Oleh Muhammad Thobroni
HUTAN| PROSES KREATIF SASTRAWAN MUHAMMAD THOBRONI (8)
Hubungan saya dengan hutan telah dicatat dalam sejarah kisah-kisah indah tentang peradaban manusia.
dulu, ada ungkapan stereotype, labeling dan cenderung biasa liyan haha jadi, Ibu saya kerap menyebut saya cah alas atau arek alas. penjelasannya hanya satu: sebab saya hobi ngeluyur ke hutan (alas). betul-betul alas. zaman dulu, hutan jati di kawasan ploso-kabuh-plandaan di jombang, tergolong menyeramkan. angker. konon masih ada harimau jawa waktu itu. saya juga beberapa kali bertemu hewan mirip kucing di tengah hutan. Saya biasa ketemu manuk, burung kutilang, emprit (pipit), dan sebangsa serangga jaringkung (?) yang suaranya menambah suasana latar hutan cenderung dramatik.
saya sering menerabas dan menerobos tengah hutan. lewat jalan setapak. mirip pendekar falam film laga. sendirian. kadang lewat jalur kuburan di tengah hutan. tujuannya adalah rumah pakde saya di kampung cepit. kadang, bila rasa takut terlalu kuat, saya jalan memutar lewat kedung cinet yang sekarang tersohor sebagai kawasan wisata itu. Itu sekarang. dulu, kedung cinet itu dianggap angker. simbah pernah cerita, ada sepasang kekasih pacaran dekat kedung tersebut. saat berbuat anu, kedua onderdil sepasang kekasih itu tak dapat dilepas. akhirnya dibawa ke rumah sakit. dan entah kelanjutan kisahnya.
sebab memutar, perjalanan jadi dijalani lebih jauh. dan di beberapa titiknya berlumpur atau kembet. bila lewat titik itu, kaki menancap dalam lumpur. ya memang, sebelum kenal aspal dan semen rupa sekarang, daerah situ umumnya licin bila hujan. bahaya dilewati dengan cara jalan kaki atau naik onthel. kadang, roda onthel bisa terbalik 180 derajat, depan jadi belakang dan belakang jadi depan. apalagi, bagi kanak-kanak yang tak memiliki kecerdasan kinestetik memadai, pascahujan harap waspada sebab sepanjang jalan khususnya yang banyak batu kali, segera akan berubah jadi prosotan bagi mereka yang lewat. situasi yang sama bila penduduk kampung itu akan turun ke sungai, bila tak hati-hati melewati setapak miring di atas tebing ke dasar sungai dangkal itu, bisa saja terjun bebas tanpa pelampung.
arek alas, cah alas di kampung saya dulu itu, biasa masuk hutan dengan banyak alasan. sebagian anak, termasuk saya, kerap mengimpulkan dahan dan ranting jati. biasanya sisa orang menebang batang jati. bila tak dapat, terpaksa memanjat batang jati. kanak-kanak kampung sudah paham bahwa dahan dan ranting yang dicari hanya yang kering atau yang berpotensi lekas kering. Sederhana saja, kayu kering itu ringan dibawa pulang dalam jumlah banyak. bisa dibayangkan kekuatan tenaga kanak-kanak. bawa seikat dipikul pundak saja rasanya naudzubillah. alasan berikutnya ialah dahan dan ranting kering tersebut lekas laku dijual jadi uang. dulu ada teman saya yang pintar cari dan jual kayu kering ini. seikat 3000 untuk zaman itu. kalau tak terlali bagus, bisa ditawar 2000-2700. bila lebih lincah lagi, kayu kering dijual ke "kota" ploso. biasanya ini dilakukan kanak-kanak lebih besar atau remaja.
hal lain yang kerap saya lakukan adalah memetik dan mengumpulkan daun jati, berikutnya saya jual ke warung. ini jarang saya lakukan kecuali terpaksa. sebab umumnya mereka yang melakukan kegiatan ini adalag kaum ibu. tapi, kegiatan memetik dan mengumpul daun jati itu memberi pengalaman berharga yang intim dalam pengetahuan awal saya tentang dunia daun di hutan.
