Oleh Muhammad Thobroni
Banjir dipandang sebagai musibah oleh sebagian orang. Sebab ia telah menimbulkan kerugian raga bahkan jiwa. Tidak sedikit orang terkuras harta benda, tenaga dan pikiran gara-gara datang banjir ke rumah dan kampungnya. Benarkah banjir sebagai musibah? Atau bisakah banjir disebut sebagai musibah? Kapankah banjir dapat dianggap sebagai musibah?
Selepas wabah korona yang panjang, orang-orang mulai dapat menghirup nafas lega. Terlebih negara secara resmi telah mencabut segala macam pembatasan. Hidup banyak orang serasa di lingkungan dan dipenjara selama masa wabah COVID-19. Mereka dianjurkan untuk banyak di rumah saja. Belajar di rumah. Bekerja di rumah.
Di sekolah Guru, murid, wali murid, dan masyarakat luas resah dengan wabah. Memang belajar bisa di mana saja. Belajar dapat dilakukan di rumah, kelas, kebun, sungai, laut bahkan lokalisasi. Banyak anak-anak belajar pakai handphone. Sebagian lagi menunggu guru tiba membawa bahan ajar ke rumahnya. Paling meresahkan dari kondisi sekolah ialah ambyarnya mutu belajar. Lost learning menjadi bencana susulan di tengah wabah. Belajar daring juga dipandang sebagai keterpaksaan oleh situasi. Bukan kebijakan konseptual. Dan ada pula pendapat eksperimen nirparadigmatik. Praktik, proses dan hasilnya jadi amburadul dan tidak terukur. Kecuali guru dan murid sekarang punya kebudayaan belajar baru lewat aplikasi dan gadget.
Di rumah, orang tua, anak, kakek, nenek, adik dan kakak menghadapi kejenuhan luar biasa. Kebosanan yang kejam. Keluar rumah dibatasi. Rekreasi harus pakai masker. Untuk jalan dengan transportasi umum harus tes PCR dan sebagainya. Belum lagi keributan mendapatkan vaksin. Di rumah orang jadi lebih sensitif. Sedikit-sedikit marah. Dan marah sedikit-sedikit. Ada kekhawatiran merebaknya gangguan mental health selama wabah. Gangguan jiwa menjadi bencana baru di tengah wabah korona.
Para agamawan resah karena kegiatan keagamaan harus ikut aturan pemerintah. Jarak shaf jadi renggang. Pengajian harus disesuaikan. Bahkan pernah dilarang seiring larangan kerumunan. Padahal pengajian ialah berkumpul bukan berkerumun. Para agamawan resah kegiatan dakwah terganggu. Umat tidak mengaji. Para penjual keliling mati suri. Para santri ganti kegiatan dengan jathilan, barongan, Latolato, dan game online. Gegar budaya muncul seiring wabah korona.
Pendek kata, wabah telah menguras energi sangat besar yang dimiliki masyarakat. Dan dianggap sebagai bencana. Karena itu, ketika wabah pergi, masyarakat bergembira. Bahkan sebelum resmi dicabut larangan, banyak orang telah berani melanggar dan melawan.
Dalam hitungan menit dan detik, cuaca berubah ekstrim. Gelombang pasang dan ganas. Laut bergejolak. Angin kencang, berputar, menderu, menghantam apa saja yang menghadang. Hujan turun tak peduli waktu dan tempat. Bendungan luber. Tanggul jebol. Sungai meluap. Air tumpah ke tepian. Mengalir ke jalanan. Menderas ke rumah-rumah warga. Bukan hanya rumah fakir miskin jadi korban. Perumahan orang kaya dan elit ekonomi politik pun jadi sasaran amuk banjir. Longsor menggerus bukit yang tadinya kokoh.
Orang-orang bingung di atap. Di beranda mereka pasrah. Hendak lari kemana. Masjid dan mushola juga terendam. Dalam rumah hingga atap tenggelam. Gunung dan bukti longsor. Mereka dikepung bencana. Dan hanya bisa pasrah.
Baru saja bisa menarik nafas lega. Baru saja bisa bergembira. Sejenak menikmati bahagia. Mendadak semua sirna. Banjir menghantam jiwa dan raga mereka.
Banjir surut. Tapi trauma dan kelelahan jiwa tidak mudah dipulihkan. Kecuali mengembalikan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Segala. Orang-orang hanya percaya Tuhan. Dengan cara demikian mereka menjadi lebih tenang jiwanya. Rasa syukur tetap tertanam dalam-dalam.
Sebab, bagi mereka, semua yang ada di dunia ini hanyalah miliknya. Dan akan kembali semuanya kepadaNya.
Januari, 2023
Comments
Post a Comment