KRITIK SASTRA BERASISTENSI AI TERHADAP CERITA PENDEK "RISAU KYAI MASTUHU" KARYA MUHAMMAD THOBRONI DENGAN PENDEKATAN HEGEMONI SASTRA


Kritik Sastra terhadap Cerita Pendek "Risau Kyai Mastuhu" Karya Muhammad Thobroni dengan Pendekatan Hegemoni Sastra


Cerita pendek "Risau Kyai Mastuhu" karya Muhammad Thobroni, yang diterbitkan pada tahun 2009, menggambarkan kehidupan pesantren dengan latar belakang sosial dan politik yang kompleks. Melalui pendekatan hegemoni sastra, esai ini akan membahas bagaimana karya tersebut merefleksikan dominasi dan perlawanan dalam struktur sosial serta kekuasaan yang terjalin di masyarakat, khususnya dalam konteks pesantren, politik, dan keagamaan. Analisis ini juga akan mencakup kritik sosial budaya yang diangkat oleh penulis, serta upaya untuk mengungkapkan pesan moral dan kritik terhadap masyarakat.


Deskripsi Kehidupan Pesantren


Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tradisional yang memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya di Indonesia. Dalam "Risau Kyai Mastuhu," kehidupan pesantren digambarkan dengan fokus pada peran tokoh Kyai Mastuhu sebagai pemimpin pesantren. Kyai adalah sosok yang tidak hanya dihormati karena pengetahuan agama dan spiritualnya, tetapi juga karena otoritasnya dalam kehidupan sosial. Thobroni memperlihatkan dinamika yang terjadi di pesantren, termasuk hubungan antara kyai dan santri (murid), serta pengaruh kekuasaan yang dimiliki kyai dalam menentukan arah pendidikan dan kehidupan di pesantren.


Kyai Mastuhu sendiri diceritakan sebagai seorang yang menghadapi pergulatan batin terkait perubahan sosial dan politik di sekelilingnya. Kondisi ini menggambarkan dilema moral yang dihadapi oleh seorang pemimpin agama yang harus menjaga tradisi sambil merespons tuntutan zaman. Kehidupan di pesantren sering kali identik dengan konservatisme dan keteguhan memegang tradisi, namun pada saat yang sama, pesantren juga harus beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi di luar pagar pesantren.


Konteks Politik dan Keagamaan


Pada dekade terakhir ini, posisi pesantren di masyarakat sering kali berada di tengah arus tarik-menarik antara politik dan agama. Dalam konteks "Risau Kyai Mastuhu," Thobroni menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga arena persaingan kekuasaan, baik dalam konteks politik lokal maupun nasional. Kritik terhadap hubungan antara agama dan politik ditampilkan melalui kekhawatiran Kyai Mastuhu atas maraknya politisasi agama, yang menurutnya dapat merusak nilai-nilai keagamaan yang luhur.


Sebagai tokoh sentral, Kyai Mastuhu merepresentasikan kegelisahan pemimpin agama tradisional dalam menghadapi kenyataan bahwa pesantren mulai terpengaruh oleh kekuatan eksternal, seperti partai politik yang mencoba mendapatkan dukungan dari kalangan pesantren. Situasi ini mencerminkan bagaimana agama dapat digunakan sebagai alat hegemoni oleh kelompok tertentu untuk mencapai kepentingan politik. Thobroni tampaknya ingin menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti ini, pesantren dan kyai berisiko kehilangan kemurnian perjuangan moralnya karena terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan duniawi.


Kritik Sosial Budaya


Dalam cerita ini, Thobroni juga mengangkat kritik sosial budaya terhadap masyarakat yang semakin menjauh dari nilai-nilai tradisi dan ajaran agama. Pengaruh modernisasi dan kapitalisme mulai merambah hingga ke lingkungan pesantren, yang selama ini dianggap sebagai benteng moral dan etika. Kehadiran kapitalisme terlihat dari bagaimana kehidupan ekonomi di sekitar pesantren mulai mengedepankan keuntungan material daripada kesejahteraan bersama. 


Kyai Mastuhu, sebagai simbol otoritas moral, mengalami konflik batin ketika melihat perubahan perilaku masyarakat yang semakin materialistik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren untuk tetap relevan dalam membimbing masyarakat di tengah arus perubahan. Melalui karakter Kyai Mastuhu, Thobroni menyampaikan kritik terhadap gejala dekadensi moral yang terjadi akibat dampak modernisasi yang tidak terkontrol. Ada kekhawatiran bahwa pesantren akan kehilangan otoritas moralnya jika terlalu banyak dipengaruhi oleh budaya materialistik yang merusak tatanan sosial tradisional.


Hegemoni Sastra dan Perlawanan


Dengan menggunakan pendekatan hegemoni sastra, "Risau Kyai Mastuhu" dapat dipahami sebagai karya yang menggambarkan dominasi nilai-nilai modern atas nilai-nilai tradisional pesantren. Kyai Mastuhu sendiri berada di persimpangan antara mempertahankan hegemoni nilai-nilai pesantren dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Thobroni memperlihatkan adanya resistensi dari dalam pesantren terhadap dominasi nilai-nilai eksternal, terutama yang berasal dari politik dan ekonomi. Resistensi ini terlihat dari kegelisahan dan kegalauan Kyai Mastuhu dalam menyikapi perkembangan yang terjadi di lingkungannya.


Menurut Antonio Gramsci, hegemoni adalah dominasi suatu kelas atas kelas lainnya melalui pengendalian ideologi dan budaya. Dalam cerita ini, dominasi budaya modern dan politik mempengaruhi kehidupan pesantren yang tradisional. Namun, resistensi yang dilakukan oleh Kyai Mastuhu menunjukkan adanya upaya untuk mempertahankan otoritas moral dan ideologis dari dalam pesantren. Dengan demikian, "Risau Kyai Mastuhu" tidak hanya sekedar narasi tentang kehidupan pesantren, tetapi juga merupakan sebuah kritik terhadap struktur sosial yang ada, di mana agama dan politik sering kali terjalin dalam relasi yang kompleks dan penuh ketegangan.


Kesimpulan


Melalui "Risau Kyai Mastuhu," Muhammad Thobroni berhasil mengungkapkan berbagai dilema yang dihadapi oleh dunia pesantren di tengah perubahan sosial, politik, dan budaya. Dengan pendekatan hegemoni sastra, dapat dilihat bagaimana pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga arena pertarungan kekuasaan dan ideologi. Kritik terhadap materialisme, politisasi agama, dan pengaruh eksternal terhadap pesantren memberikan pandangan mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam tradisional ini. Karya Thobroni mengajak pembaca untuk merenungkan kembali posisi pesantren dalam mempertahankan otoritas moral dan perannya di tengah masyarakat yang terus berubah.


Melalui kisah Kyai Mastuhu, Thobroni tidak hanya menyajikan sebuah cerita tentang pergulatan batin seorang pemimpin pesantren, tetapi juga sebuah kritik sosial budaya yang relevan dalam konteks Indonesia saat ini.

Comments