CERITA PENDEK MUHAMMAD THOBRONI: MBAH KANGEN
MBAH KANGEN
Kamis sore pelabuhan Bakauheni
sibuk. Tukang-tukang bekerja keras memperbaiki dermaga ponton. Dermaga kapal cepat itu rusak berat dihantam
alun laut dan angin kencang. Telah lama mangkrak, tapi dermaga itu kerap
digunakan sandar tugboat.
Fadli berdiri memandang para
tukang yang sedang sibuk. Ia kagum dengan kerja keras mereka. Ia seperti takjub
dengan keringat yang menetes dari tubuh tukang-tukang itu. Ia seperti tak hirau
dengan keringat yang telah membasahi kaos oblongnya.
Sedari siang tadi ia telah
hilir-mudik. Mungkin telah tujuh kali kembali ke dekat dermaga kapal cepat.
Tapi ia belum juga bertemu Mbah Kangen.
“Di manakah Mbah Kangen
berjualan?” Fadli bertanya kepada penjaga parkir.
Penjaga parkir menunjuk arah
dekat dermaga kapal cepat. Berarti benar. Bapaknya tidak salah menunjuk.
Menurut bapak, Mbah Kangen berjualan es dekat dermaga kapal cepat. Ia segera
berlari. Gerobak es dekat dermaga kapal cepat masih melompong. Belum ada
dagangan, apalagi pedagangnya.
“Mencari siapa, Dik?” tegur
seorang perempuan paruh baya. Pakaiannya rapi. Roknya tepat sekian senti di
atas lutut. Di mata Fadli, perempuan itu sungguh seksi. Tapi, ia kesini bukan
untuk bertemu perempuan itu.
“Mbah Kangen. Apakah Ibu melihat
Mbah Kangen? Kata bapak saya, ia berjualan es dekat dermaga kapal cepat.”
Ah, perempuan di depannya belum
pantas dipanggil ibu. Andai tidak sedang menjalankan tugas, ingin sekali Fadli
lama berbincang-bincang dengannya.
“Oh, betul. Itu gerobaknya.
Biasanya jam-jam segini sudah ada.”
“Bila demikian, saya kembali
lagi nanti.”
“Sebaiknya memang demikian. Coba
nanti kemari lagi.”
Fadli bergegas jalan keluar area
dermaga kapal cepat. Di depan pintu masuk pelabuhan Bakauheni, Fadli berhenti
ragu. Ia menyaksikan ribuan truk yang akan menyeberang
ke Pelabuhan Merak, Banten. Truk-truk itu terjebak macet.
“Kemacetan
ini mungkin lama. Bisa bermalam-malam,” ujar seorang sopir menghampirinya.
Mungkin ia lelah duduk di kursi truk.
“Semoga
saja tidak demikian, Pak,” sahut Fadli.
Ia heran
kenapa dapat terlibat perbincangan dengan orang yang tak dikenalnya.
“Nggak
mungkin, wong bulan lalu saja
kemacetan hingga empat kilometer,” tukas sopir itu. Fadli heran dengan pak
sopir. Kenapa ia pesimis dengan keadaannya, padahal Fadli telah berusaha
menghiburnya? Ah, mungkin begitulah kehidupan para sopir. Fadli berpikir, sopir
itu mungkin tidak terlalu salah. Memang keadaanya selalu seperti ini. Cuaca
buruk di perairan Selat Sunda yang menjadi sumber segala persoalan mereka.
Cuaca buruk akan membuat pengelola
kapal feri atau roll on roll off (ro-ro) berpikir
seribu kali. Siapa berani mengambil resiko? Bila kapal dan penumpung tenggelam
pasti pengelola feri yang disalahkan. Sebenarnya, mereka tidak berlayar juga
disalahkan banyak orang. Termasuk oleh para sopir truk yang kejar waktu. Tapi
lebih baik diumpat sopir-sopir daripada dipenjara gara-gara kapal tenggelam.
Melihat
kemacetan itu Fadli menjadi ikut gelisah. Ia segera beranjak dari perbincangan.
Apakah kemacetan itu yang membuat Mbah Kangen belum juga tiba? Padahal, ia
harus bertemu Mbah Kangen secepatnya. Sampai jam berapa ia harus menunggu? Ia
harus menyampaikan pesan bapaknya yang sedang terbaring sekarat.
“Tolong
bayarkan hutangku kepada Mbah Kangen!” pesan Bapak dengan suara berat.
Ibu,
kakak, Fadli dan adik-adiknya berkumpul mengelilingi bapak yang sekarat.
Mendengar pesan bapak, mereka kaget. Bukan kaget bapak berhutang kepada
seseorang. Mereka kaget saat bapak menyebut nama Mbah Kangen. Siapa itu Mbah
Kangen?
“Ia
penjual es dekat dermaga kapal cepat pelabuhan Bakauheni,” kata Bapak seperti
mampu membaca pikiran mereka.
