Pagi itu, doni seperti biasanya mengenakan baju ham dan jas hitam setiap berangkat ke kantor. Gaya berpakaian yang parlente membuat para wanita yang melihatnya terpesona. Parasnya memang tampan, tak jarang wanita banyak jatuh hati padanya. Sebelum ke kantor, ia terlebih dulu mengantarkan dina anaknya ke sekolah. Kebetulan, sang istri sedang berangkat tugas ke luar daerah. Setelah mengantarkan dina, ia langsung menuju ke kantor dengan mengendarai mobil pajero sport miliknya dengan kecepatan tinggi. Setiap orang yang bertemu selalu menyapa dan menghormatinya. Pengacara Doni, Sang Juru Penyelamat Wong Cilik adalah julukannya. Pekerjaannya terkadang menjadi peluang dan ancaman yang suatu saat bisa menjadi boomerang. Doni adalah seorang pengacara yang cukup disegani dikalangan jaksa dan pengacara. Kejujuran dan keadilan adalah prinsipnya, terutama dalam membela hak orang miskin semakin membuatnya terkenal. Tak jarang berbagai media televisi dan cetak memberitakan berbagai kasus kemanusiaan yang sedang digarapnya. Kasus pembunuhan dan KDRT merupakan kasus yang paling banyak dimenangkannya. Banyak anak mafia kelas teri dan kelas kakap dijebloskan ke dalam penjara. Suap tidak bisa membeli harga diri dan kredibilitasnya sebagai seorang pengacara. Hukum tidak bisa dibeli dengan uang. Kalau hukum bisa dibeli, maka dunia ini telah kiamat.
Semakin banyak orang yang mencintainya, semakin banyak pula orang yang membenci dan menjadi musuhnya. Bahkan beberapa kali ia hampir dibunuh oleh para mafia yang anaknya telah ia jebloskan ke dalam penjara. Namun, Tuhan selalu melindungi dan menjaganya. Shalat tidak pernah ia tinggalkan, ketika adzan berkumandang meskipun jalannya sidang masih berlangsung, ia tetap menjalankan shalat tepat waktu dan meminta kepada sang hakim agung untuk menunda sidang selama lima menit saja. Tidak ada pengacara yang berani mengintervensi hakim sidang kecuali doni, keberaniannya membuat ia menjadi seorang pengacara yang prestisius.
Hampir setiap malam ia baru tiba di rumah. Glamornya kota Jakarta terkadang membuat Doni bosan dan ingin refreshing pulang ke kampung halaman di Kalimantan. Kepulangannya ke Kalimantan tidak lain untuk mengobati rasa rindu pada kampung halaman tempat ia dilahirkan sekaligus memberikan surprise kepada kedua orangtuanya. Doni telah mendaftarkan ibu dan ayahnya untuk berangkat haji tahun ini tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya. Tapi, ada yang beda, kepulangannya tidak membawa serta istri dan anak-anaknya. Ia pergi seorang diri, sudah lima tahun ia tak pernah pulang, meskipun rasa kangen pada orangtua bisa dilampiaskan melalui video call namun berbeda rasaya jika bertatap secara langsung. Home sick, itulah tema kepulangan Doni hari ini.
Burung besi dengan nomor Boeing 757 ER itu membawanya kembali ke desa masa kecilnya. Masa kecil yang sering dihabiskan dengan bermain, mengaji, dan belajar di surau. Di Desa Mamburungan, ia dilahirkan dan dibesarkan. Banyak jejak sejarah yang terlukiskan di sana. Baik permainan semasa kecil hingga sampai ke permasalahan cinta pada gadis desa. Gadis desa itu masih secantik dulu, meskipun sudah memiliki tiga orang anak. Namun, Tuhan berkehendak lain, ia bukanlah jodoh yang tertulis di lauhul mahfudz untukku. Meskipun begitu, kampung halamanku adalah noktah sejarah yang rekam jejaknya tak lekang di makan waktu dan tak sirna dalam ingatan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, ingatan masa kecil itu bagaikan role film bioskop tiga dimensi yang diputarkan berkali-kali. Mulai dari permainan meriam bambu sampai dihantui penghuni pohon bambu setiap malam sepulang mengaji di surau bersama teman sepermainan yang kini telah seusiaku dan telah berumah tangga. Sampai akhirnya, aku pun telah tiba di rumah mungil yang banyak menyimpan sejarah.
