MUHAMMAD THOBRONI | MADRASAH, UNIVERSITAS, DAN TASAWUF SOSIAL PENYAIR | AMIEN WANGSITALAJA | KOLOM | AMBAU.ID | ZONA LITERASI | SAMARINDA
Oleh Muhammad Thobroni
(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun)
Senang sekali membaca profil pengarang di bagian akhir buku puisi berjudul Perawan Mencuri Tuhan karya Amien Wangsitalaja ini. Buku terbit tahun 2004 oleh Penerbit Pustaka Sufi di Yogyakarta. Profil pengarang di halaman akhir menunjukkan pergulatan kreatif yang amuk.
Amien memulai pendidikan formal tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Wonogiri. Pilihan pendidikan formal itu pastilah tidak sembarangan. Butuh renungan dan pertimbangan. Terlebih bagi seorang anak dari keluarga santri. Tapi berada di tengah lingkungan sosial yang mayoritas abangan dan priyayi.
Madrasah merupakan sistem pendidikan formal. Tingkat dasar (SD) biasa disebut ibtidaiyah. Tingkat menengah (SMP) disebut tsanawiyah. Dan tingkat atas (SMA) dinamai aliyah. Dua Ormas islam besar di indonesia, Muhammadiyah dan NU, memiliki banyak model sekolah ini di banyak daerah. Bahkan sampai ke pelosok desa. Istilah madrasah juga digunakan untuk pendidikan non-formal bernama Madrasah Diniyah.
Anak-anak belajar banyak hal terkait ajaran agama di madrasah. Zaman dulu madrasah ditujukan untuk belajar agama sepenuhnya. Tapi sejak "diintegrasikan" dengan "kebutuhan negara", madrasah juga mengajarkan "ilmu non agama". Dalam praktiknya, mata pelajaran agama mendapat porsi lebih banyak tinimbang "non agama". Murid madrasah dengan mudah menerima ajaran aqidah, akhlak, tarikh, tata bahasa, bahkan beberapa topik materi dijadikan "pelajaran khusus". Misalnya nahwu dan shorof. Dua kompetensi penting terkait bahasa dasar.
Pelajaran dan topik mengesankan lain dari madrasah ialah kisah para nabi, sahabat nabi, para ulama terdahulu, pemikir islam, dan juga tokoh-tokoh pendiri organisasi Islam. Murid madrasah kaya dengan diksi bahasa. Juga kaya dengan kisah dari beragam sumber. Murid madrasah menghabiskan kanak-kanak mereka dengan kenangan dan kesan "religius dan spiritual" yang komplit. Meski perjalanan masihlah panjang.
Memilih madrasah sebagai jalur pendidikan formal anak berarti melakukan langkah ideologis. Ada kepentingan nilai yang ingin dipertahankan dan diwariskan generasi tua ke generasi muda. Mereka ingin menegaskan identitas diri yang berbeda dengan "sekolah abangan" dan juga "sekolah priyayi". Terminologi santri pada akhirnya bukanlah soal teologis. Tapi ideologis dan politis. Ada sikap yang ingin diteguhkan dan disuarakan. Bagi keluarga santri zaman dulu, penegasan ini penting saat situasi memungkinkan. Mereka melewati zaman pergolakan prakemerdekaan dan pergulatan ideologis pascakemerdekaan.
Pada masa pembangunan dan "usaha mengisi kemerdekaan", hal ideologis dan politis masa silam tampaknya tidak sepenuhnya punah. Bahkan kian dinamis dan kompleks. Terdapat tarik ulur yang belum tuntas. Sebagian ingin "menyantrikan" yang ada seluruhnya. Kaffah. Sebagian ingin menolak sepenuhnya. Sekuler sesekuler sekulernya. Sebagian coba menengahi. Mengambil negosiasi dan kompromi. Pada akhirnya jalan tengah dijadikan solusi. Meski ada anggapan dan tuduhan sebagai sikap yang tidak jelas. Ambigu.
