LSI DENNY JA: PILKADA DIPILIH DPRD JADI SENTIMEN NEGATIF TERHADAP PEMERINTAHAN PRABOWO


 TUJUH SENTIMEN POSITIF, SATU SENTIMEN NEGATIF PEMERINTAHAN PRABOWO


- Mengapa Publik Pro 7 Program, Tapi Sangat Kontra Pilkada Dipilih DPRD?


Oleh: LSI Denny JA


Sebelum 100 hari pemerintahan, Prabowo sangat mengesankan publik. Performanya di forum internasional, pidato publiknya atas banyak isu, dan peringatannya kepada koruptor meyakinkan pendukung utamanya bahwa Prabowo tak hanya potensial menjadi Strong Leader yang memajukan ekonomi.


Di mata pendukung militannya, Prabowo juga potensial tampil menjadi pemimpin dari Asia yang kuat. Ia berpotensi dikenang sebagaimana Bung Karno, Deng Xioaping, Mahathir Mohamad, atau Lee Kuan Yew.


Namun, isu mengembalikan Pilkada dipilih DPRD akan mendapatkan kontra dan perlawanan yang kuat dari rakyat banyak.


SBY pernah mencobanya dan membatalkannya. Bisa dilihat dokumen pada tahun 2014, lebih dari 80 persen publik  ingin pilkada langsung. (1)


Demikian salah satu temuan riset LSI Denny JA, sebagai catatan akhir tahun 2024.


-000-


Dalam tahun pertamanya sebagai pemimpin, Prabowo Subianto meluncurkan banyak program utama yang menyasar sektor-sektor strategis, dari kesehatan hingga politik.


Program-program ini dihadirkan untuk menjawab tantangan bangsa sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Namun, bagaimana tanggapan publik terhadap inisiatif tersebut? Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA melakukan analisis  terhadap opini publik dengan menggunakan pendekatan berbasis teknologi.


Riset ini membatasi hanya pada delapan isu saja, di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, ekonomi, kesejahteraan, tenaga kerja, sosial, dan politik.


LSI Denny JA menemukan tujuh program yang didukung sentimen positif, sementara satu program mendapat tantangan signifikan dari masyarakat.


Metodologi Riset:


LSI Denny JA menggunakan pendekatan analisis isi komputasional.  metode ini mampu mendeteksi topik dan sentimen publik berdasarkan kata kunci spesifik terkait setiap program.


Data diolah menggunakan aplikasi “LSI INTERNET,” sebuah inovasi teknologi LSI Denny JA, alat analisis yang dirancang untuk menggali opini publik di ruang digital.


Dalam penilaian sentimen, dipilih sentimen positif dan sentimen negatif saja. Yang netral tak disertakan.


Penelitian dilakukan selama satu bulan, dari 20 November hingga 20 Desember 2024.


Sumber data: Informasi dikumpulkan dari platform digital, termasuk: media sosial (Twitter, TikTok, Facebook), media online (news, blogs, videos, web), forum diskusi, dan podcast.


Riset ini menghasilkan gambaran kuantitatif berdasarkan jumlah percakapan dan persentase sentimen positif serta negatif yang muncul terhadap setiap program.


Riset juga dilengkapi dengan analisa kualitatif berdasarkan analisa pendapat ahli.


-000-


Hasil Analisis: Delapan Program Kerja


1. Kesehatan Ibu Hamil


Program: Perbaikan kesehatan ibu hamil dan menyusui melalui bantuan gizi.


Frekuensi Percakapan: 2.505


Sentimen:

Positif: 53,7%

Negatif: 46,3%


Analisis:

Program ini diapresiasi karena menyasar kelompok rentan, yaitu ibu hamil dan anak. Namun, kritik muncul terkait realisasi di lapangan, terutama di daerah terpencil.


2. Pertanian


Program: Target swasembada pangan dengan mencetak sawah 4 juta hektare dalam 3-4 tahun.


Frekuensi Percakapan: 7.922


Sentimen:

Positif: 70,0%

Negatif: 30,0%


Analisis:

Publik optimistis dengan potensi program ini untuk meningkatkan ketahanan pangan. Namun, skeptisisme tetap ada terkait efisiensi anggaran dan target yang ambisius.


