(SUMBER: WWW.123RF.COM)
Berita kematian Kang Sabar
benar-benar mengguncang kami. Kami tak terima bila ia harus mati sekarang. Ia
lelaki terbaik yang pernah kami kenal dan miliki. Ia tumpuan harapan bagi
mahasiswa miskin, anak yatim, dan janda-janda tua.
Pagi-pagi sekali Samir menggedor
pintu rumah.
“Kang, buka pintu! Buka pintu,
Kang!” teriak Samir.
Kurang ajar anak ini. Sudah
datang pagi-pagi. Menggedor-gedor pintu. Tak pakai salam lagi.
Istriku segera memintaku memakai
sarung. Segera kulihat wajah Samir yang layu. Nafasnya tersengal-sengal panik.
“Kang Sabar… Kang Sabar….”
ujarnya tergagap.
“Kenapa kamu ini? Tenang dulu.
Dan katakan dengan jelas. Bicara kok Kang
Sabar, Kang Sabar….”
“Mati, Kang.”
Samir tertunduk. Tubuhnya
gemetar.
“Siapa yang mati? Kucingmu, ayammu,
atau Jambu Mete depan rumahmu itu? Segalanya akan mati! Kenapa harus ribut?”
“Kang Sabar, Kang.”
Aku mulai penasaran dan curiga.
“Kang Sabar meninggal dunia,
Kang.”
Pagi itu aku menjadi ikut panik.
Hanya dengan bersarung aku bergegas. Tak kupedulikan istriku yang berteriak
memanggil-manggil.
Di jalanan kampung orang-orang
tertunduk. Anak-anak gadis terduduk sendu di teras rumah. Anak-anak hanya
berkerumun di tepi jalan. Ayam-ayam seperti kompak berhenti berkokok.
Kambing-kambing serupa mogok mengembik. Bahkan, burung yang biasanya ramai,
kini benar-benar tak terdengar kicaunya. Semuanya jadi sunyi dan hening. Bila
ada sendok jatuh, pasti bunyi dentingnya akan terdengar. Inilah kesedihan,
mungkin kepedihan teramat dalam yang pernah terjadi di kampung kami. Kepedihan
yang dipicu duka mendalam atas kematian Kang Sabar.
Siapa
sebenarnya Kang Sabar? Kami mengenalnya bernama Sabarudin. Sehingga dia
dipanggil Kang Sabar. Tak hanya anak-anak dan kaum muda, orang-orang tua di
kampung kami pun memanggilnya Kang Sabar.
Wajahnya
ganteng rupawan serupa Syakhru Khan. Tubuhnya tinggi gagah bak atlet
binaragawan. Kulitnya bersih coklat kehitaman. Bibirnya selalu tersenyum manis
membuat kami merasa nyaman. Matanya indah membuat ibu-ibu dan anak gadis tak
bosan memandang.
Sungguh
bukan semua itu yang membuat kami sangat berduka atas kematiannya. Tapi semua
kebaikan Kang Sabar yang membuat kami belum rela melepas kepergiannya. Bagaimana
kami dapat merelakan kepergiannya bila ia sangat dekat dengan anak-anak yatim
di kampung kami.
Di
mata Kang Sabar, menjadi yatim adalah takdir. Karena kematian adalah rahasia
Tuhan. “Memangnya siapa yang ingin bapak atau ibunya mati meninggalkan kita
anak-anaknya? Tidak ada kan? Kita semua ingin berkumpul dengan kedua orang tua.
Bayangkan bagaimana perasaan anak-anak yatim itu! Mereka tak dapat menikmati
kehidupan layaknya teman-teman mereka yang orang tuanya masih hidup,” kata Kang
Sabar suatu ketika.
Aku
pernah protes atas cara pandangnya itu. Kukatakan kepada Kang Sabar bahwa
memang benar pandangannya tentang anak yatim itu. Tapi, banyak juga anak yatim
yang mendapat warisan berlimpah. Bahkan, ada juga anak yatim yang salah
pergaulan. Ia menjadi pecandu narkoba, pergaulan seks bebas, terlibat
kriminalitas, dan sebagainya.
“Ah,
kenapa kita mengurus yang seperti itu? Itu kan
hanya kasus tertentu saja. Yang menjadi perhatian kita seharusnya adalah nasib
anak yatim itu sendiri. Ingat bahwa
kelak di surga kita yang mengasuh anak yatim akan berdekatan dengan Kanjeng
Nabi,” ujarnya memberi nasihat kepada kami.
Itulah
sebabnya Kang Sabar selalu peduli dengan anak yatim. Bahkan ia seperti berburu
anak yatim. Di manapun ada anak yatim langsung disantuni. Memang tidak semua
santunan menggunakan uang Kang Sabar. Seringkali Kang Sabar menyambungkan
anak-anak yatim itu dengan calon orang tua asuh yang siap menyekolahkan.
Kadangkala Kang Sabar mengantarkan anak yatim kepada orang yang membutuhkan
anak untuk diangkat sebagai anak angkat. Tak jarang Kang Sabar mengantarkan
mereka ke lembaga sosial untuk mendapat pengasuhan yang layak.
Kedekatan
Kang Sabar dengan anak yatim pernah diprotes seorang warga. Si Rokim marah-marah
kepada Kang Sabar gara-gara Santi disekolahkan ke kota. Padahal, Rokim sudah
mati-matian ingin mendapatkan cinta Santi.
