SAJAK-SAJAK CAK KANDAR
Pagi Hari di Sebuah Peron Tua
Di sebuah peron tua, kuhirup kembali udara kota Jakarta. Inikah kota raksasa itu? Yang mulutnya terus menganga: menelan segala yang datang, tak mengenal kata kenyang?
Atau inikah sejatinya padang kurukasetra?
Dimana para kesatria dari segala penjuru
arah dengan gagah maju ke medan laga.
Menjelma Resi Bisma, Begawan Drona, Raden Gatotkaca, Dewi Srikandi, atau kusir agung pandawa, prabu Kresna?
Di sebuah peron tua, kembali kuhirup udara kota Jakarta yang lambat
mencari tempat, berebut napas dengan orang-orang yang begitu gegas
memenuhi jalanan, gang-gang dan gedung-gedung mewah penuh warna
Pagi ini, di sebuah peron tua, tiba-tiba kucium aroma keringat para kerabat, tetangga, juga teman-teman sebaya yang melekat pada dinding-dinding beton dan aspal jalanan, pada tiang-tiang penyangga yang kusam dan mulai berkarat.
Jkt, 2017
Pagi ini, di sebuah peron tua, tiba-tiba kucium aroma keringat para kerabat, tetangga, juga teman-teman sebaya yang melekat pada dinding-dinding beton dan aspal jalanan, pada tiang-tiang penyangga yang kusam dan mulai berkarat.
Jkt, 2017
Di Gunung Kidul
Di antara rumputan yang mengering,
batu-batu tua keras berongga saling bersanding.
Seekor burung emprit hinggap,
diam di atas batu. Di paruhnya,
sehelai rumput terselip.
Seketika hening,
tiba-tiba aku merinding.
+++++++
Sukandar, adalah alumus Fakultas Kehutanan UGM. Lahir di Ngawi, 1 Agustus 1980. Saat ini mengelola penerbit Interlude, salah satu penerbitan buku indie di Yogyakarta. Aktif dalam komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang menyelenggarakan pertemuan sastra bulanan di Taman Budaya Yogyakarta. Puisinya terdapat dalam antologi: Herbarium, Penyair Muda 4 Kota, 142 Penyair Menuju Bulan, Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya
Comments
Post a Comment