(SUMBER: WWW.123RF.COM)
KANG WAHID
Sebagai lelaki dewasa, harapan
Kang Wahid tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin memiliki istri, membina keluarga
bahagia, dan menikmati sisa hidupnya dengan beribadah kepada Tuhannya. Itu
saja. Dan semua itu sudah didapatnya semua. Apalagi yang dicarinya di dunia
ini. Harta, tahta, wanita. Semua lengkap dimilikinya.
Kang Wahid menyadari betul bahwa
bertemunya sepasang manusia adalah takdir. Takdir untuk menjadi satu ikatan.
Dari segala perbedaan, termasuk wataknya. Perbedaan pendapat dan pendapatan
adalah hal biasa. Kang Wahid berusaha menjadi penyeimbang bagi istrinya. Ia
selalu menutupi kekurangannya dan juga kekurangan istrinya. Kang Wahid
berpandangan, di sinilah sebenarnya makna “suami adalah pakaian bagi istrinya
dan istri adalah pakaian bagi suaminya.” Saling menutupi dan saling menambah
indahnya. Yang terpenting hubungan suami istri dibangun di atas kesabaran dan
keinginan saling memahami.
Sudah
pasti ujian dan musibah juga datang. Sama halnya terjadi pada setiap keluarga.
Pasti mengalaminya. Dengan bentuk yang berbeda-beda. Apalagi Kang Wahid
memahami benar ajaran agamanya. Bahwa suami istri harus saling menyayangi.
Bergaul antar keduanya secara patut. Sebelum Kang Wahid menikah, kakeknya
selalu menasihati dengan mengutip sebuah dari Al Quran surat An-Nisa ayat 19: “Dan bergaullah dengan mereka (para isteri)
secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
kerana mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” Kakek menjelaskan bahwa ayat tersebut bukan hanya bermakna bergaul sebagai
“bersetubuh” atau berjimak. Tetapi, bergaul dalam arti yang luas sebagai
anggota keluarga. Sebagai suami dan sebagai istri.
Banyak
kenalan iri dengan Kang Wahid dan keluarganya. Iri dengan harmoni mereka. Iri
dengan keserasian Kang Wahid dan istrinya. Memang, di antara kenalan-kenalan
itu banyak yang ingin pula rumah tangganya bahagia hingga akhir hayat. Cinta
sehidup semati. Namun, rupanya membangun rumah tangga tak semudah omongan
seorang motivator terkenal. Tak seindah kata-kata mutiara. Tak seheroik
cerita-cerita dalam video-video hikmah. Banyak kisah kenalan Kang Wahid atau
istrinya. Rumah tangga mereka rusak di tengah jalan. Perahu rumah tangganya karam
di tengah laut kehidupan. Biduk rumah tangganya kandas sebelum tiba di muara
impian.
Seorang kenalannya, kaya-raya, mobil
lima mewah semua, rumah megah tiada kira, istri cantik dan anak-anak yang
comel. Tapi, mendadak muncul kabar gugatan cerai istrinya sedang disidangkan di
pengadilan agama. Kenalannya yang lain, seorang aktivis dakwah, sangat idealis,
pendamba kehidupan agama yang luar biasa. Menolak pacaran sebelum menikah.
Sebelum menikah mereka menjalani taaruf. Yang lelaki membuat “proposal” rencana
berkeluarga kepada pihak perempuan. Pertemuan hanya sesekali, itupun di masjid,
dan saling bantu tahsin bacaan kitab suci. Begitu menikah, belum genap tiga
hari, teman lelakinya datang ke rumah menceritakan bahwa bahtera rumah
tangganya karam mendadak. Ada hal rahasia yang tak dapat diceritakan. Ia
memutuskan untuk bercerai dengan istrinya. Kecewa istrinya tidak sesuai yang
diharapkan. Tapi di mata Kang Wahid, pasti lelaki temannya itulah yang
bermasalah di mata istrinya. Maklum, lelaki teman Kang Wahid itu dikenal
berandalan di masa muda, sebelum ia menjalani taubatan nasuha. Mungkin proses
hijrahnya belum tuntas, pikir Kang Wahid. Seorang perempuan yang indah matanya,
karena hanya mata yang terlihat dari wajahnya, datang ke rumahnya. Perempuan
itu teman istrinya. Dengan sembab air mata ia bercerita, ia menyesal tak dapat
melanjutkan perjalanan rumah tangga dengan suaminya. Padahal, suaminya seorang
penghafal kitab suci, suaranya merdu. Bahkan, ia dipinang dengan bacaan surat
Ar-Rahman seperti didambakannya. “Ternyata berkeluarga tidak cukup hanya dengan
hafal kitab suci. Kami harus membayar listrik, membayar kontrakan, membayar
air, membeli beras untuk makan seadanya, dan sebagainya..” ia berkisah sembari
menyeka air mata.
