: menjawab puisi Boby
Aku pernah menyaksikan tubuh nenekku dibakar di dalam gedung. Doa-doa berdengung seperti gema yang menyentuh kaki langit dan meminta hujan agar tumbuh dari tiap ruasnya hingga jasad itu sendiri urung menjadi abu.
Di cungkup rumah, matahari sibuk bermain kelereng. Ia enggan membaca peristiwa menyedihkan itu di sini. Ada kesan bahwa segala luka hanya perlu ruang yang satu saat hujan akan menghampiri dan membasuh tiap amisnya.
"Saat hujan dan kemarau" katamu. Sedang jiwaku belum pernah dijamah basah sekalipun. Tuhan bilang, hujan masih gemar mempertontonkan tubuhnya di ladang para kuru yang mencintai hidupnya sebagai sebatas main-main dan mempermainkan.
Tukad tak juga hamil, dan seperti yang kau lihat meski tanpa percakapan. Ini kota dalam dadaku masih kemarau.
Aku pernah memimpikan samudera hidup di mataku. Membiarkan ombaknya menari dan mengasuh ikan-ikan dengan sangat bahagia. "Tapi kau tahu jika ia hanya sekedar mimpi." Yang tak mungkin digapai oleh pandir. "Atau sebaiknya kusingkirkan saja keyakinan ini?"
Sebulan lalu di ujung lorong menuju ke rumah, ada anak matahari yang baru lahir pagi-pagi. Aku begitu takut dan hendak berlari menjauh. Ingin rasanya berlindung di dada siapa saja jika bisa agar kematian nenekku tak menular padaku. "Tapi bukankah menghindar itu pekerjaan sia-sia?"
"Atau bagaimana jika kau ajarkan aku tentang memahami cuaca di kampung kita? Anggap saja agar luka demi luka itu bukan peristiwa yang perlu dicemaskan setiap saat."
Tanjungpinang, 20 Oktober 2018.
Comments
Post a Comment