Penerima pertama wirid al-Musabba`ât al-`Asyara dari Nabi Hidhir, berdasarkan hikayat dalam Quttul Qulûb dan Ihyâ’ adalah Imam Ibrahim at-Taimi, lalu dituturkan oleh A’masy dan dikemukakan oleh wali Abdal bernama Kurz bin Wabrah, sebagai amalan yang diterima dari kawannya. Imam Ibrahim at-Taimi mendapat mimpi bertemu Kanjeng Nabi Muhammad dan beliau mengabarkan fadhilah dari wirid itu, setelah sebelumnya bertemu dengan Hidhir di Mekkah. Sementara Syaikh Kurz bin Wabrah mendapat hadiah wirid mulia dari sahabatnya dari Syam.
Tanggapan sebagian ahli hadits tentang ini berbeda dari kalangan sufi. Hafizh Murtadho az-Zubaidi, berusaha menjelaskan, dengan berusaha memahami selain dari sudut ilmu hadits, juga dari ilmu tasawuf, sehingga, untuk al-Fadho’ilul A’mâl menurutnya bisa diamalkan. Begini komentar pensyarah Ihyâ’ itu, ketika mengomentari ini:
“Al-A’masy menyebutkan/meriwayatkan ini darinya bi`ainihi menurut pengarang kitab Quttul Qulûb, dari awal sampai akhirnya, dan menukil juga pengarang kitab Al-Awâriful Ma`arif (kitab tasawuf terkenal karangan as-Suhrawardhi) secara ringkas, dan yang diriwayatkan dari al-A’masy, berkata: “Saya mendengar dari Ibrahim at-Taimi, berkata: “Saya berdiam30 hari tidak makan.” Dan Ibnu Asakir meriwayatkan di dalam Kitab at-Târîkh (Tarikh Ibnu Asakir) dari jalan Umar bin Farwah dari Abdurrahman bin Habib dari Sa`id bin Said dari Kurz bin Wabrah dari seorang laki-laki Syam dari Ibrahim bahwa Hidhir mengahadiahi al-Mussaba`ât al-Asyar, dan berkata di bagian akhirnya, bahwa Nabi Muhammad memberinya adalah “tidak memiliki asal” dan tidak syah di dalam hadits (ilmu hadits). Ijtima’nya Hidhir dengan Kanjeng Nabi Muhammad tidak ada ijtima’nya, dan juga hidup dan wafatnya.”
“Saya (Hafizh Murtadho az-Zubaidi) berkata: “Ini adalah masalah terkenal dalam ikhtilaf antara para ahli hadits dan para pemimpin sufi, dan pembicaraan itu tambah panjang. Dan Hafizh Ibnu Hajar telah mendatangkan beberapa jalan (riwayat) soal itu di dalam kitab al-Ishôbah di dalam biografi tentang Hidhir, dan ini juga didasarkan dengan kaidah-kaidahnya para ahli hadits. Tentang Said bin Said al-Jurjani, al-Bukhori mengatakan tidak syah haditsnya, dan Abu Thayyibah dipandang lemah oleh Yahya bin Main, dan Kurz bin Wabrah yang menerima dari laki-laki Syam, adalah laki-laki itu majhul (tidak jelas), saya tidak tahu siapa dia. Akan tetapi hal yang seperti ini dapat diterima untuk al-Fadhô’ilul A’mâl, apalagi umat telah menerimanya, wallohu a’lam” (Ithâfus Sâdatil Muttâqîn bi Syarhi Ihyâ’i `Ulûmiddîn, V: 135).
Bagi para ahli wirid dan para guru sufi, pertemuan dengan jalan mimpi, adalah sudah biasa. Bahkan sebagian guru-guru tarekat besar juga ada yang dibaiat secara barzakhi, dan itu diterima, seperti yang dialami pendiri tarekatTijaniyah. Para ahli hadits mempersoalkan itu, karena menurut dan berdasarkan ilmu mereka dengan kriteria-kriteria tertentu yang tidak selamanya sama dengan para sufi, sehingga sebagian mereka membuahkan penolakan. Akan tetapi, bagi guru-guru sufi, hal-hal seperti itu akan ditahkik kembali melalui jalan kasyaf. Yang menarik adalah jalan tengah yang diberikan Hafizh Murtadho az-Zubaidi, “untuk al-Fadhô’ilul A’mâl dan umat telah menerimanya,” dan wirid itu diamalkan oleh umat, karena substansi dan jenis-jenis wirid di dalam al-Musabba`at al-Asyar, semuanya tidak ada yang salah: surat-surat pendek, ayat Kursi, tasbih, sholawat, istighfar, dan doa; dan tentu telah diujicoaba dari generasi ke generasi.
Tiga orang penting di dalam al-Musabba`ât al-Asyar ini, selain Kanjeng Nabi Muhammad dan Hidhir, adalah Imam Ibrahim at-Taimi, al-A’masy, dan Kurz bin Wabrah yang diceritakan memperoleh amalan itu untuk diamalkan dari sahabatnya, sehingga wirid ini sampai kepada umat.