3. Pendidikan


Program: Alokasi anggaran besar untuk kesejahteraan guru dan rehabilitasi sekolah.


Frekuensi Percakapan: 17.925


Sentimen:

Positif: 71,6%

Negatif: 28,4%


Analisis:

Dukungan kuat muncul dari masyarakat, khususnya terkait kesejahteraan guru. Tantangan utamanya adalah memastikan distribusi anggaran yang adil.


4. Pertumbuhan Ekonomi


Program: Target pertumbuhan ekonomi 8% melalui tujuh sektor utama, termasuk transisi energi hijau.


Frekuensi Percakapan: 8.002


Sentimen:

Positif: 58,0%

Negatif: 42,0%


Analisis:

Transisi energi hijau menjadi sorotan positif. Namun, sebagian masyarakat skeptis terhadap realisasi target pertumbuhan ekonomi yang tinggi.


5. Stunting


Program: Penurunan prevalensi stunting dengan program makan bergizi gratis berbasis pangan lokal.


Frekuensi Percakapan: 2.264


Sentimen:

Positif: 52,7%

Negatif: 47,3%


Analisis:

Publik menyambut baik fokus pemerintah pada masalah stunting. Tantangan utamanya adalah distribusi program yang merata hingga daerah terpencil.


6. Perumahan


Program: Penyediaan 3 juta rumah, termasuk 2 juta rumah di desa melalui UMKM lokal.


Frekuensi Percakapan: 4.190


Sentimen:

Positif: 53,7%

Negatif: 46,3%


Analisis:

Program ini dianggap sebagai langkah maju untuk mengatasi perumahan bagi masyarakat miskin. Kritik muncul terkait pendanaan dan waktu realisasi.


7. Tenaga Kerja


Program: Kenaikan upah minimum nasional (UMN) sebesar 6,5% pada 2025.


Frekuensi Percakapan: 5.248


Sentimen:

Positif: 52,6%

Negatif: 47,4%


Analisis:

Pekerja menyambut kenaikan UMN ini dengan baik, sementara pengusaha khawatir dampaknya pada daya saing.


8. Politik


Program: Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD untuk efisiensi biaya.


Frekuensi Percakapan: 1.629


Sentimen:

Positif: 23,7%

Negatif: 76,3%


Analisis:

Program ini mendapat kritik tajam dari publik yang khawatir akan melemahkan demokrasi dan meningkatkan risiko korupsi.


-000-


Riset LSI Denny JA menunjukkan bahwa program kerja Prabowo Subianto mayoritas mendapat tanggapan positif dari masyarakat.


Tujuh dari delapan program mendapat sentimen positif yang lebih besar, terutama program pendidikan dan pertanian.


Namun, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD menuai kritik besar, menjadi program dengan sentimen negatif sangat tinggi.


-000-


Kesimpulan dan analisis


1. Prioritaskan Implementasi: Fokus pada pelaksanaan program yang telah mendapat dukungan positif, seperti pendidikan dan pertanian, untuk menjaga momentum kepercayaan publik.


2. Peningkatan Transparansi: Pastikan semua program memiliki mekanisme pengawasan yang kuat untuk menghindari penyimpangan.


3. Fokus pada Inklusi Daerah: Pastikan program seperti stunting dan kesehatan ibu hamil menjangkau masyarakat di daerah terpencil.


4. Prabowo sebaiknya menghindari isu Pilkada dipilih DPRD. Politik Indonesia yang presidensial tak bisa disamakan dengan India, Singapura, atau Malaysia yang parlementer.


Dalam sistem presidensial, kepala eksekutif (Presiden) dipilih langsung oleh rakyat. Sementara dalam sistem parlementer, kepala eksekutifnya (Perdana Menteri) dipilih parlemen, dan ia juga anggota parlemen.


Di tahun 2014, upaya Pilkada dipilih DPRD pernah dicoba, tapi akhirnya dibatalkan Presiden SBY. Survei opini publik saat itu menunjukkan lebih dari 80 persen rakyat menolak haknya memilih langsung pemimpin dicabut.


