KISAH SEORANG AYAH BERJALAN SAMBIL
MENGGENDONG JENAZAH PUTERINYA
YANG BERUMUR LIMA TAHUN, DARI SEBUAH
RUMAH SAKIT UMUM MILIK PEMERINTAH,
UNTUK DISEMAYAMKAN DAN DIMAKAMKAN
DI PERKUBURAN DEKAT RUMAHNYA,
KARENA TAK PUNYA BIAYA
tubuh kau gendong tak lagi tertolong
waktu telah habis, telah lesap terkikis
kering airmata, menggiring doa-doa
mengiring penat langkah yang sudah
hanya alfatihah, tak lelah menjelajah
mendarahkan denyut nadi yang henti
bukan pada jarak, enam tujuh puluh
kegeramanmu hendak dilukiskan, tapi
senyuman kesabaran:
serupa bumi, tak luah dipijak dikencingi
lihat,
wajahmu barat, terang menghala kiblat
tempat ridwan riang, memegang senang
lihat,
diammu timur, gelombang tak terukur
membuat malik malu, rautnya bersemu
lihatlah,
gapaimu utara, bahagia tangisan berderai
para anbiya’ melambai, senyuman aduhai
lihatlah,
tatapanmu selatan, lurus ke haribaan
mimbar cahaya, selesat kilat ke surga
~ aku gembira memandang, walau
~ dikau bimbang menyandangnya
namun,
wajahmu tetap, tak bersalin rupa
: merah di amis darah
: putih di tulang pipih
ia tak letih, terus saja bernyanyi:
pancasila sakti, NKRI harga mati
keadilan sosial untuk anak negeri
membuat bendera pusaka tak mampu berkibar
malu pada pesona pabrikan yang masih ditebar
membuat sayap garuda tak dapat berkepak
hilang garang mata, sebab paruh berbengak
~ aku yang kemarau, menelan asin airmata
~ dikau yang hujan, rindu melempen cinta
MBoro, 2018
(ilustrasi dalam sujudku/ yuk ke bagian bawah blog dan klik iklannya untuk informasi berharga dan mencerahkan)
Comments
Post a Comment