Ibrahim at-Taimi
Tentang tokoh ini, ada salah satu perkataanya yang dikutip oleh Imam al-Bukhori dalam al-Jâmi’ ash-Shohîh, di Kitab “al-Îmân” pada bab No. 36 tentang “Khouful Mu’min min an yahbitho `amaluhu wahuwa la yasy`ur, dan berkata Ibrahim at-Taimi…” (Bab “Rasa Takut seorang mukmin dari lenyapnya amalan yang dilakukan dalam keadaan dia tidak menyadarinya”). Imam Ibrahim at-Taimi kemudian dikutip: “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada perbuatanku kecuali aku khawatir pasti aku akan didustakan” (dalam Ibnu Hajar, Fathul Bârî, I: 109).
Imam Ibrahim at-Taimi adalah seorang ahli ibadah dan hadits di kalangan tabiin (pengikut para sahabat Nabi Muhammad). Adz-Dzahabi dalam Mîzânul I’tidâl menyebutnya: “Ibrohim bin Yazid bin Syarik, at-Taimi, seorang yang terpercaya, meski tidak mendengar langsung dari Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshoh” (Mîzânul I’tidâl, I: 203, No. tokoh 250). Sedangkan dalam kitabnya yang lain berjudul Siyâr A’lâmin Nubalâ’, adz-Dzahabi menyebut Imam Ibrohim at-Taimi ini pada jilid V: 60, No tokoh 19:
Dia disebut sebagai imam panutan di kalangan tabiin, ahli fiqh dan ahli ibadah di Kufah (Irak). Memperoleh hadits dari ayahnya sendiri, Yazid bin Syarik at-Taimi, dan ayahnya adalah imam panutan pula di Kufah, yang meriwayatkan dari sahabat Umar, Abu Dzar dan banyak tokoh besar, dan Ibrahim an-Nakho’i mengambil darinya, hadits-haditsnya ada di Kutubus Sittah. Selain itu Ibrahim at-Taimi juga mengambil dari Harist bin Suwaid, Anas bin Malik, Amru bin Maimun, dan banyak lagi, dan mengambil secara mursal dari Sayyidah Aisyah. Yang meriwayatkan darinya adalah al-A’masy, Muslim al-Buthain, Bayan bin Bisyr dan Yunus bin Ubaid.”
Dia dikenal sebagai seorang “sholih, taat kepada Alloh, alim, ahli fiqh, dan pemberi nasehat.” Dikenal sebagai orang yang penyayang, dan berani menanggung penderitaan untuk membela seseorang berhadapan dengan kekuasaan yang zhalim. Diceritakan oleh Ibnu Sa`ad dari Ali bin Muhammad begini:
“Hajjaj (bin Yusuf) mencari orang bernama Ibrahim an-Nakho’i (seorang tabiin yang sholih, untuk dipenjara). Maka datanglah utusan dan berkata: “Saya menginginkan Ibrahim.” Ibrahim at-Taimi berkata: “Saya Ibrahim, dan tidak ingin menunjukkan Ibrahim an-Nakho’i.” Maka diperintahkanlah Ibrahim untuk dipenjara, di tempat yang tidak ada sinar matahari dan sangat dingin. Orang lain di ruangan itu dibelenggu pula dengan belenggu yang sama.”
“Kondisi Ibrohim kian memburuk. Ketika sang ibu mengunjunginya, dia tidak bisa lagi mengenalinya. Ibrahim berada di sel sampai dia meninggal. Hajjaj dalam mimpinya melihat ada orang mengumumkan bahwa ada seseorang yang wafat saat itu dan akan masuk surga. Pada pagi harinya Hajjaj menemukan bahwa Ibrahim at-Taimi sudah meninggal” (Dikutip oleh adz-Dzahabi dalam Siyâr A’lâmin Nubalâ’, V: 62).
Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamâl menyebutkan dengan mengutip: “Ibnu Main menyebutnya “terpercaya”. Abu Hatim menyebutnya: “Sholihul Hadits”. Al-A’masy menyebutnya bahwa Ibrahim at-Taimi pernah berkata: “Dia pernah tidak makan selama 30 hari” (Hafizh al-Mizzi, Tahdzîbul Kamâl, II: 232, No. 264).
Al-A’masy
Periwayat wirid al-Musabba`ât al-Asyara ini dari Imam Ibrahim at-Taimi adalah al-A’masy. Namanya adalah Sholih bin Mihran al-Asadi al-Kahili al-A’masy. Hafizh Al-Mizzi mengetengahkan biografinya dalam kitab Tahdzîbul Kamâl. DiaTinggal di Kufah, Irak, tetapi asalnya dikatakan dari Thabaristan, seorang tabiin, dan melihat sahabat Anas bin Malik.
Menurut Hafizh al-Mizzi, al-A’masy meriwayatkan hadits dari Abas bin Abi Iyas, Ibrahim at-Taimi, Ibrahim an-Nakho’i, Ismail bin Abi Kholid, dan lain-lain dalam jumlah yang cukup banyak. Sedangkan yang meriwayatkan darinya adalah Sufyan ats-Tsauri, Sufyan `Uyainah, Qodhi Iyadh, dan lain-lain.
