berhenti. Terdengar ledakan berkali-kali. Ada teriak kesakitan. Orang
berhambur keluar rumah, termasuk perempuan dalam kamar
mandi itu.
3
Di putih bangku kayu taman kota, terdengar tawa kecil penjual koran, juga
kidung bocah pembawa kotak amal. Di sebelah kanan bawah, di balik tanah, ada
tangan mungil meraba. Ia lah kecambah kacang tanah.
Lalu perempuan tua meludah. Namun pantaskah disebut ludah, bila ia berwana
merah?
Suatu
ketika, bangku kayu itu berbincang dengan salah satu pengunjung, seorang
laki-laki bongkok yang terlalu senang membersihkan sampah-sampah di sepanjang
jalan, rumah ibadah, pasar, dan sekolah. Bajunya cokelat kusam seperti mukanya
yang muram.
Ia
suka menyapu bersih seluruh sampah tanpa bayaran. Pernah sekali ia naik ke atap
rumah milik janda sebatang kara, membetulkan susunan genting tanpa meminta imbalan.
Apa
yang ia cari? Tak ada yang tahu. Yang terang ia selalu membawa foto seorang
perempuan ke mana pun ia pergi, dan selalu menangis ketika ditanya siapa nama
aslinya. Ia benar-benar lupa.
Malam
dan gerimis datang seperti sepasang remaja berpelukan. Lelaki itu rebah di
bangku kayu. Ia menangis bersama gerimis tipis-tipis. Katak beryanyi. Gerimis
perlahan jadi hujan. Angin bertiup kencang, meluruhkan daun-daun dan kembang
kertas di sekitar taman. Lelaki itu berhenti menangis. Bau amis menyeruak dan
mengubah putih bangku kayu jadi merah.
4
Hujan
lebat. Pemulung tua berjalan dengan kantong plastik di kepala. Ia membawa
kardus lusuh seperti badannya yang renta. Matanya menatap berkeliling. Sekilas
ada bayangan yang melintas, seperti cahaya, tapi kemudian lenyap dan lesap ke
langit. Ia mencubit-cubit pipi, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Kemudian menghela napas. Perlahan ia berjalan menuju teritis peribadatan,
menggelar lembaran kardus yang ia pungut dari jalan sebelum hujan. Ia meringkuk.
Lelap dan berbantal tangan kanan.
Ketika
langit malam seolah terus mengutukinya dengan hujan, tubuhnya tiba-tiba
terguncang. Ia terpental jauh akibat ledakan besar dari dalam rumah ibadah.
5
Seorang
pria menggembalakan ratusan robot ciptaannya di tengah gedung pencakar langit.
Di antara derap langkah ratusan robot, seorang bocah penjaja kepingan CD film
kartun terinjak salah satu robotnya. Ususnya terburai dan mati seketika. Si
penggembala menggelekek melihatnya. Kemudian melompat dari satu atap gedung ke
atap gedung lainnya, mirip pahlawan dengan baju bergambar laba-laba.
Di
langit, awan berangsur hitam. Tak satupun hewan langit melintas di atas kota. Mungkin takut. Pohon juga tak ada.
Mungkin sudah ditebang, mungkin juga tak pernah ditanam. Sampah menggenang di
ledeng besar, tempat semestinya air dialirkan. Di dekat pintu air, di antara
tumpukan sampah, mayat perempuan tua terbujur kaku di atasnya. Hanya jalan raya
yang sesak dengan kendaraan. Asap-asap kendaraan itu mulai menggantung di atas
kota. Mereka, orang-orang dalam kendaraan itu, punya tujuan yang sama: pergi ke
laut.
Tak
ada satu pun petugas lalu lintas yang datang menertibkan jalan. Karena semua
orang, tanpa terkecuali, sibuk berkendara dan berdesakan di jalan
raya—berbondong untuk kemudian menceburkan diri ke laut berwarna hitam, sehitam
aspal. Mereka lebih memilih bunuh diri ketimbang mati di tangan robot-robot
itu.
Sementara
ratusan manusia lainnya, yang tak sempat kabur menuju laut—dibunuh dan ditumpuk
seperti sampah dalam
liang besar yang digali di tengah kota. Liang itu seperti telaga raksasa. Merah
airnya.
Ketika darah merah segar mengalir deras dari tubuh
mayat-mayat itu, seekor lalat hijau nekat mendekat. Terbang dan hinggap. Dengungnya menjengahkan. Pada saat yang sama, di
atas liang, puluhan robot mulai menimbunnya dengan batu, tanah liat, dan
bongkahan aspal. Lalat nekat itu terjebak di dalamnya. Mati.
Hanya
menyisakan seorang lelaki dan ratusan robot di sana. Gedung yang kosong, rumah
yang kosong, dan hati yang kosong. Mulut lelaki itu terbuka. Ia tertawa bangga.
Tawanya menggema ke seluruh penjuru kota. Beberapa waktu setelah puas tertawa,
si penggembala robot teringat sesuatu. Ia kemudian berlari menuju tempat
pemujaan, di bawah tanah, untuk menyiapkan ritual.
Mulailah
ia menyiapkan sesembahan, kemudian memohon kepada sekutunya; raja jin dari Segitiga
Bermuda. Ia minta segunung
emas dan keabadian. Raja jin mengabulkan permintaannya. Keinginannya segera
terwujud. Tapi ia tak pernah tahu bahwa sebaik-sebaik jin adalah sejahat-jahat
manusia. Lelaki itu pasti menyesal. Sangat menyesal. Karena seluruh bangunan di
kota itu, termasuk dirinya dan ratusan robot gembalaannya, perlahan membatu dan
mengeras menjadi emas. Seluruh kota berubah menjadi emas, tanpa kecuali. Waktu
seperti berhenti di kota itu.
Dari
langit yang kian hitam, butiran salju turun perlahan-lahan seperti, kau tahu,
guguran kapuk randu. Ya, kapuk randu.
Suara televisi beradu dengan deras hujan di luar, membuat
suara kontestan yang membawakan Save Me Song:
Anak Jalanan, samar terdengar. Secangkir kopi dan empat batang rokok sudah Jul
tandaskan. Sebetulnya Jul sangat ingin pergi sejak tadi, tapi May selalu
berhasil menahannya.
“Gimana pendapatmu. Bagus?” tanya May antusias.
“Bagus. Lumayan. Tapi aku tak yakin ini masuk
dalam kategori cerita pendek.”
“Memang apa tolok ukurnya. Hmmm? Apaa?” May
tersenyum. Nakal sekali. Jul tak menjawab. Lelaki itu malah tertawa, kaku
sekali.
Awalnya jarak duduk mereka adalah lima jari orang
dewasa, tapi setelah Jul melontarkan komentar, May justru mendekat. Dan itu
membuat jarak mereka menjadi satu jari. Tidak, bukan satu jari, melainkan setebal
satu lembar kertas kuarto. Mepet
sekali.
May mendorong tubuh Jul. Gadis itu menindihnya dan
mendekatkan wajahnya ke wajah Jul. May membuka gaun tidurnya. Ia jadi liar, Jul
pun demikian.
“Maay ...”
“Hmm ... Apaaa?”
“Maaay”
Bandarlampung, 2013.
++++++
Yulizar Fadli merupakan sastrawan muda dari Lampung. Aktif menulis cerpen dan juga menekuni teater. Ia juga satu di antara peserta Bengkel Penulisan Mastera: Cerpen pada tahun 2013 yang diikuti para sastrawan muda dari Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura.
Comments
Post a Comment