TARAKAN (31/08). Suatu malam, anak-anak muda berkumpul dan membahas program untuk beberapa hari. Salah satunya mengokohkan slogan berbunyi “Berbudaya dengan Bahagia”. Slogan tersebut menjadi kata-kata khas komunitas. Komunitas itu bernama Kubah Budaya yang berdiri dan berkomunitas di Kota Serang, Provinsi Banten.
Encep Abdulloh, seorang alumnus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten yang sekarang mengabdi sebagai guru, menuturkan bahwa Kubah Budaya merupakan komunitas sastra yang digelutinya sejak masih berkuliah di Untirta. “Saya banyak belajar membaca dan menulis di sini. Berdiskusi saban waktu dengan kawan-kawan yang begitu cerdas dan asyik. Beberapa peserta diskusi adalah dosen saya. Termasuk pendirinya yang kini sudah almarhum yakni Wan Anwar. Sepuluh tahun saya bergelut di komunitas ini. Beberapa kali saya mengikuti even kepenulisan dan pertemuan sastra untuk mewakili komunitas. Beberapa kali tulisan saya menghiasi koran dan majalah. Dan, beberapa kali pula memenangi lomba kepenulisan baik tingkat lokal maupun nasional. Tapi, apalah arti keberhasilan itu bila saya sibuk dengan diri saya sendiri dan melupa pada lingkungan sekitar,” kisah Encep, yang pernah mengikuti Bengkel Penulis Muda Tingkat Asean MASTERA.
Encep tidak hanya sibuk menulis untuk media massa dan buku. Ia juga mengabdikan kemampuannya untuk kampung sekitar. Ia mengisahkan bahwa di kampung, terutama anak muda, ia belum menemu orang-orang yang mempunyai minat dan geliat baca cukup tinggi. Bahkan, menurutnya, ia belum menemu ruang berkumpul bagi anak muda untuk membahas budaya tulis-menulis. “Saya kesepian. Saya tidak punya kawan meski untuk sekadar menyeruput kopi dan berdiskusi kecil menyoal sastra. Teman saya memang banyak. Yang satu jurusan kuliah pun banyak. Namun, mereka hijrah entah ke mana sembari mencari receh dan sesuap nasi untuk anak-istri. Pekerjaan mereka pun kadang tak sesuai dengan jurusan yang sudah mereka tempuh di perkuliahan selama bertahun-tahun itu. Saya sungguh kesepian. Sangat kesepian. Saya berangan-angan membentuk komunitas kecil. Secara perlahan saya pun merancangnya,” cerita Penulis Buku Bahasa Cabe-cabean tersebut.
Tidak berhenti di situ, Encep terus melakukan inovasi gerakan komunitasnya. “Saya nekat mengumpulkan lima orang kawan yang sudah saya seleksi dan saya pilih melalui media sosial Facebook. Hasil seleksi ini berdasarkan tulisan dan minat mereka belajar menulis. Apakah mereka minat puisi, cerpen, dan esai. Akhirnya, saya buka “Pelatihan Menulis” dan kami beri nama #Komentar (Komunitas Menulis Pontang- Tirtayasa). Saya sengaja menggunakan nama ini agar mudah diingat dan lebih lokalitas. Sasaran pesertanya memang orang-orang dari lingkungan sendiri yakni Pontang dan Tirtayasa,” ujarnya. Tirtayasa merupakan kecamatan tetangga Pontang. Tak jauh dari kecamatan tersebut, tepatnya di Tanara adalah tempat Syekh Nawawi Al-Bantani belajar menulis. Rasanya kurang afdal di tempat muasal Imam Nawawi tidak terdapat manusia berkumpul berdiskusi menyoal baca-tulis, terutama sastra. “Lebih banyak orang memilih berziarah dan berwisata di tempat ini ketimbang mengambil hikmah dan esensi apa yang dilakukan Syekh Nawawi itu sendiri yakni membaca dan menulis. Bukankah bangsa yang maju adalah bangsa yang manusianya memiliki kecintaan tinggi terhadap ilmu dan pengetahuan, salah satunya dengan membaca?” tegas Encep.
Saat itulah, Encep mulai berinisiatif untuk membuat kelompok kecil yang usianya mungkin belum seumur jagung. Saban pekan mereka bertemu di kediaman Encep. Ssetiap sore, pukul 16.00—menjelang Magrib. Meski mendirikan komunitas menulis, Encep tak semena-mena hanya menyuruh mereka menulis. Encep mengajari mereka cara membaca buku yang baik. Membaca buku-buku bergizi yang bisa mereka jadikan tolok-ukur dan referensi menulis. Saban minggu, mereka membaca 1—2 buku. Selama satu bulan, mereka bisa menghabiskan 4—8 buku. “Ketika saya bertanya, Buku-buku itu sudah habis kalian baca? Mereka menjawab ‘Sudah, Pak, malah kurang,’. Air muka mereka tampak bahagia karena senang melahap buku dan ilmu. Wajah saya berseri. Ada rasa haru tak bisa saya ujarkan dengan kata-kata. Mereka datang ke tempat saya memang benar ingin belajar. Ingin membaca dan menulis. Saya yang juga masih belajar semakin semangat dan rindu membaca karya mereka,” tambah Encep, ayah berputra satu tersebut.
Encep menceritakan, Serang memang kaya dengan komunitas literasi. Selain Kubah Budaya, juga berdiri Rumah Dunia (Golagong, dkk.), Dewan Kesenian Banten (Cavchay, dkk.), dan Banten Muda (Irvan Hq, dkk.). “Saya mendirikan komunitas #Komentar bukan untuk menyaingi mereka. Justru, saya banyak belajar dan terinspirasi dari mereka orang-orang yang ada di komunitas itu yang mengajari saya saling berbagi kepada orang lain. Kemampuan dan hobi saya adalah membaca dan menulis. komunitas yang saya bentuk ini semoga bisa membangun suasana baru di kampung. Sedikit demi sedikit. Terutama kalangan muda agar ada estafet kala nanti saya sedang atau sudah tidak berkiprah di tempat itu lagi,” harap Encep.
Encep adalah sosok teladan bagi anak muda. Selain produktif menulis, ia juga peduli dengan lingkungan sekitarnya. Ia mengabdikan kemampuannya. Ia ingin slogannya terus menggema, yakni Bersastra dengan Bahagia. “Saya semakin semangat dan antusias. Saya ingin fokus pada orang-orang sekitar saya. Barangkali, tindakan ini belumlah apa-apa. Ini langkah awal membangun iklim baru di kampung yakni budaya membaca. Masih terngiang, saya ingin mendirikan perpustakaan kecil dari buku-buku koleksi. Apalagi rumah saya bersebelahan dengan sekolah dasar. Kemungkinan banyak anak mampir ke tempat saya. Semoga ini kelak terwujud. Layaknya olahraga yang bisa bikin badan sehat, saya pun ingin memberikan bacaan yang bisa bikin pikiran sehat. Karena saya menyukai dan mencintai sastra, saya ingin fokus terhadap apa yang saya bisa. Bukankah salah satu fungsi sastra selain mendidik adalah menghibur. Mari membaca. Mari bersastra. Mari berbahagia. Mari bersastra dengan bahagia!” seru Encep Abdulloh Pontang dari tanah Banten. (ambau.id)
Comments
Post a Comment