Namun, tidak semua kenalannya
berkisah hal-hal tragis. Banyak juga yang sukses berkeluarga. Ada yang pacaran
dari zaman SMA, kuliah, setia kekasihnya hanya satu saja, menikah, beranak
pinak, dan masih lancar-lancar saja. Ada pula, zaman sekolah teman tapi mesra,
resmi pacaran ketika kuliah, dan menikah setelah lulus, dan rumah tangganya
mesra-mesra saja. Ada yang ketika masih SMA malu-malu mau menyatakan cinta,
memantau dari jauh adik kelasnya, ketika sudah kuliah terus dikejarnya, dan
dinikahinya hingga beranak lima. Dan mereka aman-aman saja berkeluarga. Ada
yang tidak kenal sebelumnya, tiba-tiba dijodohkan temannya, belum ada sebulan
lamaran, dan sudah beranak dua masih tetap bertahan dalam kemesraan yang
mengabadi. Ada juga kenalannya yang jodohnya Cuma di belakang rumahnya, sebab telah
mencari jodohnya hingga dibela bekerja ke pulau seberang, tetapi tetap tidak
dapat jodoh juga. Akhirnya, ibunya turun tangan dan menjodohkannya dengan
tetangga belakang rumah, setelah lama tidak pulang kampung, rupanya gadis kecil
di belakang rumahnya telah berubah menjadi bunga desa rupawan baik hati. Dan
setelah menikah rupanya juga mesra-mesra menjalani rumah tangga.
Pendek kata, Kang Wahid adalah
teladan suami bagi para lelaki kenalan. Para wanita kenalan dan kenalan
istrinya, Kang Wahid adalah tipe lelaki rujukan bagi suami mereka. Tipe bapak
yang perhatian dengan anak dan istrinya. Baik dengan orang tua, sahabat dan
tetangga. Tidak ada yang kurang.
Sebab itulah, Kang Wahid kaget luar
biasa ketika istrinya menawarinya untuk poligami. Cukup lama ia terdiam dengan
mata tak berkedip memandang istrinya. Apalagi tawaran itu diberikan selepas
mereka berjimak dalam waktu lama. Bahkan, istrinya sangat bersemangat kali ini.
Apakah gara-gara akan menawarkan poligami lantas membuat istrinya sangat bersemangat
saat berjimak tadi? Kang Wahid masih diam. Tak habis pikir. Apa yang sedang
dipikirkan istrinya. Kang Wahid seperti teringat sapaan facebook setiap hari,
“Apa yang anda pikirkan?”
“Ada
apa, Sayang?” ia mencoba menegur pelan.
Tapi
istrinya hanya tersenyum. Sambil mengedipkan mata. Kang Wahid hanya diam sebab
ia paham bahwa istrinya hanya nge-tes. Seperti biasa, menguji kesetiaannya
sebagai lelaki.
“Apakah
engkau tak percaya dan yakin dengan kesetianku ini, Sayangku? Apakah tidak
cukup jiwa dan ragaku sudah kuserahkan kepadamu selama ini Apakah tidak cukup
lahir batinku kupasrakan kepadamu pagi siang malam kepadamu selama ini? Hanya
Tuhan dan ibuku saja yang dapat mengalahkan rasa cinta dan kasih sayangku
kepadamu,” ujar Kang Wahid.
Istrinya
hanya senyum. Bahkan manis sekali. Cantik sekali wajah istrinya selepas jimak
kali ini. Kang Wahid bertambah curiga. Ada apa dengan istrinya.
“Kalau
Kang Wahid mau, calon madu ini cantik sekali. Muslimah sholihah. Baik hati. Aku
tak masalah berbagi cinta dengannya kok, Kang.” Ujar istrinya.
Kang
Wahid memandang tajam istrinya.
“Dik,
menikah dan perkawinan itu jalan agar kita memiliki seseorang yang menemani
hingga akhirat. Pacar dunia akhirat. Sahabat dunia akhirat. Sehidup semati.
