(sumber: www.123rf.com)
TARAKAN (30/08). Profesor Antonia Sorente,
Dosen dan Peneliti Kebudayaan Dayak dari Naples L’Orientale, Italia, mengingatkan
bahwa kepunahan bahasa dapat saja terjadi pada bahasa daerah di Indonesia. Peringatan
itu disampaikannya kala mengisi acara Pelatihan Metode Penelitian Sastra Lisan
di Jurusan PBSI FKIP Universitas Borneo Tarakan beberapa waktu lalu.
“Kepunahan bahasa
berarti pergeseran total dalam sebuah komunitas penutur bahasa, dari bahasa satu
ke bahasa yang lain, bukan pergeseran ragam bahasa atau dialek atau logat
bahasa, “jelas Profesor Antonia. Ditambahkan oleh Profesor Antonia, bahasa yang
mengalami kepunahan berarti bahasa tersebut tidak tahan terhadap persaingan
bahasa yang lain dalam satu komunitas tuturan bahasa, bukan prestise atau
status gengsi ragam bahasa tertentu dalam satu bahasa dengan satu penutur.
“Misalnya satu
bahasa Tidung, atau satu bahasa Dayak, atau satu bahasa Bulungan, itu dapat
punah bila tidak ada lagi anggota penutur yang menuturkan bahasa tersebut. Tapi
tidak dapat disebut kepunahan bila penutur bahasa Tidung logat Sembakung mengalami
pengaruh dengan logat Tidung Sesayap atau Tidung Tengara. Atau masyarakat
penutur bahasa Dayak dialek Mara di tepi Sungai Kayan, bergeser ke dialek atau
logat yang lain karena proses pengaruh tertentu. Itu bukan kasus kepunahan.
Tapi kalau tidak ada satupun orang Dayak menuturkan bahasa Dayak, tidak satupun
orang Tidung bicara bahasa Tidung, tidak satupun orang Bulungan mampu berbahasa
Bulungan, itu bisa menjadi gejala kepunahan bahasa,” tuturnya.
Berdasarkan
teori tersebut, Profesor Antonia tak segan mengingatkan ancaman kepunahan bila
anak-anak dan generasi muda tak lagi mampu berbahasa daerah. Apalagi pengaruh
bahasa Indonesia, bahasa asing, dan juga derasnya pengaruh bahasa Melayu dari
negeri jiran, serta bahasa daerah lain yang datang dari seluruh penjuru
Indonesia. Profesor Antonia menjelaskan bahwa secara teori terdapat tiga tipe
kepunahan bahasa yakni kepunahan bahasa tanpa terjadi pergeseran bahasa,
biasanya dipicu bencana alam atau perang, sehingga seluruh penuturnya lenyap
dan tidak ada generasi penerus yang mewarisi tuturannya. Tipe lain dari
kepunahan bahasa disebabkan pergeseran bahasa, bisa jadi bahasa tersebut
menyerah oleh sebab gagal bertahan dari “perang bahasa” atau “perang budaya”,
kalah oleh budaya lain yang lebih kuat. “Bisa saja itu bahasa asing, bahasa
nasional, atau bahasa dari daerah lain yang datang ke Kalimantan. Sekarang
bahasa asing menyerbu seperti bahasa mandarin, bahasa Inggris, bahasa Arab,
bahasa India, bahasa Turki, bahasa Korea, karena budaya mereka seperti music dan
film masuk ke Indonesia, termasuk Kalimantan. Bahasa nasional Indonesia juga
diwajibakn di seluruh pendidikan formal, termasuk pengaruh bahasa daerah lain
yang tiba di Kalimantan. Di sini perkembangan teknologi informasi dan
pengetahuan menjadi penentu, termasuk kepentingan ekonomi dan politik yang
menyebabkan proses migrasi masyarakat,” ujar Profesor Antonia.
Profesor Antonia berpandangan bahwa kehadiran
bahasa asing, bahasa nasional atau bahasa daerah lain dapat saja diterima
sepanjang bahasa lokal juga diperkuat, diajarkan, dilestarikan dan dikembangkan
sebagai bagian dari perkembangan zaman. “Itu juga dapat menjadi jalan untuk
mencegah kepunahan dengan cara paling sederhana, termasuk mengantisipasi
kepunahan bahasa dalam tipe yang ketiga, yakni kepunahan bahasa melalui proses metamorfosis
yakni saat bahasa dianggap turun derajat, sehingga masyarakat penuturnya malu,
tidak percaya diri, merasa ndeso, merasa jadi orang kampung, merasa jadi
katrok, sehingga tidak lagi bangga dengan bahasa daerah yang dimilikinya.
Mereka malu menuturkan bahasa daerah mereka, sebab dengan menuturkan bahasa
tersebut boleh jadi masyarakat luas akan mengenal latar belakang budaya si
penutur tersebut. Bahkan, yang berbahaya, masyarakat penutur tersebut justru
bertutur dengan menggunakan bahasa lain. Ini jelas ancaman serius bagi
munculnya kepunahan bahasa daerah tertentu. Dan itu sangat mungkin bisa terjadi
di Kalimantan, bila tidak ada orang yang peduli, baik dari pemerintah maupun
masyarakat pemilik bahasa tersebut. Salah satu cara yang efektif untuk
pelestarian dan pengembangan ya memang melalui pengajaran, baik formal maupun
non formal. Untuk pengajaran informal dapat dilakukan di keluarga atau
kehidupan masyarakat adat,” tegas Profesor Antonia yang meneliti bahasa Dayak.
Lebih lanjut, Profesor Antonia mencontohkan
kasus kepunahan bahasa yang pernah ditemukan oleh peneliti lain, misalnya
kepunahan bahasa pada masyarakat Aborijin di Australia. Kepunahan tersebut
disebabkan oleh semakin kuatnya pengaruh kedatangan masyarakat eropa, sehingga
beberapa bahasa masyarakat Aborijin pun punah. “Bahkan, beberapa bahasa
Aborijin ada yang punah secara paksa akibat tekanan dari masyarakat eropa yang
datang. Orang-orang tua di sana dipaksa untuk mewajibkan anak-anak mereka
belajar dan berbahasa Inggris. Di sini tampak terjadi bahwa ada
ketidakseimbangan kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok berkuasa yang menekan
bahasa penduduk lokal yang dikuasinya. Hal itu terjadi pada masyarakat penduduk
Maori, yang dijajah Eropa sehingga mengganti bahasa Ibu (daerah) dengan bahasa
Inggris,” ungkap Profesor Antonia. (ambau.id)
Comments
Post a Comment