Oleh Muhammad Thobroni
(Penjaga Kandang Kelinci dan Pecinta Kebun)
Ada banyak hal yang diposting netizen ke beranda media sosial. Sebagian diposting oleh perseorangan. Sebagian lagi diposting oleh kelompok, komunitas atau organisasi. Terdapat postingan yang ditujukan untuk banyak orang. Tapi tidak sedikit postingan yang sebenarnya ditujukan untuk orang perorang.
Postingan media sosial pun kian beragam. Sebagian netizen pilih posting dengan memanfaatkan sumber harian. Sebagian lagi ada yang pilih posting hal terkait masa depan. Bahkan terdapat netizen yang posting hal-hal tradisional dan menekankan pentingnya kenangan masa silam. Sebagian postingan ditujukan untuk menarasikan situasi hari ini. Sebagian diharapkan untuk menyongsong masa depan. Dan bahkan ada pula postingan yang ditujukan untuk mencintai kesilaman. Ada kesilaman yang diharapkan tidak hilang. Atau bahkan dapat diabadikan.
Di antara postingan-postingan itu terdapat bentuk tulisan, gambar, rekaman audio, juga audiovisual. Dari sekian postingan netizen, terdapat di antaranya yang disebut sebagai flexing.
Flexing banyak dipahami sebagai "memamerkan". Kurang dapat dipahami secara jelas apakah "pamer" termaksud terarah riya'. Ataukah hanya "pamer" dalam pemaknaan pamer semacam "dealer memamerkan mobil di showroom". Di dunia maya memang tidak mudah menyimpulkan apa yang sebenarnya dimaui.
Ada netizen yang rajin sekali posting buku atau rak buku. Sebagian bertujuan memberi semangat literasi. Sebagian menjadi gaya-gayaan. Sebagian lagi dianggap sebagai flexing. Sekadar biar tampak punya buku. Atau rajin baca buku. Atau malah dikesankan sebagai kaum cinta buku. Kutu buku. Bahkan golongan intelektual paten.
Sebagian netizen suka sekali posting makanan dan minuman. Hasil olahan masak apa saja diposting. Bahkan makanan gagal eksperimen juga diposting. Sesekali ke warung juga diposting. Lalu ada netizen bilang itu flexing. Anggapan ingin pamer hasil masak. Atau justru pamer kemewahan makanan. Meski makanan yang dipamerkan tidak selalu makanan wah. Ada juga netizen yang hobi posting makanan "ngrowot". Sebangsa umbi-umbian atau membatasi pada sayuran-sayuran. Biasanya mereka sedang diet. Atau faktor lanjut usia. Atau memang adanya stok makanan macam itu saja di rumahnya.
Postingan lain yang juga kerap dituduh sebagai flexing bentuknya gambar plesir. Atau semacam laporan perjalanan. Atau ada pula yang mirip laporan kegiatan. Rapat dipoto lantas diposting. Selfie depan acara seminar lantas diposting. Menghadiri pelantikan pejabat dan poto bareng lantas diposting. Antar pasangan ke mantenan anak tokoh lantas diunggah. Ada netizen yang menganggap itu semua flexing. Mungkin bukan pamer benar yang diniatinya. Tapi semacam ingin dipuji tampaknya. Bahwa mereka kenal siapa saja. Atau mampu ikut acara penting apa saja.
Tapi sebenarnya tidak semua netizen gerah dengan tudingan flexing. Kadang netizen yang luwes dan lihai justru memberi caption gambarnya dengan "flexing tipis-tipis". Mungkin netizen semacam itu ingin menertawakan situasi. Atau sekadar ikut merayakan kegembiraan yang nyata. Kadang dituduh flexing juga dibalas dengan "yoi, kapan lagi bisa flexing di rest area!". Atau sambil guyon " Yes, flexing setahun sekali di tengah kemacetan tol!" Atau, "pagi ini mabur lagi nih. Alhamdulillah kemarin kereta. Hari ini ujicoba lewat angkasa! " Bukan gambar dan caption itu yang utama. Tapi menikmati flexing bukan sebagai urusan "teologis" yang dianggap menggerus amal mereka. Katakanlah ini semacam pesta duniawi semata. Merayakan temuan teknologi kekinian bernama digital.
Tidak semua postingan yang "berbau memamerkan wajah, masakan, plesiran, atau plesir" kadang hanya jadi ajang healing belaka. Menjadi semacam "terapi" atau "obat" untuk sedikit mengurangi rasa sakit atau luka derita. Kadang malah cuma dijadikan semacam "jamu" untuk menambah daya imun menghadapi beragam tekanan menguras energi lahir batin.