Tarik ulur itu juga tampak dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Bukan hanya politik sebagai praktik. Tapi juga dalam politik perdagangan, politik kebudayaan bahkan politik pendidikan. Di bidang pendidikan, sekolah dan madrasah bukan hanya dianggap sebagai ruang "transfer pengetahuan" dan "kursus keterampilan". Sebagaimana dipahami sekarang ini. Bagi keluarga dan kelompok santri, lembaga pendidikan adalah pertaruhan ideologi bahkan "aqidah". Sikap ini kadang disalahpahami sebagai resistensi terhadap budaya lain.
Ada kelompok yang tetap ngotot mendirikan sendiri lembaga pendidikan yang dikontrol sepenuhnya keluarga dan kelompok santri. Mereka sepenuhnya ingin mengkreasi lahir batin lembaga pendidikan untuk anak turunnya. Ada kelompok yang ingin menerima gagasan baru dari pendidikan model eropa dan amerika yang dianggap modern dan berkualitas. Mereka berargumentasi kemajuan dan kecanggihan peradaban hanya dapat diwujudkan lewat renaissance, sekulerisne, liberalisme dan revolusi Industri. Agama dianggap sebagai sumber kejumudan bahkan kekolotan. Kemajuan sulit terwujud dari pikiran konvensional, primordial dan primitif.
Sebagian lagi coba bertahan dengan akar sejarah yang ditanam. Sebagai pondasi pembangunan. Tapi bahan dan perwajahan bangunan bisa bersumber dari mana saja. Bisa diambil dari yang lama atau baru. Yang tradisional maupun modern. Mereka tampak mengedepankan apa yang disebut sebagai pentingnya ikhtiar dan ijtihad. Atau dalam bahasa yang dianggap keren disebut inovasi.
Amien melanjutkan pendidikan formalnya ke pesantren Modern Assalam di Solo. Sebagai kawasan "ideologis dan politis", Solo masih sebelas duabelas saja dengan Wonogiri. Punya sejarah panjang sebagai "kawasan merah" dan juga "pabrik priyayi". Di Assalam, Amien menghabiskan masa remajanya lewat pendidikan agama 6 tahun. Tiga tahun di tsanawiyah dan 3 tahun di aliyah. Beda dengan semasa ibtidaiyah yang masih bisa gelayutan di ketiak emak. Zaman Assalam, Amien menghabiskan sepenuhnya waktu remaja dalam asrama. Fokus dan khusyu.
Kelanjutan pendidikan formal memberikan transformasi intelektual dan spiritual yang penting. Ada pergulatan tambahan. Ada suntikan wawasan. Ada benturan. Ada sudut pandang penyegaran. Bersumber dari mana saja. Apa saja. Dan siapa saja. Dari buku yang bertumpuk dan mudah didapatkan. Dari teman dan ustadz yang sangat beragam. Dari kebudayaan lain yang tumpah jadi satu ruangan di asrama.
Pergulatan intelektual dan pergolakan spiritual itu memberikan sudut pandang dan sikap dalam memilih dan menentukan kelanjutan pendidikan tinggi. Amien pilih meneruskan belajar di universitas. Sebuah pilihan yang "entah". Bisa saja sebab kebosanan lama di asrama dan hanya berjumpa jenis sesama. Bisa saja kejenuhan dengan materi pelajaran yang "itu-itu saja". Atau, malah, langkahnya menjadi semacam perlawanan. Atau justru semacam pemberontakan.
Bukan perlawanan terhadap keluarga dan tetangga. Bukan pemberontakan terhadap madrasah dan apalagi agamanya. Tapi perlawanan dan pemberontakan terhadap dirinya sendiri. Amien semacam ingin berjihad menaklukkan dirinya sendiri. Dia coba menguji ketangguhan sisi agama, religi dan spiritualitasnya di lembaga pendidikan yang sepenuhnya "sekuler". Bisa saja dia ingin mengetes ketahanan intelektualitas dan sikap kritisnya terhadap sejarah dan sosial.