“Memangnya berapa hutang Bapak?”
tanya Ibu.
“Seribu!”
“Seribu rupiah maksud Bapak?”
“Iya benar. seribu rupiah. Dulu
Bapak membayar kurang seribu rupiah. Bapak sudah janji melunasinya, tapi belum
sempat. Bapak pikir kapan-kapan akan singgah dan membayar kurang pembayaran es
kala itu. Belum sempat kesana, sekarang tergeletak seperti ini. Tolong
dibayarkan sekarang juga!”
“Bapak nggak usah berpikir hutang dulu. Kami pasti akan membayarnya. Hanya
seribu rupiah, kan? Biar 100 kali
lipat hutang Bapak, kami akan membayarnya!” ujar Syukur, kakak sulung Fadli.
Mereka was-was keadaan bapak
yang memburuk. Bapak masih dapat berbicara, tapi tubuhnya hampir tiba titik
nol.
Mereka terdiam dalam pikiran
masing-masing. Antara heran, kaget, dan cemas.
“Kur, dan kalian semua, jangan
pernah meremehkan hutang! Aku masih ingat nasihat Mbah Rozaki, kakekmu dulu.
Katanya, ‘barangsiapa berbuat zalim
kepada saudara seiman dari hartanya meski sebagian, ia harus selesaikan di
dunia sebelum datang uang tak lagi bermanfaat kelak. Bila ia punya amal shaleh,
amal tersebut diberikan kepada saudara yang dizalimi. Jika tidak punya amal
shaleh, dosa yang dizalimi akan ditimpakan kepadanya.’ Aku lupa, sepertinya Mbah
Rozaki mengutip hadits Kanjeng Nabi! Jadi, jangan pernah remehkan hutang!”
tegas Bapak.
Suaranya memang lemah. Tapi sisa-sisa ketegasannya masih tampak. Mereka
dapat menangkap ketegasan itu. Tapi, bapak masih sakit begitu rupa? Kenapa
berpikir soal hutang? Mereka pikir, biarlah mereka anak-anaknya yang memikirkan
soal hutang-piutang itu. Toh,
andaipun bapak meninggal, pasti akan diumumkan juga siapa yang memiliki urusan
hutang-piutang.
“Urusan hutang-piutang jangan menunggu aku mati! Selesaikan sekarang
juga. Aku ingin pergi meninggalkan dunia dengan tenang.”
Bapak seperti memahami perasaan dan pikiran mereka. Mereka segera
terdiam. Bila dipikir, perkataan bapak
ada benarnya. Setiap manusia mungkin memiliki hutang. Setidaknya pernah punya hutang,
meskipun terpaksa. Mereka pun begitu, ibu dan bapak kadangkala tak punya uang
belanja.
“Jangan samakan aku dengan orang-orang kaya. Mereka memang juga punya
hutang, tapi hutang mereka beda dengan hutangku. Hutangku ini hutang lalai. Aku
lupa membayarnya. Cepat bayarkan hutangku sekarang juga. Aku ingin pergi dengan
tenang!”
Saat itu, Fadli segera mengambil keputusan cepat.
“Biarkan aku yang pergi ke pelabuhan. Aku akan mencari Mbah Kangen
sampai ketemu. Biar aku yang melunasi hutang Bapak!” katanya. Semua setuju. Itulah
sebabnya siang tadi Fadli langsung meluncur ke Pelabuhan Bakauheni.
Berkali-kali ia mencari Mbah Kangen di tempat biasanya berjualan. Kosong. Hanya
gerobak dan kursi yang menunggu.
Suara ombak berdebur-debur. Hati Fadli lebih gelisah. Resah. Tak sabar
ia segera mencari seseeorang untuk bertanya.
Seorang gadis berjalan ke arah Fadli. Mungkin ia dapat membantuku,
pikir Fadli.
“Kakak, apakah kakak kenal Mbah Kangen?” gadis itu bertanya
mendahului.
“Ah, rupanya engkau juga mencari beliau,” jawab Fadli.
“Benar, Kak.”
Cantik sekali gadis itu. Bajunya merah cerah. Rambutnya berkibar
diterpa angin laut. Fadli asyik mengamati wajah gadis itu. Ia sejenak lupa
dengan urusan semula.
“Aku mendapat titipan dari Bapak untuk membayar hutang.”
“Aku juga.”
“Baru saja kutanya ibu yang di sana, Mbah Kangen mungkin tidak
berjualan. Katanya sih mudik ke
Malang. Kukira tadi Kakak ada hubungan saudara dengan Mbah Kangen, makanya aku
kesini ingin titip uang untuk beliau.”
Fadli terdiam lemas. Wajahnya kian melas bila membaca pesan singkat di
telepon genggamnya: Bila urusan hutang
selesai, cepat pulang. Bapak meninggal.
innalillahi wa innailaihi roji’un. ***
Comments
Post a Comment