BIAS KOGNITIF


BIAS KOGNITIF 


"Bias kognitif" adalah sebuah kekeliruan yang lahir dari pikiran yang terlalu percaya pada logika yang ia ciptakan sendiri. Di dalam otak manusia yang rumit, bias kognitif seringkali tak kasat mata namun menghantui setiap keputusan kita. Kita jarang menyadarinya, apalagi mempertanyakannya. Dunia psikologi mengajarkan bahwa bias-bias ini bukanlah kecelakaan, melainkan fenomena alami, yang—sadar atau tidak—membentuk pandangan kita tentang dunia. 


Di dalam psikolinguistik, bahasa turut serta memperkuat bias. Sebagai alat komunikasi, ia juga alat berpikir. Manusia menciptakan kosakata, idiom, hingga kiasan untuk menggambarkan apa yang tak terjangkau logika sederhana. Namun, terkadang, bahasa justru mempersempit makna atau mengarahkan persepsi kita secara keliru. Lakoff dan Johnson (1980) menyebut ini sebagai "metafora konseptual," yang menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang dunia dibentuk oleh kata-kata yang kita pilih. "Waktu adalah uang," misalnya. Ungkapan ini, dengan segala pengaruhnya, memperkenalkan bias ekonomi dalam cara kita menghargai waktu. Tanpa disadari, kita sering terjebak pada pemikiran bahwa waktu harus 'dikelola' seperti sumber daya berharga. Namun, apakah benar waktu harus dipandang seperti itu?


Dalam kajian psikologi, Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1974) menemukan bahwa otak kita sangat bergantung pada "heuristik", aturan cepat yang memandu kita mengambil keputusan di tengah keterbatasan informasi. Seringkali, aturan ini efektif, tetapi tidak jarang juga berujung pada bias yang signifikan. Sebuah contoh yang terkenal adalah "anchoring effect," di mana kita cenderung terpaku pada informasi awal yang kita terima, meskipun informasi tersebut sebenarnya kurang relevan atau tidak akurat. Tak heran, kita sering lebih percaya pada angka-angka statistik awal daripada melakukan investigasi lebih lanjut. Dalam dunia politik, inilah yang dimanfaatkan media massa dan kampanye politik. Satu potong informasi awal yang kuat sudah cukup untuk memengaruhi pemilih, dan narasi-narasi berulang yang disajikan oleh media massa menjadi 'jangkar' yang sulit dilepaskan.  


Ketika bias ini bertemu dengan budaya, kita mendapatkan pandangan hidup yang diwariskan dan dijadikan norma. Lihatlah masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya kolektivisme. Sikap ini, meski mendukung nilai solidaritas, juga memupuk bias seperti "ingroup favoritism" atau kecenderungan mengutamakan kelompok sendiri dibandingkan orang lain. "Seragam sekolah menanamkan kita pada satu keseragaman," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam "Bumi Manusia" (1980), menyinggung betapa nilai-nilai kebersamaan di Indonesia kerap membuat individu lebih takut berbeda daripada berani berpikir kritis. Dan dalam bias tersebut, mereka yang 'lain' selalu diwaspadai, bahkan sering dipinggirkan.


Secara ekonomi, bias kognitif tercermin dalam keputusan-keputusan sehari-hari. Richard Thaler (2017) dengan teori "nudge"-nya menegaskan bagaimana bias-bias kita bisa diarahkan untuk kepentingan tertentu. Dalam sebuah ekonomi pasar, bias kita terhadap hal-hal yang bersifat familiar atau mudah dicerna oleh nalar sederhana kerap dimanfaatkan oleh iklan dan propaganda kapitalis. "Kita dibujuk untuk terus-menerus membeli," kata Don DeLillo dalam novelnya *White Noise* (1985), menyinggung obsesi manusia terhadap produk konsumerisme sebagai kebutuhan palsu yang menciptakan kenikmatan sesaat. 


Dalam politik, bias kognitif dapat membentuk persepsi publik terhadap isu-isu penting. Pilihan-pilihan yang kita buat dalam bilik suara sebagian besar merupakan refleksi dari apa yang sudah terlanjur kita percaya, bahkan mungkin jauh sebelum isu itu muncul di permukaan. Konsep ini, dalam filsafat disebut sebagai "epistemic closure," atau ketertutupan epistemik, di mana seseorang hanya melihat kebenaran yang sejalan dengan pandangannya. Roland Barthes dalam tulisannya, "Mythologies" (1957), berbicara mengenai mitos sebagai struktur yang menyederhanakan dunia dan mengaburkan realitas. Dalam politik, mitos-mitos diciptakan melalui retorika dan simbol-simbol, yang membuat kita lebih mudah memilih 'kebenaran' yang nyaman daripada yang rumit dan menyakitkan.


Namun, bagaimana kita dapat melampaui batasan yang diciptakan oleh bias? Dalam film "Inception" (2010), Christopher Nolan mengeksplorasi ide bahwa di dalam alam bawah sadar, pikiran dapat dibentuk dan dimanipulasi, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain. Proses "penciptaan ide" ini memperlihatkan betapa pikiran bisa mudah terpengaruh, bahkan dalam konteks yang tak kita sadari sepenuhnya. Di sini, bias kognitif menjadi jebakan yang harus dipahami, bukan dihindari. Memahami bias adalah langkah pertama untuk meruntuhkan pagar-pagar pemikiran yang selama ini membatasi kita.


Untuk mengatasi bias, kita harus berlatih "epoche", sebuah konsep filsafat yang berarti penangguhan penilaian. Husserl, seorang filsuf fenomenologi, mengajarkan bahwa untuk melihat dunia secara murni, kita perlu menahan prasangka kita dan melihat fenomena apa adanya. Di dunia yang kian kompleks ini, penangguhan penilaian menjadi lebih sulit namun semakin penting.


Sebagai penutup, bias kognitif bukanlah musuh yang bisa dikalahkan dalam sehari. Ia adalah bagian dari kita, sebuah noda yang menodai cermin kehidupan. Dalam puisi Chairil Anwar, "Aku" tersirat keinginan untuk bebas dari segala ikatan yang membelenggu, termasuk dari bias-bias yang menutupi jalan kita untuk menjadi "manusia seutuhnya." "Aku ingin hidup seribu tahun lagi," tulisnya. Barangkali, hanya waktu yang bisa memurnikan bias dari pikiran kita—dan bahkan itu pun, dalam kerangka waktu yang tak terbatas.


Comments