Rakyat banyak akan mudah sekali membalikkan dukungannya karena merasa haknya untuk memilih pemimpin diambil alih.


Jika ratusan kepala daerah dipilih DPRD, siapa yang akan menjadi gubernur, wali kota, dan bupati sepenuhnya hanya masalah “kesepakatan” 3-5 ketua umum partai politik di Jakarta saja. Pemilihan kepala daerah akan sangat elitis untuk sistem politik presidensial.


-000-


Pro kontra Pilkada Langsung Versus Pilkada Lewat DPRD


Pilkada langsung telah membawa kemajuan dalam demokrasi, memungkinkan rakyat memilih pemimpin sesuai aspirasi. Namun, tantangan besar terus menghantui, seperti money politics yang meluas, tingginya biaya kampanye, dan meningkatnya angka golput.


Politik uang merusak integritas demokrasi, mengalihkan fokus kandidat dari pelayanan publik ke modal politik. Sementara itu, biaya kampanye yang besar memaksa kandidat bergantung pada donatur, membuka potensi konflik kepentingan.


Selain itu, partisipasi pemilih yang menurun di beberapa wilayah menunjukkan lemahnya kepercayaan publik terhadap proses politik.


Namun, menghapus Pilkada langsung adalah langkah mundur. Pilkada langsung memaksa pemimpin untuk bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada partai.


Isu seperti money politics dapat diatasi dengan reformasi regulasi: memperketat pengawasan dana kampanye, meningkatkan transparansi anggaran kandidat, serta memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran.


Penyelenggaran pilkada juga dapat dibuat di tahun yang berbeda dibandingkan pemilu nasional (Presiden, DPR).  Menyelenggarakan pilkada setelah dan di tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg acapkali membuat pilkada hanya mendapatkan sisa enerji politik dari pemilih.


Tantangan Pilkada langsung tidak berarti menyerahkan kepada daerah dipilih oleh DPRD yang berbeda dengan sistem politik presidensial. Sebaliknya, solusi strategis diperlukan untuk memperkuat kepercayaan rakyat dan integritas proses.


Pilkada langsung, dengan segala kekurangannya, tetap lebih baik daripada Pilkada lewat DPRD yang rentan korupsi dan oligarki. 


Dalam pilkada langsung, ratusan ribu bahkan jutaan orang menentukan siapa kepala daerah terpilih. Tapi dalam pilkada lewat DPRD, yang menentukan kepada daerah terpilih di tangan instruksi dan “kongkow” 3-4 ketum partai saja di Jakarta.


Apalagi di mata rakyat banyak, mengubah Pilkada langsung menjadi dipilih DPRD dipahami sebagai upaya mengambil alih hak mereka untuk memilih kepala daerahnya secara langsung.


Melalui dominasi di DPR, tentu saja membuat UU pilkada diubah menjadi dipilih oleh DPRD sangat bisa dilakukan pemerintahan Prabowo. Tapi luka rakyat banyak akan membuat Prabowo dinllai negatif oleh sejarah, dalam jangka panjangnya.


Potensi merosotnya dukungan publik kepada Prabowo akibat isu Pilkada oleh DPRD adalah harga yang terlalu mahal.


Prabowo, untuk aneka program besarnya, apalagi di tahun-tahun pertama, perlu dukungan publik. Dengan dukungan publik yang besar, Prabowo diharapkan mampu menjadikan Indonesia “Macan dari Asia.”


Prabowo sendiri potensial dikenang sekelas dengan pemimpin legenda Asia lain, seperti Mahathir, Deng Xiaoping,  dan Lee Kuan Yew, jika ia  sukses memajukan ekonomi Indonesia ke peringkat 10 besar ekonomi dunia misalnya, dan tidak membuat kebijakan yang dianggap berlawanan dengan semangat reformasi.*


Jakarta, 26 Desember 2024



Referensi


1. Lebih dari 80 persen pemilih menolak pilkada dipilih DPRD, di tahun 2014. 


https://nasional.kompas.com/read/2014/12/17/12521451/Survei.LSI.Masyarakat.Masih.Menginginkan.Pilkada.Langsung

Comments