Banyak netizen mengalami beragam kesibukan di dunia nyata maupun dunia maya. Kerepotan secara daring atau luring. Kesumpekan secara online maupun offline. Tidak banyak kesempatan ditemukan untuk mendapatkan sedikit hiburan. Tidak banyak ruang mampu diciptakan untuk mewujudkan keceriaan. Memanfaatkan ruang dan waktu sekecil apapun dalam kehidupan sehari-hari untuk dinikmati dengan gembira dan bahagia ialah jalan lain untuk healing.
Jalan orang untuk healing agar keceriaan, kegembiraan dan kebahagiaan itu muncul bahkan bertahan lama bisa beragam jalurnya. Banyak tikungannya. Berjenis tanjakan dan turunan serta kelokannya. Tidak harus dalam bentuk sesuatu yang mahal atau mewah. Tidak melulu bermakna hal yang megah dan menjulang. Bisa saja dari barang remeh temeh. Atau tempat yang sepi nan sunyi. Atau kegiatan yang receh. Tapi tentu menyimpan hal yang istimewa. Spesial.
Termasuk bisa jadi healing itu muncul dan lahir di tengah kegabutan. Kesibukan yang tak terkendali bisa membuat orang gabut. Seperti kehilangan tenaga untuk berpikir dan bertindak. Lantas pilih melungkrahkan diri. Memalaskan diri sendiri. Dan tegas menjadi bagian dari kaum rebahan.
Orang sibuk bisa bersumber dari apa saja. Para pejabat sibuk dengan kursi kekuasaannya. Para guru repot dengan jam mengajar da segala persiapannya. Pedagang menghadapi tekanan urusan bisnisnya. Seniman sibuk dengan imajinasi dan proses kreatifnya. Bahkan mereka yang sedang tidak bekerja juga sibuk dengan urusan mengelola waktu luangnya. Tidak ada yang benar-benar menganggur di dunia ini. Bahkan bagi mereka yang sehari-hari tampaknya dianggap pengangguran.
Kebudayaan dan teknologi mengubah manusia menjadi bertambah sibuk. Bertambah cepat. Bertambah laju. Hidupnya dipaksa terus ngegas. Butuh sesuatu yang dapat menjadi rem di jagad digital. Posting, flexing dan healing ialah ikhtiar netizen tetap hidup di dunia nyata. Meski berada di ranah maya.
Terlebih di antara kesibukan nyata dan maya pastinya terdapat beragam masalah. Ada masalah yang dengan mudah dibereskan. Tapi tak sedikit masalah yang belum berhasil bahkan gagal diselesaikan. Kegagalan menghadapi keinginan dapat memicu tekanan. Stres, frustasi dan depresi bisa menjadi rangkaian yang rumit diobati. Tanpa sahabat yang menemani dan ruang ekspresi healing yang memadai, banyak orang harus bersiap terjebak kemacetan. Bahkan menjadi gila atau bunuh diri.
Setiap orang butuh healing. Dengan cara apa saja selama tidak mengganggu kepentingan dan kebutuhan orang lain. Healing ialah hak setiap netizen di dunia maya. Mereka berhak ikut merayakan, mendapatkan dan menciptakan kegembiraan serta kebahagiaan lewat jagad digital. Sesama netizen sebaiknya tidak saling mendahului. Atau salip-salipan. Kebudayaan dan peradaban manusia sedang menghadapi banyak ujian.
Dilarang keras saling menjatuhkan. Terlebih pada mereka yang ikhtiar berjuang mendapatkan bahagia di dunia nyata atau maya. Posting dengan "sedikit flexing" dapat menjadi healing. Sumbangan besar untuk psikologis masyarakat yang sedang banyak tekanan. Siapa tahu, dari situlah lahir masyarakat yang kuat menghadapi gelombang.
Pada akhirnya, posting dan sedikit flexing juga memberi jamu sosiologis pada masyarakat yang sedikit terguncang. Dengan sedikit mengasah sisi humor, masyarakat maya dapat berharap sembari terus "guyon teoritik". Penguatan "sosiologis digital" Itu menciprat ke jagad nyata. Siapa tahu juga, ada "nilai ekonomis", "energi kreatif", bahkan "spiritualitas" yang hadir dari sesuatu yang semula hanya dianggap sebagai "produk kegabutan".
Mengapa tidak?
Brangsong, Mei 2022
Comments
Post a Comment