Nah di Tiongkok itulah saya tidak bisa leluasa lagi berinteraksi dengan facebook, twitter, youtube, gmail dan semua aplikasi yang terhubung ke google. Meski tidak sampai membuat saya mati gaya, rasanya tetap ada yang berbeda dari kebiasaan saya berinternet!
Di Tiongkok, saya coba mengganti kebiasaan menggunakan mesin pencari google dengan mesin pencari Baidu milik perusahaan raksasa internet Tiongkok, tapi hasil pencariannya tetap saja berbeda. Harus diakui mesin pencari Baidu belum secanggih eyang Google. Terlebih karena saya menggunakan Baidu di Tiongkok, aksara yang muncul di layar otomatis berbahasa mandarin. Keyboard laptop saya mendadak ngerem bingung mau mengetik huruf apa dengan bahasa mandarin. :)
Akhirnya saya memilih menggunakan mesin pencari Yahoo dan Bing selama di Tiongkok. Hasilnya memang lebih baik, meski tetap saja tidak secerdas si maha guru Google!
+++
Pemerintah Tiongkok memang menerapkan kebijakan pengawasan dan pengendalian konten internet secara ketat. Semua platform aplikasi yang bisa digunakan di Tiongkok adalah platform aplikasi yang terdaftar dan wajib mematuhi semua aturan konten yang sangat ketat. Tidak cukup hanya bagi pemilik aplikasinya, aturan bagi pengguna aplikasinya pun dibuat sangat ketat. Misalnya nih, untuk mempunyai akun aplikasi yang bisa menyiarkan streaming video, pemilik akun harus terdaftar dengan identitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Buat saya itu wow!
Urusan pornografi sangat keras dilarang di Tiongkok. Tampilan ketelanjangan yang menunjukan pose tubuh lebih dari sepertiga dianggap sudah mengarah pada konten pornografi yang harus diblokir. Penyelenggara aplikasi streaming di Tiongkok wajib memblokir setiap video atau gambar streaming yang menampilkan konten pornografi atau konten dilarang lainnya dalam waktu kurang dari 3 menit setelah konten diketahui. Amazing!
Mesin pencari lainnya seperti Bing dan Yahoo wajib mengaktifkan fitur penyaringan konten negatif secara otomatis ketika digunakan oleh user-nya. Jangan berharap bisa mencari video atau foto pornografi dari 2 mesin pencari tersebut di Tiongkok. Jangan juga sekali-kali menghina negara atau menyebarkan ide atau ajakan tentang makar atau separatisme. Anda pasti akan berurusan dengan hukum yang tidak bisa ditawar.
Negara Tiongkok memegang kendali penuh konten internet yang beredar. Tiongkok menerapkan “the great wall” atau tembok raksasa untuk mengatur tata kelola kedaulatan sibernya.
Tiongkok seolah membuat satu pipa raksasa yang digunakan untuk menyaring konten mana saja yang bisa diakses masyarakat. Puluhan ribu orang direkrut negara untuk mengawasi konten internet di Tiongkok.
Berbeda dengan Indonesia, yang memilih kebijakan untuk mengalirkan konten ke banyak pipa dengan banyak ukuran. Pengawasan konten internet di Indonesia pun lebih banyak bersifat pasif dibanding aktif. Akibatnya kontrol terhadap konten jauh lebih sulit dilakukan. Positifnya adalah kebebasan berpendapat di Indonesia jadi lebih luwes digaungkan. Indonesia di satu sisi jauh lebih merdeka dalam berpendapat dan berekspresi di Internet dibandingkan di Tiongkok!
+++
Sesampainya di Indonesia, saya langsung membuka gmail dan membalas puluhan pesan yang baru sempat terbaca. Tak lupa saya kembali memantau sambil menikmati facebook dan media sosial lainnya.
Terus terang, selain masa-masa lebaran, bulan Agustus lalu buat saya bulan baik untuk mengakses facebook. Konten yang beredar di time line banyak yang isinya seputar perayaan hari kemerdekaan, ungkapan nasionalisme, atau video-video atau gambar lucu bahkan mengharu biru seputar kemerdekaan. Facebook seolah kembali pada fitrahnya lagi untuk jadi ajang berbagi cerita dan kebahagiaan.
Pada bulan Agustus lalu, saya mengamati, perdebatan isu seputar agama dan politik tidak lagi membanjiri layar media sosial. Sekilas bahkan saya perhatikan, jika bicara nasionalisme dan kemerdekaan, semua orang apapun latar belakang agama, suku, partai, atau profesinya di indonesia, semuanya kompak satu suara bahwa kemerdekaan NKRI bisa dinikmati bersama!
TEGUH ARIFIYADI, pegawai negeri sipil
Comments
Post a Comment