LEBARAN DI TEPI MAHAKAM

LEBARAN DI TEPI MAHAKAM

Langit Kalimantan menggantung rendah. Kelabu seperti kain lusuh yang tak pernah dikibaskan. Di kejauhan, hutan merunduk dalam bisu. seolah ikut mendengarkan suara azan magrib yang bergaung dari menara masjid tua. Masjid itu bernama Al-Hikmah. sebuah bangunan uzur yang berdiri di tengah kampung kecil di tepian sungai Mahakam. Di sanalah Parto, seorang perantau dari Madiun, menambatkan hidupnya sebagai marbot.

Parto tidak pernah merencanakan untuk menetap di Kalimantan. Semula, ia hanya berniat mencari pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Namun, sebuah peristiwa kecil – seorang lelaki tua yang jatuh pingsan di pelataran masjid – mengubah arah hidupnya. Ia membawa lelaki itu masuk ke dalam masjid, membersihkan wajahnya dengan air wudu, lalu tanpa ia sadari, ia sendiri merasa tak bisa pergi lagi dari tempat itu. Sejak hari itu, ia menerima pekerjaan menjadi marbot di masjid Al-Hikmah.

Masjid Al-Hikmah dikelilingi hutan belantara yang berbisik dengan suara dedaunan, gemerisik angin, dan aroma tanah basah. Setiap pagi, Parto menyapu pelataran masjid yang ditumbuhi lumut. Ia sering berhenti sejenak, memandangi pohon-pohon yang menjulang tinggi, seperti penjaga bisu yang setia mengawasi waktu. Di kejauhan, burung enggang melintas di atas sungai yang mengalir lambat.

Namun, di balik keindahan alam ini, ada sunyi yang pekat. Sunyi yang membuat Parto sering bertanya-tanya tentang arti keberadaannya di tempat yang jauh dari kampung halaman. Setiap kali ia mendengar suara burung yang meratap di malam hari, ia teringat pada ibu dan bapaknya di Madiun. Lebaran semakin dekat, tapi ia tahu, kali ini ia tidak bisa pulang.

Kampung di sekitar masjid dihuni oleh orang-orang sederhana. Mereka adalah para petani karet, nelayan sungai, dan pedagang kecil. Setiap hari Jumat, Parto menyaksikan mereka datang ke masjid dengan pakaian terbaik yang mereka miliki. Di masjid ini, ia sering berbincang dengan Pak Karim, seorang lelaki tua yang menjadi imam masjid. Pak Karim adalah sosok yang bijak, meski wajahnya selalu tampak muram, seperti menyimpan rahasia besar yang tak pernah diungkapkan.

“Kau tahu, Parto,” kata Pak Karim suatu malam setelah salat isya, “hidup ini adalah perjalanan mencari pulang. Tapi pulang itu tidak selalu berarti kembali ke rumah yang kita tinggalkan.”

Parto hanya diam. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti pusaran air. 

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Parto duduk di beranda masjid bersama Pak Karim. Udara dingin membuat mereka membungkus tubuh dengan sarung.

“Pak, kenapa saya merasa seperti tersesat di sini? Seperti tidak ada arah,” tanya Parto tiba-tiba.

Pak Karim menatap Parto dengan mata yang penuh kerut usia. “Kau tidak tersesat, Parto. Kau hanya sedang berjalan di jalan yang belum kau pahami.”

“Tapi apa jalan ini yang benar? Apa semua perjalanan memang harus sejauh ini?”

Pak Karim tersenyum tipis. “Benar dan salah itu sering kali bukan soal arah, tapi soal hati. Jika kau berjalan dengan hati yang jernih, kau akan menemukan tujuan, meski kau belum tahu apa itu sekarang.”

Parto mengangguk pelan. Tapi di dalam hatinya, ia masih merasa ada sesuatu yang hilang.

Malam itu, setelah berbincang dengan Pak Karim, Parto masuk ke dalam masjid dan duduk sendirian di sudut ruangan. Ia menatap karpet tua yang sudah pudar warnanya, lalu menundukkan kepala.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “kalau memang ini jalanku, kenapa rasanya berat sekali?”

Ia teringat pada filosofi yang pernah ia baca dalam sebuah buku tua di perpustakaan masjid. Buku itu berbicara tentang absurdism – gagasan bahwa hidup ini pada dasarnya tidak memiliki makna, tapi manusia tetap mencari makna itu karena itulah esensi dari keberadaan.

Di tengah kegalauan itu, Parto merasa seperti tokoh dalam novel yang berjalan tanpa akhir. Apakah takdir itu sesuatu yang sudah digariskan, ataukah ia bisa mengubahnya dengan keputusan-keputusan kecil yang ia buat?

Ketika azan subuh berkumandang, Parto masih duduk di sudut masjid. Hujan sudah reda, dan embun menyelimuti pepohonan di luar. Ia bangkit perlahan, mengambil air wudu, lalu berdiri di belakang Pak Karim yang sudah siap memimpin salat.

Saat ia bersujud, Parto merasa seperti menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Bukan jawaban atas semua pertanyaannya, tapi ketenangan. Ia sadar, perjalanan ini belum selesai, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendiri. Ada Allah yang selalu menemani, bahkan di tengah hutan yang sunyi.

Di luar, burung-burung mulai berkicau, menyambut pagi. Dan di dalam hati Parto, ada cahaya kecil yang mulai menyala, seperti lentera yang menuntunnya pulang, meski ia belum tahu ke mana arah pulang itu sesungguhnya.

Comments