Beberapa tokoh berpandangan begini tentang al-A’masy: “Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu al-Madini, bahwa dia memiliki 1300 hadits. Ibnul Madini juga mengatakan bahwa al-A’masy tidak mengambil dari Anas bin Malik (secara langsung), hanya dia melihat dia sholat, dan mengambil hadits dari Anas lewat Aban bin Iyas dan Yazid ar-Riqasy. Akan tetapi menurut Abul Husain al-Munadi dia memang melihat Anas bin Malik tetapi tidak meriwayatkan darinya (secara langsung).”
“Ali al-Madini mengatakan bahwa ilmu umat Nabi Muhammad itu terletak pada 6 orang (pada zamannya mereka ini): Amru bin Dinar di Mekkah, Ibnu Syihab az-Zuhri di Madinah, Sulaiman bin Mihran al-A’masy dan Abu Ishaq di Kufah, Yahya bin Abi Katsir dan Qotadah di Bahsrah.”
“Ashim al-Ahwal memujinya dengan mengatakan: “A’masy bersama Qosim bin Abdurrahman, dan berkata: “Ini adalah Syaikh yang paling faham tentang Ibnu Mas`ud.” Empat karakter al-A’masy yang dikenal adalah di dia paling menjaga bacaan al-Qur’an, menjaga hadits, paling tahu faraidh, dan karakter baik lainnya. Syu’bah ketika disebut nama al-A’masy, sering mengatakan: “Mushaf-Mushaf”, karena menurut Amru bin Ali dia dikenal “kejujurannya”. Dikenal terpercaya dan tsabat dalam hadits. Disebut minan nussak, ahli ibadah; menjaga sholat jamaah di shof awal, dan Yahya mengatakan “dia adalah `allamatul Islam”. Dan Syarik berkata, tentang al-A’masy bahwa “Ibrahim tidak memberikan sanad hadits kepada seseorang kecuali kepadaku, karena dia itu merasa ta’jub denganku” (al-Mizzi, Tahdzîbul Kamâl fî Asmâ’ir Rijâl, jilid XII: 76, No. 2570).
Kurz bin Wabrah
Abu Nuaim mengetengahkan birografi Kurz bin Wabrah, yang oleh Ibnu Athiyanh dalam Quttul Qulûb disebut sebagai wali abdal ini, di kitab Hilyatul Auliyâ’ wa Thobaqôtul Ashfiyâ’ (Beirut, Darul Kutub, hilid V: 79, No. 293). Dia adalah Kurz bin Wabrah al-Haritsi. Tinggal di Jurjan meskipun asalnya dari Kufah, memiliki tempat atau posisi yang tinggi dalam ibadah. Beberapa riwayat tentangnya, dituturkan Abu Nuaim:
“Dari Fudhail bin Ghozwan dari ayahnya: “Dia ini sering membaca Al-Qur’an (khatam), tiga kali dalam sehari semalam.” Riwayat khatam Al-Qura’an 3 kali, banyak melalui beberapa jalur.
“Dari Ibnu Uyainah berkata bahwa Ibnu Subrumah berkata: “Kurz bin Wabrah memohon kepada Alloh agar memberikan kepadanya, Ismahu al-Azhom, agar tidak lagi dengan itu dia meminta dari dunia, dan Alloh memberinya. Maka dia memohon kepada Alloh agar kuat mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam sehari semalam, 3 kali khatam.”
“Dari Ibnu Subrumah berkata: “Saya berjalan menemani Kurz bin Wabrah, dan apabila dai menemukan tempat yang bersih, dia turun dan sholat.”
“Abu Thoyyibah al-Jurjani berkata: “Kami berkata kepada Kurz bin Wabrah, apa yang yang tidak disukai orang yang baik dan yang tidak baik (fajir)?” Kurz bin Wabrah menjawab: “Seseorang hamba yang sudah menjadi ahli akhirat lalu kembali kepada dunia (menginginkan dunia).”
“Muhammad bin Fudhail dari ayahnya berkata bahwa: “Kurz bin Wabrah selama 40 tahun dan dia tidak pernah mendongakkan kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
Salah satu hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan melalui jalan Kurz bin Wabrah, dari Rabi bin Khoitsam dari Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa Kanjeng Nabi bersabda: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, nafasnya adalah tasbih, dan doanya mustajab.” Dan beberapa hadits lain juga diriwayatkan melalui Kurz bin Wabrah. Dia juga memiliki riwayat jalur yang meriwayatkan perkataan Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
Abu Nuaim juga meriwayatkan bahwa ketika Kurz bin Wabrah meninggal, seorang laki-lakin Jurjan melihat dalam tidurnyapara ahli kubur duduk-duduk di atas kubur mereka dan mereka mengenakan pakain baru, maka dikatakan kepada mereka, “apa ini?” Mereka berkata: “Sesungguhnya para ahli kubur memakai pakaian baru, karena kedatangan Kurz bin Wabrah atas mereka.” Bibarkatihim an`im lana bisy syifa'. Wallohul Musta` an.
Nur Kholik Ridwan, pengasuh majelis sholawat dan pengajian
Comments
Post a Comment