Oleh Muhammad Thobroni, Sastrawan Kalimantan Utara
MENTOR| proses kreatif menulis saya
Setiap kelahiran umumnya memiliki bidan. setiap pembelajaran umumnya memiliki guru. dan, kelahiran sebuah karya istimewa, adalah buah polesan para mentor kepada bimbingannya.
Saya menulis naskah buku ini saat sedang berada di puncak. Puncak keresahan, puncak ketidakberdayaan, puncak kesuwungan antara ada dan tiada. saya sedang mules-mulesnya. seorang suami baru, menapak hidup baru, dan sedang di dasar jurang kehidupan. lukisan paling mewakili keadaan saya waktu itu adalah seorang lelaki nelangsa, tak mengerti apa yang harus dikerjakannya, dan tak ada ide mau melanjutkan hidup seperti apa. proyek-proyek telah usai. sebagian tiba di puncak dengan selamat, sebagian terjerembab di dasar jurang. dan, hidup harus dimulai dari titik nol.
saya menemui senior saya, seorang provokator menulis: Alb Agung Kunto Anggoro. saya lihat bukunya yang istimewa.
Saya mencari-cari dan membongkar-bongkar arsip. dapat. saya cetak semua naskah arsip. jadilah bakal 7 buku kumpulan cerita pendek dan bakal 9 buku kumpulan puisi yang saya coret-coret sejak remaja di jogja. isinya tak usah dibayangkan hehe tapi, saya yakin sekali, ketika itu memilih 1 naskah kumpulan cerpen dan 1 naskah kumpulan puisi.
saya bawa ke kang kunto, senior saya di gema bernas dan sanggar talenta. "Butuh naskah begini ya kang?" saya sodorkan kedua naskah ke hadapannya. diterima dan diletakkannya di meja. ia melirik sekejap. "Menerbitkan buku itu mudah. tapi, kamu bisa menjamin buku yang cetak 3000 eksemplar perjudul dan disebar ke toko buku dengan ongkos kirim tak sedikit itu, bisa laku?" ia bertanya. pandangannya menatap tajam. menyelidik keyakinan imanku atas rencana awal ini. saya plonga-plongo. ia mengambil beberapa lembar kertas dan menyodorkannya kepada saya. "Bacalah daftar buku laku bulan ini," perintahnya. seperti perintah Jibril kepada para nabi.
Saya membolak-balik daftar buku laris yang dikeluarkan jaringan toko buku nasional dan distributor buku, bulan itu. Saya termangu. Tak ada buku cerpen. Tak ada buku puisi.
"Kamu menulis buat makan atau senang-senang?" tegurnya. menepuk pundak saya yang mulai lunglai.
"Syukur-syukur keduanya. saya menulis yang suka senangi. bisa juga buat makan."
"Hidupmu kok ruwet. sudah coba kamu diskusi dengan Islah Gusmian. editor pustaka marwa, inprin buku agama."
lhadalah. kang islah adalah ahli tafsir quran muda saat itu. saya merasa keberuntungan bertubi menghampiri. saban hari saya datangi ruang kang islah. "Bisa menulis sedekah?" tanya beliau. "Menulis bisa saja. tapi untuk bisa sedekah, uang saja nggak gablek." cetus saya.
"Nah itu. kamu menulis sedekah yang dilakukan orang tak punya harta. termasuk kamu. berbagi tulisan. meski tulisan tak laku, tapi bisa dibaca orang banyak."
keresahann kian hinggap. jiwa dan pikiran makin mules. hampir tiap waktu, nggak pagi siang malam, saya ketemu kang Islah, sekarang doktor tafsir dan pakar filologi kenamaan dari iain solo. naskah yang semula saya beri judul "teknik sedekah bagi pemula tak berharta" disarankannya diganti "mukjizat sedekah". saya sempat protes, judulnya terlalu berat, sebab keajaiban serupa itu hanya ada pada para nabi. "sudah. itu istilah bahasa bisa mengalami kontekstualisasi. itu sekadar menggambarkan penderitaanmu yang luar biasa dan mampu membuat buku ini adalah sebuah keajaiban bagimu." ya sudahlah. Oleh disainernya yang ciamik Teguh Prastowo covernya diberi sentuhan istimewa: kupu-kupu cantik. bukan tangan menengadah atau pengemis. dan buku ini sama sekali tidak banyak menceritakan teladan sedekah para nabi dan sahabat, atau orang-orang besar. saya menuliskan kisah-kisah sedekah orang pinggiran. meski dikemas fiksional, kisahkisah di dalamnya adalah faktual. tentu dengan sentuhan puitika dan dramatikal.
Saya bolak-balik memikirkan bakal buku itu. akhirnya saya menghubungi senior saya, Ali Formen yang sedang studi di australia. ia mentor saya sejak aktif di karya ilmiah di madrasah, dan saya kenal spesialis penulis kata pengantar. dan betullah, kata pengantar yang dikirimnya membuat saya agak lega. Naskah buku ini jadi bernuansa istimewa.
Saya sekadar cerita, buku ini tiba belakangan di meja buku best seller gramedia, tapi bertahan sangat lama hingga bertahun lamanya. Royalti yang disedekahkan ke saya oleh Galang Press sudah saya pakai bayar kontrakan, bayar kuliah s2 dan melanjutkan hidup yang luar biasa bersam istri dan bayi dalam kandungannya.
Buku ini mungkin lebih mudah didapatkan di toko online timbang di rak buku penulisnya.
Comments
Post a Comment