di tengah hutan pula, saya kerap menebang batang ploso di tengah semak berduri. dan batang yang berat itu, sebab basah, saya panggul di atas pundak kanak-kanak saya yang mungkin masih rapuh. sebab itulah ibu saya kerap marah bila memergoki saya bawa batang ploso dari hutan. batang ploso tidak terlalu banyak yang mencari atau mengincar. Berbeda dengam jati. di kebun rumah, batang ploso saya potong-potong sekira 0,5-1 meter. saya gali lubang seukuran pantat. Potongan batang ploso tersebut ditata berbanjar tindih menindih. Harus rapat. Di bawah tumpukan potongam batang ploso disisakan lubang perapian. bila dirasa cukup, batang-batang tadi ditimbun secukupnya. Dan api dinyalakan, hingga menyerupai sekam. dalam berapa waktu, kegiatan itu akan tampak mirip orang membakar batu-bata. hingga saat dibongkar, potongan batang singkong telah menjadi arang. Harus hati-hati membongkar arang dari tumpukan, agar didapatkan hasil terbaik. dan tidak hancur lebur atau berbaur dengan tanah basah sisa siraman air pemadam api dan bara.
Arang yang baik dihargai mahal. Arang hancur dan bercampur tanah ya hasilnya murah. Atau malah digunakan sendiri.
sesekali, bila musim, saya mencari dahan atau ranting bahan ketapel. Biasanya mencari yang bercabang bagus dan lentur. Perlu dicoba dengan cara menarik kedua cabang ke belakang. Atau, menyisipkan ganjal di antara dua cabang dan mengikatkan pucuk cabang hingha rapat. Lantas diasapkan di atas perapian dalam waktu tertentu. bahan yang bagus akan menghasilkan ketapel yang kuat. tidak terbakar saat diletakkan di atas api. juga tak retak apalagi pecah menhadapi tekanan panas. setelah siap, kedua cabang membentu huruf U, tinggal dipasang karet pentil di kedua sisinya dan dihubungkan dengan potongan ban dalam atau potongan kulit sepatu sebagai tempat pelempar peluru.
di pinggir hutan, banyak barisan pandan berduri. seperti halnya yang lain, saya juga memotong daun pandan, berlatih membelah dan mengiris hingga belahan paling tipis menggunakan benang senar. beberapa kali tangan harus berdarah terkena duri atau sayatan benang tajam. sebelum disayat dengan benang, biasanya duri di pinggir daun panjang dibuang dulu. Selepas terpilah hingga tipis, lantas dijemur dan dianyam menjadi tikar. saya senang tidur beralas tikar pandan atau lantai kayu. tidak panas juga tak dingin.
pandan-pandan berduri memiliki akar yang kuat. Menjalar liar. Sebagian saling belit. Jalin kelindan. Sebagian menancap ke tanah. saya suka sekali memotong akar itu. kami menyebutnya sulur. Dan mengurainya menjadi tali sulur yang kuat. Kadang menjalinnya menjadi tali tampar yang ulet. biasanya, saya bikin juga untuk main kekehan alias yoyo.
di hutan juga, saya pernah berburu sebuah daun mirip kelapa atau nipah atau entah ala namanya. Yang muda dipotong, dipotong dan dipasang pada sungut layangan besar. Layanganan yang diterbangkan oleh tali tampar ukuran kecil biar tidak mudah putus. Daun yang sudah dikeringkan dan dipasang di layangan, akan mengeluarkan suara nyaring di angkasa. Apalagi saat angin kencang. Terlebih pemainnya pintar memainkan arah layangan hingga bunyi itu menjadi berirama.
Di jogja, suasana hutan saya temui saat di kulonprogo, sekitar kaliurang atau kalikuning. Juga di gunungkidul. saat di pacitan, hutan juga mewarnai perjalanan hidup seharihari.
Di kalimantan, saya mendapatkan pengalaman luar biasa dan sungguh berharga. Sebab hutan bukan saja dimaknai secara ekonomi tapi juga budaya. Hutan bukan semata raga tapi juga jiwa. hutan bukan hanya jalan dan jalur. Tapi juga sahabat siang dan malam.
2018
Urotul Thobroni Arif Mustofa
(nanti lagi direvisi...mau jalan/ revisi
Comments
Post a Comment