SANDWICH GENERATION


SANDWICH GENERATION 

Ada sebuah istilah yang menggambarkan kondisi manusia modern yang, dengan segala kepayahan emosional dan finansial, berdiri di antara dua kutub: generasi orang tua yang menua dan generasi anak-anak yang masih dalam proses tumbuh. Istilah itu disebut Sandwich Generation, sebuah metafora linguistik yang mengandung beban berat, lapisan-lapisan tekanan, dan kesadaran akan tanggung jawab yang sulit untuk dielakkan.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller pada tahun 1981 untuk menjelaskan individu usia produktif, biasanya berusia 30 hingga 50-an, yang berada di tengah-tengah tanggung jawab membesarkan anak-anak mereka sekaligus merawat orang tua yang menua. Secara linguistik, metafora sandwich bukan sekadar permainan kata, melainkan simbol yang menyiratkan penekanan dari dua sisi: tekanan dari atas (generasi orang tua) dan tekanan dari bawah (generasi anak-anak).

Dalam kajian semantik, istilah ini menciptakan gambaran yang konkret tentang kondisi manusia yang terjepit di antara dua tanggung jawab besar. Kita tidak hanya membayangkan beban psikologis dan finansial yang berat, tetapi juga struktur sosial yang membuat individu tersebut merasakan keterhimpitan eksistensial.

Dalam masyarakat Indonesia, realitas Sandwich Generation berkelindan erat dengan struktur sosial yang masih sarat nilai-nilai patriarki. Norma-norma tradisional menempatkan tanggung jawab merawat orang tua sebagai bagian dari bakti anak. Di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan, tanggung jawab ini seringkali disematkan lebih berat kepada anak laki-laki tertua, atau kepada anak perempuan yang dianggap memiliki peran nurturing yang lebih besar.

Namun, di kota-kota besar yang semakin terpapar modernitas, tekanan sosial ini bertransformasi. Kini, pasangan suami istri yang bekerja sama-sama merasakan beban sandwich yang semakin kompleks. Keduanya menghadapi tuntutan karier yang kompetitif di tengah kebutuhan finansial keluarga yang semakin besar, dari biaya pendidikan anak hingga biaya kesehatan orang tua yang kian renta.

Budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan keluarga besar turut memperkuat dilema ini. Di satu sisi, ada kebanggaan kultural dalam merawat orang tua di masa senja mereka. Namun, di sisi lain, modernitas mendorong individu untuk lebih fokus pada self-actualization, karier, dan impian pribadi.

Dalam budaya Jawa, misalnya, konsep ngayah atau mengabdi kepada orang tua adalah kewajiban moral yang tak terbantahkan. Namun, ketika nilai-nilai tradisional ini beradu dengan nilai-nilai modern seperti kemandirian dan individualisme, muncullah ketegangan kultural yang memperdalam konflik batin Sandwich Generation.

Dari perspektif psikologi, Sandwich Generation sering mengalami stres kronis akibat tuntutan yang datang bertubi-tubi. Fenomena ini sering disebut dengan istilah caregiver stress atau burnout. Ketika mereka harus membagi waktu, tenaga, dan perhatian untuk mengasuh anak-anak sambil merawat orang tua, mereka cenderung kehilangan ruang untuk merawat diri sendiri.

Psikolog Erik Erikson, dalam teori perkembangan psikososialnya, menyebut bahwa fase dewasa tengah adalah masa di mana individu menghadapi krisis antara generativity dan stagnation. Mereka yang berhasil memenuhi tanggung jawab sosial akan merasakan makna dan kebanggaan. Namun, mereka yang terjebak dalam tekanan tanpa dukungan yang memadai berisiko mengalami stagnasi, kelelahan, bahkan depresi.

Dalam perspektif eksistensialisme, dilema Sandwich Generation ini bisa dilihat sebagai bagian dari absurditas hidup yang dibicarakan oleh Albert Camus. Seperti tokoh Sisyphus yang terus-menerus mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali, Sandwich Generation menjalani rutinitas tanpa akhir: bekerja, merawat, dan mengasuh. Pertanyaannya adalah, apakah mereka bisa menemukan makna di tengah absurditas ini?

Bagi Camus, manusia harus berani memberontak terhadap absurditas dengan menciptakan makna sendiri. Dalam konteks Sandwich Generation, pemberontakan itu bisa berarti mencari keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan kebutuhan pribadi, antara berbakti dan merawat diri sendiri.

Fenomena Sandwich Generation juga tak lepas dari dinamika ekonomi politik yang semakin mendikte kehidupan keluarga. Di era kapitalisme neoliberal, keluarga tidak lagi menjadi unit sosial yang mandiri, melainkan bagian dari rantai konsumsi yang terus-menerus diumpankan pada produk dan layanan komersial: asuransi kesehatan, biaya pendidikan, layanan penitipan anak, hingga panti jompo.

Krisis ekonomi global dan ketidakpastian pekerjaan semakin memperburuk beban Sandwich Generation. Mereka yang hidup di kota-kota besar menghadapi dilema antara mengejar penghasilan yang lebih tinggi atau kembali ke desa dan menjalani hidup dengan lebih sederhana. Namun, di kedua pilihan itu, mereka tetap tak bisa mengelak dari tanggung jawab merawat generasi sebelum dan sesudah mereka.

Di tengah semua tekanan ini, Sandwich Generation terus mencari jalan untuk bertahan. Ada yang menemukan pelarian dalam ibadah, ada yang bergantung pada terapi psikologis, ada yang mengandalkan komunitas sebagai ruang berbagi. Namun, yang pasti, mereka semua sedang berjalan di jalan yang tak mudah \u2013 jalan yang penuh rintangan, tetapi juga penuh kemungkinan.

Seperti yang pernah ditulis oleh filsuf Denmark, Søren Kierkegaard, hidup ini hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan. Bagi Sandwich Generation, mungkin inilah inti dari perjalanan mereka: menerima beban yang ada sambil tetap berharap bahwa masa depan bisa membawa makna baru, harapan baru, dan kebebasan dari keterjepitan yang membelenggu.


Comments