“Pak, saya turun di sini saja, jangan di depan rumah, biar saya berjalan kaki ke rumah itu?”
“Kenapa pak, kan tanggung dikit lagi nih?”, ucap Gojek itu, sembari mengembalikan uang sisa bayarannya.
“Gak apa-apa, saya mau jalan kaki saja, dah lama gak jalan kaki di desa ini”, tutupku langsung meninggalkan Gojek Online itu.
Setiba di depan rumah, aku terkejut dengan sosok seseorang yang duduk termenung di teras rumah. Kupandangi lamat-tamat, teryata itu ayahku. Tubuh yang dulu kekar kini telah kendur di makan usia. Sedih dan haru bahagia bertemu mereka masih membuatku tertahan di sini. Bagaimana aku memberikan surprise sementara yama ada duduk di depan rumah. Aku menunggu momen yang tepat sampai ayah masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba, tangan kasar dan dingin itu memegangi tanganku, aku terdiam dan heran, pasalnya di depan rumahku ada kuburan Muslim. Apa mungkin ada hantu di siang bolong.
“Doni, anakku…”, suara itu tidak asing terdengar, pelan-pelan aku balikkan badan ke belakang, dan ternyata itu adalah ibuku. Kami pun langsung berpelukan dengan tangisan rindu dan haru yang menjadi satu.
“Ayo, nak, kita masuk, ayahmu pasti terkejut melihatmu”
Sambil memeluk ibu aku berjalan memasuki rumah, dan ayah ternyata sedang melihat album foto-foto keluarga, termasuk fotoku. Kubersimpuh dan mencium kedua tangan ayah dan ibu, karena sudah lima tahun tak pernah pulang lebaran. Ayah menelpon kakak dan adik-adikku untuk malam ini berkumpul di rumah dan makan malam bersama dan mengabarkan kedatanganku.
“Wah, menu makan malam ini enak-enak yah ina, ada kepiting, udang, cumi-cumi, tudai, dan ikan kipar”
“Ibu sengaja memesan ke pamanmu dan memasakannya untuk mu, pasti kamu sudah kangen masakan ina kan nak?”
“Iya, tentu ina, ina gak lihat apa, aku makannya selahap ini, seperti tidak makan satu tahun, heee….”, semua kemudian sontak tertawa.
Malam itu ditutup dengan cerita masa-masa kecil bersama ibu dan ayah serta kakak dan adik-adikku, juga dikelilingi oleh keponakan yang tampan dan cantik-cantik. Hampir seminggu tak terasa aku berada di sini. Sudah puas mengunjungi rumah keluarga dan teman sepermainan di waktu kecil dulu. Malam sebelum kepulanganku ke Jakarta, aku menemui ayah dan ibu tuk memberikan surprise paket ONH Plus Haji kepada mereka. Ayah dan ibu terkejut bukan main. Sudah lama mereka menginginkan pergi ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Mereka kemudian memelukku begitu erat seakan-akan tak mau dilepaskan. “Terimakasih ya nak kado hajinya, semoga panjang umur dan murah rezeki”. Aamiin.
*****
Begitu berat hati pergi, begitu payah kaki ini melangkah, namun, masa cuti telah usai. Aku harus kembali bekerja. Masih banyak pekerjaan yang harus segera aku selesaikan. Aku pun pamit ke ayah dan ibu serta kepada seluruh saudaraku. Aku pasti akan kembali lagi. Pandangan ibu padaku seakan tak rela aku pergi. Mata itu nanar kemudian menggumpalkan mutiara air cinta yang mengalir ke pipi. Mataku tak kuasa menahan sedih, air matakupun tak terasa jatuh membasahi pipi. Kulambaikan tangan perpisahan kepada mereka semua. Aku pun berangkat menuju Bandara, menunggangi burung besi mengantarkan aku kembali ke Kota Metropolitan yang penuh hiruk-pikuk segala permasalahan manusia zaman edan.