Belasan tahun menunda kelulusan sebagai sarjana sastra, mungkin masa panjang yang "bakal paling disesali" Amien. Dia bukannya menang dalam perlawanan dan pemberontakan. Tapi dipaksa menerima pikiran dan keabsurdan hidup yang dibawa modernitas lewat pendidikan tinggi. Satu sisi bicara penting kedamaian tapi sisi lain mendamba perang. Satu sisi bicara pluralisme dan multikulturalisme tapi sisi lain gandrung konflik, stereotip dan stigma terhadap liyan.
Amien harus menghadapi amuk dalam dirinya. Dan juga butuh kekuatan dan tenaga untuk mengendalikan gejolak luar dirinya. Dia butuh media yang mampu secara kritis dan kreatif menjadi ruang orkestra dan panggung tarian bagi seniman. Dia butuh majalah sebagai media aktualisasi yang luwes tapi tegas menyuarakan suara dalam dan luar dirinya. Parahnya, dia terjebak menjadi penyair. Dia kalah dalam perang. Perlawanan dan pemberontakan yang kurang berhasil. Dia menulis banyak puisi. Puisi adalah jalan kekalahan.
Tapi, Amien merupakan penyair yang tenang. Proses kreatifnya khusyu. Berkat peperangan yang lama dilakoninya. Dia menjadi lakon yang kokoh. Meski kalah dalam "perang zaman", dia menang dalam keheningan. Dalam bahasa Meggy Z. , dia kalah dalam percintaan tapi pernah merasakan jua belaiannya.
Puisi-puisi dalam buku Perawan Mencuri Tuhan ini bukti nyata. Meski kalah dalam perang "online", tapi Amien telah memenangkan perang "offline". Puisi menjadi ladang baginya melontarkan peluru "pembelaan, perlawanan dan pemberontakan" terhadap "fasisme, totalitarianisme dan otoritarianisme". Puisi Amien adalah puisi "kiri" bukan "kanan". Puisi-puisi itu menyuarakan, mengadvokasi dan menjadi penyambung lidah umat.
Meski begitu, Amien termasuk penyair cerdas. Dia berhasil membuat selubung halus bagi puisinya. Agar tidak menjadi puisi poster. Atau puisi orasi jalanan. Meski melawan, puisinya bukan "realisme sosialis" atau "marxisme" atau "komunisme" atau malah "atheisme sastra". Puisi-puisi Amien melawan dengan cara ghirah spiritual. Dia memilih jalan tasawuf. Meski sebagai penyair tampaknya dia menolak disebut sufi.
Namun, jalan tasawuf yang ditempuh Amien pun bukan semacam thariqah yang lazim dijalani kaum sufi. Yakni mereka "menjauhi dunia", "pakaian gembel", menepi ke mihrab bahkan gua, bersembunyi dari keramaian untuk menjaga kesucian pikiran dan jiwanya. Sebagai " salik" dia tepat bergerak secara "revolusioner" ke tengah gelanggang sosial. Dia tidak pilih beruzlah tapi merayakan keriuhan zaman. Dia memilih jalan tasawuf sosial.
Puisi menjadi medan pertarungan. Pertarungan dirinya dengan dalam dan luar. Puisi menjadi "mimbar demokrasi para sufi". Puisi menjadi gelanggang pembantaian kata-kata. Di tangannya, puisi yang berkisah tentang "perempuan" bisa menerjang selangkang kekuasaan. Puisi yang bicara "gadis madyan" bisa menyasar secara subversif perselingkuhan modal dan kekuasaan.
Penyair Amin menyatakan, "judi aku tak, mabuk aku tak, zina aku tak", sebab "aku belum melihat kemauan puisi dapat melebihi amal sehari hari." Tasawuf sosial gaya penyair Amien berarti berpuisi sufi bukan untuk takluk pada kekuasaan tapi memberontak pada ketidakadilan sosial. Berpuisi sosial bagi Amien bukanlah untuk merayakan penuh hura keriuhan zaman, tapi menepikan dan menyepikan puisi sebagai ekspresi hati sufi.
Brangsong, Mei 2022
Comments
Post a Comment