akulah si anak tiri yang diucapkan awan
kemudian ditarik kembali
dan, sembunyi di dalam lipatan peradaban
lalu diucapkan lagi pada kali yang kedua
akulah si anak tiri yang dijadikan modal keuasaan
di atas hamparan kata-kata
akulah anak tiri yang lugu
terlahir dari rahim derita
dibawa musim linglung
dininabubukkan musim mabuk
dibesarkan waktu durhaka
dan, saat terakhir dalih demokrasi
yang kau bemntangkan
membaringkan diri untuk menipu
kaulah hadiah bagi para koruptor
dan mahkota kesengsaraan
dan engkalah kado terakhir kemiskinan itu
dengan tibanya sang demokrat
aku dan angin itu hembus bersama
nyatakan demi kesejahteraan bersama,
aspirasi dikawasan dusta
penjarakan nurani kita
kau berdansa di atas mayat-mayat tak berdosa
dan melukisnya
hiasi mawar keserakahan
merangkul sang durjana kemanusiaan
kau berteriak, kemabukan wibawa
dan berlagak peduli nyanyian sumbang
kemanusiaan
menari mengikuti irama duka yang terukir dusta
kau pun mengakrapi derita demi melihat nestapa
takterlihat jati dirimu di sana, sambil berkata:
“inilah seorang bijak dan arif
yang bermuka dua”
Pamekasan, 31 Agustus 2016
Comments
Post a Comment