Di Bawah Langit Natal
Cerpen Rosadi Jamani, Pontianak
Di sebuah desa di pedalaman Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang, ada sebuah rumah kecil. Rumah ini selalu dirindukan Dea Kristiani. Ia mahasiswa semester lima di salah satu universitas di Pontianak. Meski terpisah jarak dan rintangan, hatinya selalu terpaut pada rumah kecil itu, tempat orang tuanya, Alius dan Maria. Orang tua yang berjuang membesarkannya. Alius seorang petani karet yang kini terbaring sakit. Sementara Maria banting tulang sebagai buruh di perusahaan sawit, berangkat sebelum fajar dan pulang ketika gelap telah pekat. Maria harus menjadi ibu sekaligus ayah buat anak-anaknya.
Dea memutuskan pulang untuk merayakan Natal bersama keluarga. Sebuah keputusan yang dirasanya mendesak setelah mendengar kabar kesehatan ayahnya memburuk. Dengan sepeda motor tua yang setia, ia memulai perjalanan pulang, membawa harapan dan kegelisahan. Namun, perjalanan itu tak seindah harapan. Jalanan berlumpur, penuh lubang, dan mendaki seperti menguji tekadnya.
“Ini jalan atau kubangan?” gumam Dea ketika roda motornya hampir tenggelam dalam lumpur.
Berulang kali ia harus turun, mendorong motornya melawan tanjakan tajam. Pakaiannya basahbercampur lumpur, tangannya lecet, namun hatinya tetap teguh. Dalam hati, ia bertanya-tanya, “Adakah pemerintah tahu? Bertahun-tahun jalan iniseperti ini, tapi tak ada perubahan.”
Lima jam berlalu, lebih lama dari biasanya, Dea akhirnya tiba di rumah kecil itu. Ayahnya terbaring lemah di kamar. Wajah Alius yang dulu gagah kini terlihat rapuh, namun matanya berbinar saat melihat putri sulungnya masuk. Dea memeluknya erat, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.
“Ayah...” panggilnya dengan suara bergetar.
Alius, ayahnya, terbaring di ranjang tua. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari terakhir kali Dea mmelihatnya. Tapi senyumnya tetap sama.
“Dea... kamu pulang, Nak?” suaranya parau, tapi penuh kehangatan.
Dea mendekat, berlutut di samping ranjang. Tangannya menggenggam erat tangan ayahnya yang dingin.
“Iya, Ayah. Dea pulang. Dea kangen sama Ayah, sama Ibu, sama rumah...” ucapnya, air mata jatuh membasahi pipinya.
Alius mengelus kepala putrinya dengan lemah. “Ayah bangga sama kamu, Dea. Teruslah kuliah, Nak. Jangan berhenti. Kamu harus jadi orang sukses... lebih dari Ayah...”
Dea menangis makin keras. “Ayah jangan ngomong begitu. Ayah harus sehat. Ayah harus lihat Dea lulus nanti...”
"Ibu kemana, Yah?"
"Ibumu masih di kebun perusahaan. Biasanya malam baru pulang," jawab ayahnya lirih.
Sore berganti malam, ibunya, Maria, akhirnya pulang. Tubuhnya tampak lelah, baju kerjanya penuh debu dan kotoran sawit. Namun, begitu melihat Dea berdiri di pintu, wajahnya berubah cerah.
“Dea! Kamu pulang, Nak?” Maria langsung memeluk putrinya erat. Tubuh Dea gemetar dalam pelukan ibunya, air matanya membanjir.
“Ibu... kenapa Ibu nggak pernah cerita kalau Ayah sakit? Kenapa Ibu biarkan Dea di Pontianak tanpa tahu betapa berat perjuangan Ibu di sini?” Dea berteriak, tapi suaranya pecah dalam isak.
Maria menghela napas panjang, tangannya mengusap air mata Dea. “Nak, ibu nggak mau kamu khawatir. Ibu cuma ingin kamu fokus kuliah. Kalau kamu sukses nanti, itu sudah cukup buat Ibu dan Ayah. Kamu harapan kami...”
Dea terdiam. Matanya memandang wajah ibunya yang penuh kerutan perjuangan. Tangan ibunya kasar, namun sentuhannya tetap hangat.
“Ibu... Dea janji. Dea nggak akan menyerah. Dea akan bikin Ayah sama Ibu bangga.”
Malam Natal tiba. Keluarga kecil itu berkumpul di ruang tengah. Tak ada pohon natal mewah, hanya sebuah lilin kecil yang menyala di tengah meja. Namun, cinta yang memenuhi ruangan itu lebih terang dari apapun.
“Ini kado dari Dea...” Dea mengeluarkan kado kecil yang ia beli dengan uang tabungannya. Sebuah selendang hangat untuk ibunya, buku cerita untuk Irma, dan mainan kecil untuk Alex.
Maria menangis menerima kado itu. “Nak, ini terlalu mahal untuk Ibu...”
“Enggak, Bu. Nggak ada yang lebih mahal dari perjuangan Ibu buat Dea...” jawab Dea sambil memeluk ibunya erat.
Di kamar, Alius memandang keluarganya dengan mata berkaca-kaca. Ia tersenyum, meski tubuhnya lemah. “Tuhan, terima kasih... Karena aku masih diberi kesempatan melihat mereka bersama di hari ini...” bisiknya.
Natal itu tak hanya menjadi momen berkumpul, tapi juga menjadi bukti bahwa cinta dan perjuangan adalah hadiah terindah yang tak akan pernah bisa digantikan. Di tengah lumpur, di tengah cobaan, mereka menemukan kekuatan dalam cinta yang tak pernah padam.
Comments
Post a Comment