“Saatnya sastra, termasuk puisi esai, masuk ke kampus dan sekolah. Karakter, moral, dan budi pekerti di kampus dan sekolah lebih mudah disentuh melalui sastra.” ujar Denny JA, Ketua Umum Pengurus Pusat Perkumpulan Penulis SATUPENA di ruang PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin lt 4, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat. Ujaran tersebut disampaikan dalam acara pembukaan festival puisi esai jakarta 2023.
Denny menyatakan bahwa puisi esai memiliki potensi untuk mengembangkan karakter siswa dan mahasiswa, karena ia mengisahkan peristiwa sosial yang sebenarnya, dengan riset dan catatan kaki, dan diperkaya dengan fiksi.
Festival Puisi Esai ini telah berlangsung selama dua, 18-19 Desember 2023.Festival diikuti penyair puisi esai ASEAN, dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Penyair dari Indonesia datang dari Aceh hingga Papua. Seluruh kursi di aula PDS HB Jassin penuh oleh pengunjung, dan masih banyak yang berdiri. Dari daftar hadir panitia tercatat lebih 200 orang yang hadir.
Denny JA pada sambutannya memberikan argumentasi bahwa penulis tidak habis di era Artificial Inteligence, dan profesi penulis akan tetap tumbuh. Dia mengutip berita yang mengisahkan aksi protes penulis di kota New York yang berlangsung selama 148 hari berturut-turut.
Jumlah pendemo juga luar biasa banyaknya, 11 ribu penulis, yang tergabung dalam Asosiasi Penulis Amerika
Uniknya tuntutan mereka juga hal kekinian. Baru pertama kali dalam sejarah. Yaitu, mereka menentang pelaku industri film menggunakan Artificial Intelligence untuk menulis skenario film. Sebab, kalangan industri telah menggunakan artificial intelligence untuk menulis dan mengedit karya mereka sebagai penulis
Penulis tersebut hanya bisa menerima jika AI hanya digunakan sebagai alat pembantu pencari data. Bukan editor dan supervisor karya penulis. Intinya para penulis ini tidak ingin honornya dikurangi, karena sebagian kerja mereka diambil alih oleh Artificial Intelligence.
“Sekarang memang era Artificial Intelligence. Sejak tahun lalu, saya juga sudah menggunakan AI ini, ujar Denny.
Denny bercerita, ia memberikan instruksi kepada komputer: tuliskan soal keindahan alam Indonesia dalam bentuk puisi. Lalu lahirlah puisi, yang bisa dinikmati.
Lalu Denny memberikan perintahkan lagi: Tuliskan kisah Palestina dalam bentuk puisi esai. “Kali ini, AI gagal menulis puisi esai,” kata Denny.
Lalu Denny bergurau, bertanya kepada teman yang ahli AI tentang hal ini. Temannya menjawab dengan bergurau pula. “Menulis puisi esai lebih sulit. Karena harus ada catatan kaki”
“Kita beruntung karena AI belum bisa menulis puisi esai,” gurau Denny di depan 200 orang peserta Festival Puisi Esai Jakarta. Yang hadir tertawa.
Menurut Denny, seandainya AI sudah bisa menulis puisi esai, itu tetap tak menjadi masalah. Karena kita membaca sejarah. Sehebat apapun kemajuan teknologi, dalam sejarah seorang penulis tetap dibutuhkan.
“Teknologi datang dan pergi. Tapi seorang penulis tetap hadir di sana,” kata Denny yakin.
Dia memberikan alasan bahwa setiap zaman memerlukan narasi. Manusia di mana pun memerlukan penjelasan.
“Apa yang tengah terjadi? Kita sedang bergerak kemana? Para narator menjawab kebutuhan itu,” ujar Denny.
Narator itu adalah penulis. Mungkin ia filsuf, ilmuwan, sastrawan, agamawan, penyair, termasuk juga penyair puisi esai.
Hal lain yang dikemukakan Denny untuk memperkuat alasannya bahwa profesi penulis masih dibutuhkan, Dia menceritakan sebuah peristiwa di Finlandia.
Tahun 2023 ini, Finlandia terpilih sebagai negara yang memiliki warga negara paling bahagia sedunia. Sudah enam kali berturut- turut negara ini dipilih oleh PBB.
Denny memberikan penjelasan bahwa salah satu yang membuat warganya bahagia adalah karena kurikulum pendidikannya. Di negara itu, untuk mengajarkan budi pekerti, moralitas, imajinasi, mereka menggunakan sastra. Novel, cerpen, puisi, menjadi medium untuk membuat anak didik berkembang imajinasinya, merasakan dilema moral lewat lewat kisah kisah.
Jadi, kata Denny, sastra di sekolah menjadi masa depan puisi esai. Karena bangunan puisi esai itu memang menggabungkan fakta dan fiksi. Menggabungkan riset dan renungan.
“Tak ada yang lebih kuat dari fakta, dari kisah sebenarnya, yang menjadi guru kita. Riset diperlukan untuk mengenali fakta itu. Dan ia dicantumkan dalam catatan kaki.”
Gabungan Fakta dan Fiksi itulah fondasi utama puisi esai.
“Maka kita niatkan. Itulah ruang pengabdian kita selanjutnya. Teman- Teman di daerah, di luar negeri, bersama kita ikhtiarkan agar Puisi Esai Goes to Campus. Puisi Esai Goes To School.” kata Denny. ***
(Dilaporkan oleh Jonminofri Nazir)
Comments
Post a Comment