Akan tiba nazam nan sunyi hening
Al-Ibriz matan Nusantara nyaring
Asal muasal kelahiran bening
Ananda sayang, ananda diiring
Belas kasih ibunda tak terperi
Belaian cinta berdenyut di nadi
Barisan terentang rindu nafiri
Bintang sembilan di langit hati
Di teduh surau lalu, di tepian jalan asin
dan bentangan sawah sendu pantura
Tebaran sentir dzikir suluhi subuh harapan
Ahmad Mustofa Bisri di anut, di rindu dan diabaikan
Di timang, di kenang Rembang gamang impian
Di ruang tamu tempat menampung yang pilu
Aku pun merajut payang dengan benang sarung kusam
Meski diri tak kuasa menderas cakrawala hidupmu
Tapi di tubir kesunyian, izinkan aku, Mahwi, nyanyikan biru riwayatmu
Mahallulqiyam....
Ahmad Mustofa Bisri Kiai
Aku susuri leluhurmu sunyi
Ada senandung nazam emriti
Al-Ibriz berdenyut di lubuk hari
Angin jejakmu sepagi kasturi
Asapi lembaran dongeng peri
Anggun menari dendam terpatri
Alangkah lusuh bendera negeri
Ada riap merah di beranda
Ada tembang sumbang nada
Ada irama nyanyian tiada
Alief kusam di baris persada
Api menyala di jantung sabda
Angin hembuskan tuga muda
Apa kiranya gandrung di dera
Air mata rindu beku di dada
Di tepian jubah perenang seputih buih
Membuncah, menggerus perahu perih
Menjadikan bulir tasbih kail pancing lusuh
Berharap riak di atas buncahan gelombang
O, alangkah malang kerlip di jantung petang
Di jantung malam majelis terakhir
Di lembar lontar menggema zikir
Denyut soroganmu suluri takdir
Duhai kiai, aduhan penyair
Ahmad Mustofa Bisri penyair
Abjad puisimu terus mendesir
Abaikan ombak teori Amir
Asal-usul diri narasi dzikir
Ini puisi tentangmu, Gus Mus
Impian santri fajar berhembus
Irama mengalun seiring tadarus
Iringi senandung kiai Mahrus
Se susun suku kata kalimat
Serat batin mengiris hikmat
Suar suluhi narasi pekat
Sendu kalbu bait keramat
Di lapis gelap tangis terdengar
Puisi hidupmu riap bersuar
Negeri sayang, merah berkibar
Negeri sayang putih bersinar
Dalam bait puisimu, Petapa
Menggema negeriku, Indonesia
Anyir sengsara rakyat merana
Nyinyir penyair puisi bunga
Ahmad Mustofa Bisri pelukis
Alief digurat dikanvas amis
Antara diri dan ormas bengis
Antara Inul dan gamis turis
Ahmad Mustofa Bisri mencari
Apatah kiranya gandrung nyeri
Affandi inikah potret negeri
Adakah kuas bersabut duri
Ada lukisan cerita misteri
Amplop abu-abu gambaran diri
Ahmad Mustofa Kiai Bisri
Akulah rupiah yang kebiri
Bara kisahmu letupan sukma
Berdenyar batin cinta menggema
Baris aksara sulaman purnama
Bait hidupmu se alun se irama
Bersulam benang Lateh serabu
Bayangan seribu fajar jejakmu
Berselempang kasih jahitan ibu
Beban di pundak ramuan jamu
Dengan puisi jejakmu kususuri
Di ambang sunyi di bentangan hari
Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri
Dendang nazammu sedia kucari
Duhai Kiai Ahmad Mustofa Bisri
Deras riwayatmu se pagi kasturi
Di Negeri Daging dongengan peri
Damai mengalun dendam menari
Di tujuh pintu tujuh impian
Di tujuh jalan bersua panutan
Di nun Lirboyo menderas sorogan
Di jantung Krapyak, khusyuk tabarukan
Mustofa, ya, Mustofa bin Mbah Kholil Bisri, Bila senja menjelang, senandung kidung, sealun nazam menyesup iringi petang. Dibawanya Mustofa menjumpa para guru dan Kiai, mengaji diri menderas hati.
Mustofa, ya Mustofa, pandangi cakrawala bersuar. Ada awan berarak, ada desau berhembus samar-sesamar dzikir dan sajak. Mustofa pun beranjak, berjalan menuju mimbar. Ada rasa haru membiak di hati mendengar senandung puisi tentang diri.
