SESAT PIKIR
Sesat pikir, atau "fallacy" dalam logika, menyelinap bagai bayangan dalam percakapan sehari-hari kita. Dari berdebat kecil di meja makan hingga argumen besar dalam panggung politik, sesat pikir sering kali menjadi senjata tak terlihat, dipergunakan bukan hanya untuk meyakinkan tetapi terkadang untuk mengaburkan kebenaran.
Dalam teori linguistik, Noam Chomsky (1957) pernah menyebut bahwa "bahasa adalah cermin dari pemikiran manusia." Ungkapan ini sederhana, tetapi menggigit. Kata-kata yang kita pilih tak hanya mewakili dunia luar, tetapi membentuk realitas itu sendiri. Bayangkan bagaimana istilah-istilah seperti "radikal," "pembebasan," atau bahkan "kemakmuran" menjadi simbol bagi argumen politis yang tak jarang melahirkan kebingungan makna. Dalam setiap kata tersimpan ambiguitas; sebuah celah yang, jika tidak kita sadari, bisa mengantar kita ke sesat pikir.
Berdasarkan psikologi kognitif, fenomena seperti bias kognitif menegaskan bahwa sesat pikir kerap bukan soal ketidakmampuan berpikir, melainkan mekanisme bertahan dalam realitas yang kompleks (Kahneman, 2011). Pikiran kita sering kali lebih suka pada yang sederhana, bahkan jika yang sederhana itu keliru. Confirmation bias, misalnya, mengingatkan kita bahwa kita cenderung menerima informasi yang selaras dengan keyakinan yang telah kita pegang, bukan yang sebenarnya benar. "Kita tidak melihat dunia sebagaimana adanya," kata Anaïs Nin dalam bukunya "The Seduction of the Minotaur", "kita melihatnya sebagaimana diri kita."
Dalam filsafat, sesat pikir dapat dianggap sebagai bentuk dari kejatuhan epistemik. Bertrand Russell mengatakan, "Kita tidak takut pada hal-hal yang tidak kita ketahui; kita takut pada hal-hal yang kita yakini salah." Keyakinan tanpa dasar yang jelas menciptakan ilusi kebenaran. Bagi Russell, salah satu sesat pikir terbesar adalah "appeal to authority" di mana kita percaya begitu saja pada pernyataan orang yang kita anggap berwenang, meskipun pernyataan tersebut mungkin tidak berdasar.
Namun, apa sesungguhnya sesat pikir itu? Sebuah kecurangan kecil dalam permainan pikiran, atau kenyataan yang menggambarkan keterbatasan kita memahami dunia? Teori logika memberikan daftar panjang jenis-jenis sesat pikir: "ad hominem", "slippery slope", "false dichotomy", dan banyak lagi. Setiap kategori ini menggambarkan cara-cara di mana pikiran kita dapat terjebak dalam perangkap, tertipu oleh retorika atau logika yang keliru.
Mari melihat contoh dalam ekonomi. "Trickle-down economics," sebuah teori populer di tahun 1980-an, dianggap banyak ekonom sebagai sesat pikir. Teori ini mengklaim bahwa pemotongan pajak bagi perusahaan besar dan orang kaya akan berimbas positif bagi ekonomi secara keseluruhan, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Namun, realitas yang terjadi justru memperlihatkan jurang kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Ini menjadi contoh "false cause fallacy" atau korelasi yang dipaksakan antara variabel ekonomi tanpa bukti yang kuat.
Dalam budaya, sesat pikir berkembang menjadi "stereotip." Seperti yang dikatakan Roland Barthes dalam "Mythologies" (1957), stereotip adalah mitos modern yang mengisolasi makna, mempersempit interpretasi kita terhadap individu dan kelompok. Melalui stereotip, masyarakat memadatkan identitas menjadi satu atau dua sifat saja. Mitos tentang "pria kuat" atau "perempuan emosional" lahir dari penyederhanaan psikologi manusia menjadi kebenaran tunggal, sebuah sesat pikir kolektif yang mempengaruhi persepsi kita tentang gender dan peran sosial.
Dalam politik, sesat pikir adalah alat yang sering dipakai. "Strawman fallacy" atau membelokkan argumen lawan menjadi versi lemah dan salah agar mudah diserang adalah strategi umum. Di media sosial, fenomena ini semakin marak—seseorang dengan cepat mengubah maksud pernyataan orang lain menjadi yang paling buruk, hanya untuk memenangkan argumen. "Politik adalah ilusi moral yang menghipnotis," kata Milan Kundera dalam *The Unbearable Lightness of Being*; politik menuntun kita percaya bahwa sesuatu baik, meski kebenaran dan moralitas di dalamnya rapuh, siap runtuh kapan saja.
Secara sosial, sesat pikir menyuburkan polarisasi dan konflik yang terus berkembang. Ketika kita memilih pihak dalam diskusi panas, seperti dalam perdebatan budaya atau sosial, sering kali kita mengandalkan "bandwagon fallacy." Kita cenderung ikut pendapat mayoritas untuk menghindari terasing, mengabaikan kritik mendalam yang sesungguhnya kita butuhkan. Fenomena ini tak jauh berbeda dengan yang diungkapkan dalam film *12 Angry Men* (1957), ketika seorang juri mempertahankan keyakinannya di tengah tekanan mayoritas, memaksanya untuk melawan keyakinan umum yang sesat.
Bagaimana kita menghindari sesat pikir? Mungkin jawabannya ada dalam refleksi diri yang tenang. Seperti puisi Rumi: "Dunia adalah peziarahan yang menyakitkan, tapi dalam diri ada kedamaian yang tenang." Pikiran yang tenang bukanlah bebas dari sesat pikir, tetapi setidaknya bisa belajar mengenali sesat pikirnya sendiri.
Pada akhirnya, sesat pikir adalah bagian dari sifat dasar manusia. Seperti labirin, sesat pikir memaksa kita untuk berjalan dalam lingkaran, terkadang tanpa pintu keluar yang jelas. Tetapi dalam setiap putaran, kita belajar, berefleksi, dan, semoga, sedikit lebih bijak.
Comments
Post a Comment