Bisingnya kendaraan membuatku terbangun dari lelapnya tidur. Tak terasa aku sudah berada di Jakarta. Pagi ini merupakan pertama kali aku bekerja setelah cuti panjang. Setelah mengantarkan Dina ke sekolah, kemudian mengantarkan Shinta istriku ke Bandara Soekarno Hatta. Shinta hampir setiap bulan ke luar daerah untuk menjadi narasumber arsitektur bisnis perumahan bergengsi. Dia merupakan alumnus lulusan terbaik di ITB. Meskipun sama-sama sibuk meniti karir kami senantiasa menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga kecil di akhir pekan. Quality time bersama keluarga itu sangat penting meskipun sebentar. Sebisa mungkin kami mengatur waktu untuk dapat berliburan bersama anak-anak.
Tak terasa, kami pun sampai di Bandara, aku mengatarkan Shinta sampai di terminal, pesawat yang akan membawa Shinta ke Jogjakarta sebentar lagi berangkat.
“Mas, aku pergi dulu yah….?”
“Iya hati-hati yah, nanti kalau dah sampai di hotel, jangan lupa kabarin aku yah sayang?”
“Iya, mas juga hati-hati, jaga hati, jaga mata hanya untuk istri yah?
“Iya, honey, pasti. Cintaku hanya untuk kamu. Ups, setelah kamu pulang nanti aku ada surprise untukmu.
Istriku kemudian memelukku begitu erat. Sama seperti eratnya pelukan ina. Aku sangat bahagia karena dua bidadari ini begitu menyayangiku.
Aku pun tersadar bahwa hari ini ada kasus penting yang harus aku selesaikan. Kasus seorang ibu miskin yang anaknya telah diperkosa oleh para mafia. Semua bukti telah aku siapkan untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara.
Ruang sidang telah dipenuhi oleh pengunjung, baik dari pihak keluarga korban dan para mafia yang angkuh dengan kekuasaannya yang seakan-akan bisa membeli hukum semaunya.
Sidang di mulai. Ketua Majelis Hakim dan disusul dengan jaksa penuntut umum telah hadir.
Argumen demi argumen dilontarkan oleh pengacara pihak mafia dan jaksa penuntut ditujukan kepada korban. Dengan berbagai macam dalih dan memutarbalikkan fakta. Namun, ada satu juru kunci yang mereka tidak ketahui, yang mana data itu telah aku raih sebelum mereka mendapatkannya.
“Baik, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada tuan Jodi. Tadi Anda mengatakan bahwa pada malam itu Anda sedang berangkat ke Singapura, apakah itu benar?
“Ya, benar, saya pergi ke Singapura karena urusan bisnis.”
“Baik, tapi pada saat malam itu, ada seorang saksi mata yang melihat Anda menyeret wanita itu kemudian memperkosanya. Dan untungnya orang itu merekamnya, dan saya yakin itu adalah Anda, wajah Anda begitu jelas terlihat. Yang Mulia ini bukti rekaman videonya silakan diperiksa.”
“Itu tidak benar, itu bisa saja video buatan yang ingin menghancurkan nama baik saya. Satu bukti tidak bisa menjerat saya. Apakah Anda punya bukti lain”, ucapnya penuh dengan mata yang melotot dan penuh emosi.
Baik, saya ada punya satu alat bukti yang saya yakin tidak bisa disangkal. Tolong hadirkan saksi mata juru kunci.”
