/1/
dan dia melepas terompahnya: mendaki bukit Tursina. kenapa kepada terompah kalian kini kian tergila-gila? kemuliaan sejati pun percuma: cuma marwah semu yang ada. tersebab hilang tapak jejak menuju bukit mulia: tempat yang suci bersinggasana.
/2/
Terdengar sabda purba: bagi Musa ataukah semua manusia, bahkan bagi kami pula. Maka kami lepaskan terompah yang mewatasi kaki dengan bumi, yang sedari adanya suci. Bukankah kesucian tak perlu alas, biar hilang batas, tanda kesatuan menegas. Lalu kaki riang melangkah, pohon-pohon kehidupan berkelebatan begitu indah. Tercipta beribu belas, dan kami terbebas dari resah kepalsuan yang kini kerap menghadang kemurnian jangkah.
/3/
"Telah sampai manakah kau berjalan?" Suara itu lembut tegas menanyakan. Setelah bertahun-tahun kaki kuayunkan, mengitari jalan-jalan. Dengan terompah kesayangan yang muskil kutinggalkan. "Lepaskan terompahmu ya lepaskan! Jangan kau pakai sembarangan". Suara itu kembali mengingatkan saat telah jauh kaki kulangkahkan. Penuh kejumawaan menjejak segenap ruang kenikmatan, menapaki tempat memabukkan. Dari kediaman sampai mal-mal yang semakin bertaburan: dari dataran hingga lembah keheningan. "Lepaskan segera terompahmu ya lepaskan. Tempat itu sepenuhnya berubin kesucian. Kekotoran pantang dipercikkan. Telapak kaki harus pulang pada ketelanjangan. Segala alas tubuh mesti dibersihkan".
/4/
Kini kaki-kaki melangkah nyaris berpisah tanah: berlaksa nama dan model terompah senantiasa mencegah: kadang orang berkilah sebab tanah dibajak kekotoran berlimpah: kadang mereka berhujah lantaran terompah bikin gaya hidup tampak lebih wah.
Maka kaki-kaki kehilangan kelembutan, kewelasasihan, dan kesucian kehidupan semesta: maka kaki-kaki acap memutus tali ikatan sesama: maka kaki-kaki lupa jalur mendaki jalan cahaya: maka kaki-kaki sering lupa lembah-lembah suci serupa Thuwa: maka manusia kini kerap lupa sangkan paran kejadian segala.
Bukankah tanah itu siti?, bukankah siti itu shanti, bukankah shanti-lah yang menapasi santo dan santa yang tasamuh?: telinga batin mungkin makin tak mendengar gema begitu jauh: hidup cuma rangkaian prasangka dan keluh: bahkan kepada tanah yang suci dan tak lain diri sendiri: manusia kehilangan makrifat eksistensi?
/5/
Masih kalian dengarkah suara suci beralaf lampau, dan membuat manusia agung terpukau, lantas melepas terompah yang melekat di telapak kaki berkilau? Masih kalian ketahuikah letak dan makna suara suci yang kerasan menghuni kitab yang diagungkan di bumi dan langit tinggi? Jangankan gema, bahkan mungkin saraf ingatan kalian telah menghapusnya, tak heran sepanjang waktu kalian enggan melepaskan terompah yang dikira paling aman dan berharga.
Maka kalian merayakan mabuk terompah saban hari. Mengoleksi berbagai-bagai terompah yang ada di bumi. Berpuluh, beratus, bahkan beribu terompah aneka nama dan model senantiasa kalian beli. Berbilang juta uang kalian buang demi terompah kesayangan yang menelikung hati. Lantas rak di rumah kalian penuh jajaran terompah yang kalian sangka pelindung yang suci, mengusur jejeran kitab-kitab yang jadi rumah suara abadi. Kalian bersorak bangga seolah melindungi kaki yang suci, dan merasa kekotoran bertebaran di tanah bumi.
(ilustrasi long journey / yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)
Comments
Post a Comment