Di jantung malam majelis terakhir
Di lembar lontar menggema zikir
Denyut sorogan suluri takdir
Duhai Kiai, aduhai penyair
Engkau, Mustofa, menangis perih
Enggan terbang di bintang masyaih
Epos leluhur di nisan putih
Enggan dilumur darah beserpih
Duhai Mustofa, penyair perupa
Dari Madura namamu kueja
Di tepian jantungmu kubawa
Di larung syair Indonesia
Di ujung alief fajar nun mekar
Di ujung semadi puisi bersinar
Dendang nazaman di hati nanar
Di baris mantra hizib akbar
Bayangan diri sesakti Khidir
Gus Mus pagari diri Kiai
Tembusi lapis semesta lahir
Dengan bayangan sang musafir
Kiai Ahmad Mustofa Bisri
Tepikan prahu lesatkan diri
Ke bukit Lirboyo, Gus Mus, mendaki
Mencari berkah, Mbah Marzuqi
Sembilan tangga jenjang kiai
Sembilan suluk khasiat wali
Ke Kediri, Gus Mus, trus mencari
Sosok petapa raga dan hati
Bersama Ibriz renungan Abah
Gus Mus suluhi aksara rahasia
Renungi jejak Bisri Mustofa
Gamang hati kitari karomah
Senyum kiai terus mengembang
Lembaran Ibriz jadi selendang
Di muka guru takzim diretas
Di jantung malam kitab dideras
Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri
Pohon usia tak henti panjati
Berkalung tasbih mantra gaib
Samarkan wujud dengan hizib
Bertahun sudah, Gus Mus, terkepung
Di dalam hutan aksara tebu
Mencecap manis ilmu sang guru
Dibatsul masail ilmu dijunjung
Lirboyo tiada henti bertadarus
Deras rimbun aksara kehidupan
Menguak rimba titi keheningan
Membelai hangat Kiai Mahrus
Gus Mus ikuti saudara sekandung
Menujum awan tepis mendung
Di jalan, Gus Mus, siap tarung
Berterompa kayu melepas sarung
Tiadalah orang bersalam muka
Diri terbang sekelebat angin
Gus Mus lah sakti tiada dua
Di hadapan Abah tunduk dingin
Aduhai Ahmad Mustofa Bisri
Perahu layari lautan puisi
Geladak sajadah dayung bahasa
Seberangi Sembilan laut ulama
Wahai Ahmad Mustofa Bisri
Terimalah salam takzim santri
Lewat nadhoman dan puisi
Nyanyian santri nahwu emriti
Luluh runtuh pesantrenku sudah
Ditinggal berlari pendaki alim
Acuhi kaum takzim dan talim
Kopiyah, sarung, tasbih, dan Madrasah
Santri gamang di jalan ulama
Madah syair terdengar samar
Hinggap dan senyap dalam belukar
Bila kiranya balagha menggema
Ini syair salam santri
Sepoi sepi penyair Kiai
Aduhai, Ahmad Mustofa Bisri
Mari melagu kerinduan hati
Dari Madura aku berlari
Iringi Ahmad Mostofa Bisri
Meniti sunyi jembatan puisi
Di jantung hari majelis santri
Lara hitam langit kelam
Payungi jalan puisi gamang
Takjub hati fajar membayang
Dalam lipatan sarung bersulam
Di langit Rembangmu, Gus Mus, keheningan batin nanar terbakar, mawar cintamu sunyi tak mekar. Lagu-sendu-lagu menggema dari pangkalan dan pematang, dari rumah-rumah tak berpintu-tak berpalang.
Ya, iya, siapa tahan orangnya dalam dekapan ombak, tidur berbanjar beralas geladak. Ya, iya, siapa tahan mengukir kobaran rindu di jenjang anjungan, melipat rengsa layar badai dalam kesunyian.
