DI TEPIAN SUNGAI ITU ENGKAU MENANTI
(Nia Samsihono)
Kususuri tepian sungai
bunga menyerak aneka warna
pepohonan berkaca pada aliran air
yang membawa cerita dari hulu ke hilir
kulangkahkan kaki mengukur waktu
bayangan tubuh memanjang mendahului tapak
ada burung gereja terbirit terbang
berlomba dengan senja yang menggapai malam
kecipak dayung melengkapi orkestra
alam melantunkan suara
perahu laju tetap melaju
membawa deritaku sepanjang teraju
air tetap mengalir
di tepian itu engkau menantiku
dengan uluran cinta yang menggenggamku
lewat kehangatan telapak tanganmu
aku menatapi bunga peoni
hari tidak lagi sunyi
Jakarta, 22 Feb
ALAM, MANUSIA MENJADI EMOSI DALAM IRAMA
Seperti puisi Hamri Manopo bertajuk "Kalaulah Jikalau" yang memiki tema kemanusian, alam dan bunyi-bunyian, puisi "Di Tepian Sungai Itu Engkau Menanti" yang ditulis Nia Samsihono, tak jauh berbeda tema yang disajikan, yakni alam, kemanusiaan dan musical poet (tone dalam kata).
Puisi ini mengungkap tentang emosi yang tertuju kepada 'seseorang', sedang dinantikan penyair.
Memang, Nia tidak menyebutkan siapa seseorang dalam lirik puisinya.
Prof Dr A Teew dalam buku "Sedjarah Melaju" , orang-orang Melaju itu sangat dekat dengan alam di lingkungannja. Jika ada jang merusak hutan atau habitat di dalamnja, ia akan diadili denhan hukum adat.
Kemelajuan jang melebur dalam djiwa ke-Islam-an itulah jang menjebabkan manusia karib sekali dengan alam jang telah memberikan segala kebutuhan hidupnja...(Sedjarah Melaju halaman 145).
Namun demikian, antara Hamri Manopo dan Nia Samsihono memiliki style berbeda mengungkap kecintaan mereka terhadap diri sendiri, alam dan lingkungannya.
Nia berusaha memahami dan menjelaskan lapis arti dengan kemungkinan gaya kisahan yang timbul dari pengalaman batinnya (stilitis).
Memang untuk sampai ke tujuan itu, ketatabahasaan sangat berperan untuk memberikan pemahaman terhadap keleburan antara manusia, alam dan bunyi-bunyian.
Dalam bait ketiga, empat larik puisi Nia menuturkan tentang emosi sendu, antara lain..
Kecipak dayung melengkapi orkestra alam melantunkan suara/ Perahu laj tetap melaju/membawa deritaku sepanjang teraju...
Stilitis penyajian seperti ini pernah digeluti penyair Rusia, Vladimir Mayakowsky dalam beberapa sajaknya.
Dalam sajaknya bertajuk "Peraut Tjinta Pepohonan" yang ditulisnya pada 1871..
Mona, kau tjubit tjinta ini dari alam dan pepohonan/burung-burung manjar jang sejak kemarin bersarang di pepohonan ladang itu; meratapi kekasihnja pergi dari tjintanja di sungai itu....dst.
Stilitis seperti ini justru menumbuhkan kata-kata melankolis tentang cinta, alam dan kehidupan (baca manusia).
Penulisan puisi "Di Tepian Sungai Itu Engkau Menanti" bukan tercurah secara asal-asalan saja, karena pengalaman batin yang mengikat jiwanya berproses dalam ikatan pikirannya.
Lapis bunyi dalam larik...melengkapi orkestra alam melantunkan suara, merupakan bukti tentang kesenduan jiwa kewanitaan Nia Samsihono.
Tapi karena cinta pula yang membuat derita hatinya (aku lirik) begitu terasa di sepanjang hidupnya....
Membawa deritaku seepanjang teraju..
Dalam konteks rasa (feeling), antara cinta dan perasaan menyatu untuk berusaha memiliki atau menjadi pemilik episode percintaan antara alam dan manusia.
Rasa ini pula yang memumculkan kepedulian terhadap nasib anak manusia sepeti yang diungkap Toto Sudarto Bachtiar dalam puisinya, Gadis Peminta-minta.
Dari ungkapan puisinya itu, Nia menggunakan diksi sederhana seperti yang diungkap Taufiq Ismail saat demonstrasi tahun 1966 dahulu lewat sajaknya, Yang Kami Minta Hanyalah..
Di bait 5 puisi Yang Kami Minta Hanyalah itu : ..Yang kami minta hanya sebuah bendungan saja/tidak tugu atau tempat main bola/Air mancur warna-warni...dst.
Karena itu pengungkapan kata cinta dengan bahasa sederhana melambangkan kecintaan antara manusia, alam aekitar dan musik penyejuk jiwa (tone dan rima).
Februari 2018
ANTO NARASOMA, PENYAIR TINGGAL DI PALEMBANG
(Ilustrasi Djoko Luknanto UGM/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk untuk informasi berharga dan mencerahkan)
Comments
Post a Comment