Seluruh pandangan melihat kepada juru kunci yang melangkah tertunduk-tunduk. Ternyata saksi mata itu adalah Gojek wanita yang telah dipesan oleh korban untuk menjemputnya. Dan kemudian Gojek itu mengikutinya dan kemudian merekamnya dengan begitu jelas melalui Camera Cannon dengan lensa yang tinggi. Karena Gojek wanita ini adalah seorang foto grafer. Melalui video rekamannya itu tidak bisa disangkal lagi. Hukuman penjara menanti mafia bejat itu.
Berbagai kasus dapat diselesaikannya dengan baik. Sepulang kerja tak lupa ia menjemput anaknya. Ketika di perjalanan pulang, tiba-tiba ada sebuah mobil gelap mengikutinya. Adu balap tak terhindarkan. Di tikungan tajam, mobil gelap tersebut kemudian membuka kaca dan menembakkan tepat di kepala pengacara prestisius itu. Dan mobil pengacara itu kemudian terbalik terpental-pental. Masyarakat setempat kemudian membantu mengeluarkan sang pengacara itu dan ternyata timah panas telah menembus kepalanya. Pengacara prestisius itu mati dengan cara mengenaskan.
Rekan kerja yang saat itu melintas kemudian menemukan sang pengacara prestisius itu telah tewas. Sontak kemudian, rekan kerjanya menghubungi nomor telpon yang ada di handphone, dan di situ tertulis dua nomor penting, yaitu bidadari pertama (ina) dan bidadari kedua (istriku).
“Assalamualaikum, bu. Maaf apakah ini benar, keluarga dari Doni?”
“Waalaikum salam, iya betul, saya ibunya.”
“Anak ibu, Doni mengalami kecelakaan dan tewas di tempat bu”
“Apa…Doni kecelakaan, Yaa…Allah…kenapa kau tega mengambil anakku. Inikah perasaan yang selama ini kurasakan, kenapa tidak kau ambil saja aku!”
Di lain tempat, sang istri juga mendapatkan berita yang sama. Dan seketika mendengar berita meninggalnya Doni, Shinta langsung pingsan, shock dan tidak percaya suaminya telah tiada. Kemudian kerabatnya yang bersama-samanya saat itu kemudian mengantarkan Shinta pulang ke Jakarta hari itu juga. Sementara anaknya yang masih menunggu sang ayah menjemputnya tidak kunjung datang. Untungnya ada guru yang bersedia mengantarkannya pulang ke rumah.
Rumah sakit begitu dipenuhi sesak oleh orang-orang yang pernah ditolong oleh Doni semasa hidupnya. Sementara istrinya masih di dalam perjalanan menuju Jakarta. Anaknya dijaga rekan-rekan kerjanya khawatir para mafia itu menculik atau membunuh anaknya.
Tepat pukul 21.00, Shinta tiba di rumah sakit dan dibopong oleh rekan kerjanya, dalam keadaanya shock dan lemah Shinta menguatkan diri menerima takdir yang menimpa suaminya. Mayat suaminya yang pagi tadi begitu hangat memeluknya kini tlah dingin dan membeku. Dengan segala kekuatan, Shinta membuka kain kafan yang menutupi wajah suaminya. Ketika melihat suaminya yang terdiam membisu dan beku, Shinta tak kuasa menahan diri dan akhirnya pingsan tuk kedua kalinya. Kerabatnya kemudian membawa Shinta pulang ke rumah untuk bertemu anak-anaknya yang hingga kini tidak tahu tentang kejadian yang menimpa ayahnya.
Seluruh biaya rumah sakit dan biaya penerbangan jenazah di tanggung oleh rekan kerja Doni yang tegabung dalam Aliansi Pengacara Indonesia. Esok pagi, mayat Doni yang ditemani oleh istri dan anak-anaknya akan diterbangkan pada pesawat pertama. Sementara keluarga Doni di Kalimantan penuh hari pilu menunggu kedatangan Doni. Ternyata inikah Surprise yang nanti akan diberikan Doni. Surprise yang Tak Dirindukan.
*cerpen ini dipersembahkan untuk kepergian seorang sahabat
Comments
Post a Comment