Wahai, Kiai Bisri Mustofa
Wahai, Kiai Cholil Bisri
Kiai Bisri, Kiai Mustofa
Kiaiku, Ahmad Mustofa Bisri
Rembang dibayang ombak gulita
Merana hati tergerus lara
Pelaut petani didera sengsara
Di punggung musim luka menganga
Di dalam lumbung, di pelabuhan kelam
Kotamu, kiai, berselempang langgam
Payang biru pinjaman rentenir
Padi biru mendesir getir
Pelaut berbanjar beralas kayu
Petani berselimut panen layu
Deru hasrat menggeliat linu
Di atas perahu dan sawah bisu
Lautmu, Kiai, berombak pasang
Pelaut berbantal arus gelombang
Pundakmu, Kiai, pikuli beban
Dari lereng bukit hingga lautan
Ke mana sakal hembuskan harap
Ke gumuk ataukah ke bilik langgar
Teratak lumbung anyaman lontar
Terbangkan hasil panen senyap
Alangkah panjang ini penantian
Alangkah dangkal muara perjumpaan
Alangkah sayup senandung syairan
Sesayup jejakmu, jauhi kegaduhan
Aduhai Ahmad Mustofa Bisri
Ke Multazam, ratapmu bersurai
Kecupan hangat rindu bersemi
Kekasih hati kekasih sunyi
Kaukah tembang gandrung kalbu
Ketukan senyap nada sendu
Kaukah kasih berkerudung biru
Ke muka pintu seangin lalu
Bilalah benar kabarkan padaku
Biar kutulis kisah untukmu
Bilalah tidak isyaratkan padaku
Biar kutumpahkan puisi rinduku
Lirik mahabbah sendu beralun
Lili kelopak di pagi berembun
Lirik cinta tak kuasa kususun
Lirik dan nada terasa ngungun
Ke dalam diri nada dan lagu
Khusyuk menderas putih cintamu
Kepada ibu batinku berseru
Kenapa cintaku b'rujung pilu
Akulah tembang laras ibunda
Api cintaku menyala-nyala
Asapi pandangan penuh ra'hsia
Antarkan kasih pinangan Kanda
Tapi siapa tasbihkan samsara
Tak 'kan perih beserpih di dada
Terasa lara mendera jiwa
Tinggallah aku semakin fana
Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali.
Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri.
Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk,
dan kamulah tembang laras Suluk itu.
Kau mengira aku pergi,
padahal aku mengembara di dalam dirimu.
Kita 'kan terus nadhomkan cinta
Kinanti usia nyala asmara
Kemana mesti kedipkan mata
Ketika cinta berujung duka
Biarlah diri jauh mencari
Berselempang sorban sulaman diri
Betapa, Ahmad Mustofa Bisri
Berat meniti kesunyian hati
Ya, Ahmad Mustofa Bisri
Ke Multazam, ratapmu suci
Basah kecupan rindu bersemi
Cintamu derai kasihmu sunyi
Surat cintamu putih berserat
Susuri diri di malam k'ramat
Serak dan parau tiadalah nikmat
Sendulah kalbu ditinggal hasrat
Maka biar lah kekasih hati
Meskipun lebam luka di diri
M'rana sendiri hari jalani
Menembus lapis musim berganti
Ibu, kau tahu rahasia buyung
Ilahi bersuar iringi jantung
Isyaratkan bagi diri bingung
Inikah kehendak Ilahi Agung
Ibu Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu sekian lama
Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa gunung
yang menjaga mimpiku siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku telaga
tempatku bermain berenang dan menyelam.
Adikku gandrung dan terluka
Akan bersua kekasih jiwa
Arifi gerak g'lombang asmara
Akankah cinta jadi angkara
Wahai Ahmad Mustofa Bisri
Ke Multazam, ratapmu suci
Basah kecupan rindu bersemi
Cintamu menderai kasihmu sunyi
Asytaghfirullah Robbal baroyah
asytaghfirullah minal khotoyah
Robbi zidni 'elman nafi'a
Wawafiqni 'amalan maqbula
Ya, Allah huya Muhammad
Ya, Abu Bakrinissidiq
Ya, 'Umar Utzman wa'ali
Sitti Fatimah binti Rosuli
Dengan berbunga kubawa raga
Dekaplah wahai belahan jiwa
Denyut cintamu mrasuk sukma
Dikaulah mawar mekar di dada
Langitku biru lautku biru
Luhur kasihmu, wahai istriku
Luruhkan cokelat layu kalbuku
Lekaslah sayang, peluklah aku
Perahu cintaku tak retak lagi
Pusaran gelombang tiada arti
Pupus asmara kenangan menepi
Perih di nadi sudah terobati
Comments
Post a Comment