Perkawinan bukan hanya perjanjian dan kontrak di atas kertas. Ia adalah tanda
cinta sepasang jiwa yang berbeda. Mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan.
Andai cinta itu retak, tak seindah dulu, kita harus tetap mempertahankannya.
Misal yang manis jadi pahit, yang cantik jadi jelek, yang tampan jadi kucel,
yang ramah jadi judes, harus tetap diperbaiki. Itu namanya cinta. Bukan diukur
dari berapa lama pernikahan. Tetapi, ibarat bunga, ia harus terus dipupuk,
dirawat agar subur, mekar, berbuah, dan hingga berganti tunas baru kelak
setelah kita tiada,” ujar Kang Wahid menasihati istrinya. Ia khawatir terjadi
apa-apa dengan istrinya. Sebagai suami, ia harus mengingatkan.
“Aku
paham, Kang. Justeru itu. Aku ingin keluarga kita bertambah satu anggota lagi,
agar bertambah semarak!”
“Tapi
tidak ada alasan untuk mengubah keluarga kita, Dik. Kamu masih cantik. Masih
mampu melayani. Aku juga masih gagah. Masih kuat meladeni. Berapa ronde setiap
malam. Aku juga tak pernah membiarkanmu kecapekan. Cuci baju, masak, menyapu.
Aku selalu membantu. Mengapa harus ada madu? Mengapa harus berpoligami?”
“Bukan
itu, Kang.”
“Lalu
apa? Apakah tidak boleh aku ingin menjadi seperti Baginda Nabi Muhammad? Begitu
cintanya kepada Khadijah. Kala Khadijah sakit, Baginda tiada pernah
meninggalkan Khadijah. Ujian Muhammad dan Khadijah ketika berjuang menjalani
hidup memperjuangkan idealism dan gerakan. Itu masa yang luar biasa. Indah
sekali. Aku ingin seperti itu. Cinta sejati mereka tetap hidup tak pernah mati.
Meskipun Khadijah wafat, kenangan tak pernah sirna.”
“Itu
alasan Kang Wahid. Aku juga punya alasan. Bukankah Kang Wahid pernah mendengar
pesan Baginda Nabi Muhammad, ‘sekiranya
aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada manusia, niscaya aku
perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya? Aku ingin tawaran ini menjadi jalan ibadahku kepada Tuhan, Kang. Aku
ingin bersujud kepadamu dengan cara yang berbeda. Yakni menawarimu poligami.
Sesuatu yang berat bagi banyak wanita lain. Tapi, bukankah pada ibadah yang
berat juga terkandung banyak pahala?” tegur istrinya tersenyum. Kang Wahid
heran, mengapa istrinya terus tersenyum. Justeru Kang Wahid menjadi bertambah
curiga. Maklum, biasanya di saat begitu ada ujungnya. Kalau tidak mengajak
jalan-jalan, ya minta ditransferkan belanja online langganan. Entah pesan
sepatu, pasminah, gamis, atau apa saja. Tapi,
istrinya tampak tidak menyembunyikan sesuatu. Tidak merahasiakan sesuatu. Masih
sama dengan saat pertama dikenalnya. Selalu jujur. Terbuka. Apa adanya. Tidak
menutupi sesuatu dengan jaga image, atau apapun istilahnya.
“Tidak, Dik.” Akhirnya Kang Wahid
berbicara.
“Kenapa, Kang? Aku rela kok,
Kang. Aku yakin Kang Wahid adil. Kalau syarat mampu, Kang Wahid sudah sangat
mampu, meski menghidupi istri sepuluh dan anak sekabupaten.”
“Aku tidak sanggup, Dik. Biarlah
itu menjadi dosaku, bila memang penolakanku ini tidak menjadikanmu ikhlas. Aku
rela masuk neraka gara-gara menolak tawaranmu berpoligami. Cukuplah kamu saja.
Cukuplah kamu di dunia. Dan cukuplah kamu di akhirat. Biarlah banyak bidadari
di dunia. Dan biarlah banyak bidadari di surga. Tapi hanya ada kamu di dunia.
Dan hanya ada kamu di akhirat. Cukup itu. Semoga ini menjadi caraku beribadah
kepada-Nya.”
Istrinya menangis sesenggukan.
Tapi tersenyum. Mereka kembali berpelukan. Dan melanjutkan ibadah ronde
berikutnya. Menambah pahala demi pahala.
Comments
Post a Comment