“Apa
maksud Kang Sabar sebenarnya? Santi itu cintaku. Calon istriku. Aku sedang
menunggu waktu untuk meminangnya. Mengapa Kang Sabar mengirimnya sekolah ke
kota? Terus terang saja aku curiga Kang Sabar punya keinginan terselubung. Kang
Sabar mencintai Santi, kan?” semprot Rokim
sembari menunjuk-nunjuk wajah Kang Sabar.
Kemarahan Rokim itu juga merembet ke
masalah lain. Pasalnya, Rokim memergoki Kang Sabar sedang berbincang dengan Sinta,
janda beranak tiga.
“Coba
lihat perilaku Kang Sabar, memang mata keranjang dia! Dengan mata kepala sendiri
aku menyaksikan dia berpacaran dengan Sinta. Pantaskah lajang berduaan dengan
janda?” ujarnya kepada kami yang sedang makan di warung Mbok Kartini.
Selesai makan aku langsung memaki Kang Sabar.
Aku memang orang yang ingin serba terang. Tidak perlu basa-basi.
“Kang
Sabar apa-apaan berpacaran dengan janda beranak tiga? Kalau memang suka,
langsung dilamar saja. Sehingga tak menimbulkan isu liar. Saya lihat Kang Sabar
ini wajahnya baik tapi kok mesum!”
“Apa
maksudmu? Bicara yang jelas!” ujarnya.
“Semua
sudah jelas, Kang. Kang Sabar hendak mesum dengan Sinta, Si Janda beranak tiga
yang bahenol itu? Kami tidak rela, Kang. Sebelum orang kampung mengusir, saya
akan menghajar Sampeyan duluan. Tindakan Sampeyan tak sesuai ucapan. Saya curiga kemesuman Sampeyan sudah sejak dalam pikiran!
Wajah murah senyum tapi otak dan perilaku mesum! Sungguh tak kusangka! Ck ck ck….”
“Saya
ingin mengikuti ajaran Kanjeng Nabi.”
“Nah
betul, kan? Sampeyan memang ada mau
sama Janda Sinta!?”
“Sebenarnya,
jika memang Sinta mampu menikah
lagi tidak ada masalah bukan? Bagi kita pun tidak ada masalah. Andai kita siap
menikahi perempuan sudah tua, tidak cantik, dalam rangka mewujudkan
keinginannya dan memenuhi kebutuhannya, tindakan dengan niat ini akan
mendapatkan pahala besar, insyaaAllah. Bahkan seorang ulama sufi
menganggapnya sebagai zuhud!”
“Jadi benar Sampeyan akan menikah dengan Sinta?”
“Ah, tidak. Saya kemarin memang ke
rumahnya. Tapi sekadar menyampaikan pesan dari teman di kota yang akan memberi
bantuan modal usaha. Sinta sekarang single
parent. Mungkin dia membutuhkan modal usaha. Itulah sebabnya aku ke
rumahnya menyampaikan pesan teman dari kota itu.”
Hasil
perbincangan itu kugunakan untuk memberi penjelasan kepada orang-orang yang
mencurigai adanya hubungan Kang Sabar dengan Sinta. Oleh sebab kasus
desas-desus itu, Mbah Jamal sesepuh kami menyarakan Kang Sabar segera menikah.
“Umurmu sudah cukup dan mampu. Bila memang
tidak dapat mencari sendiri, biar kucarikan calon istri! Kebetulan Si Anisa
akan wisuda. Dia sedang mengurus administrasi wisudanya. Bagaimana? ” ujar Mbah
Jamal.
Anisa
adalah keponakan Mbah Jamal yang kuliah di Yogyakarta. Kebetulan kedua orang
tuanya sudah meninggal dunia. Sehingga sejak kecil ia diasuh Mbah Jamal.
“Saya masih ingin merancang masa
depan dulu, Mbah. Nanti pada saatnya saya pasti menikah. Tunggu saja
undangannya hehehee”
“Sampeyan
mengerti kapan Allah mengambil nyawa? Tawaran masih berlaku, siap menikah nggak?”
“Saya pikirkan dulu, Mbah.”
Kami mendapatkan cerita itu langsung dari Mbah Jamal. Mbah Jamal
mengaku, sejak perbincangan itu ia merasa kapok. Hingga tak lagi menawarkan
Annisa kepada Kang Sabar. Dalam hitungan waktu, selepas Anisa wisuda sarjana
langsung dinikahkan dengan duda dari kampung sebelah.
Kang Sabar sendiri tetap asyik dengan kehidupannya: mengurus anak
yatim, anak-anak telantar, dan mencarikan bantuan untuk para janda tua yang
butuh bantuan. Hingga serangan jantung merenggut nyawanya.
Aku telah tiba di halaman rumahnya. Telah ada Sinta yang tiba-tiba
memelukku. Air mata membanjiri matanya. Hingga air mata itu ikut membasahi
pakaianku. Aku menjadi tidak enak dengan orang-orang yang menatap kami.
“Tenang Sinta. Kita semua berduka dan sedih dengan kepergian Kang
Sabar. Tapi kita harus ikhlas melepaskannya menghadap Allah,” kataku sembari
melepas pelukannya.
Sinta telah melepas pelukan. Tapi air matanya belum berhenti.
“Kami berjanji menikah bulan depan. Kami memang masih merahasiakannya.
Dia berkata ingin memberi kejutan kepada kalian. Kang Sabar sudah melamarku,
sudah melamarku! Kang Sabar ….”
Sekian masa habis ucapannya, tubuh perempuan di hadapanku itu terjatuh
pingsan. Orang-orang segera mendekat dan mengangkat tubuhnya. Aku masih terpaku
di tempatku berdiri.
Comments
Post a Comment