AIDIT, HATI YANG KOSONG DAN GELISAH
Muhammad Thobroni
Peristiwa tragis 1965 sering dikaitkan dengan gerakan yang diinisiasi Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai yang memiliki peran strategis hingga akhir kepemimpinan Soekarno. Meletusnya peristiwa 1965 mengingatkan pada tokoh besar Dipa Nusantara Aidit atau yang lebih dikenal sebagai Aidit, Ketua Terakhir PKI sebelum dibubarkan.1) Di manakah posisinya ketika itu? Apakah yang dipikirkan dan dirasakannya?
+++
Dialah Aidit,
Sang Ketua Terakhir
Mungkin bukan yang terakhir,
Sebab Aidit bisa saja kamu,
Atau mungkin malah aku.
Dia berhenti lama
Di sebuah ruangan kecil
Di pinggiran Madiun kota
Apa yang sedang terjadi di luar?
Apa yang bakal terjadi berikutnya?
Dia duduk terdiam.
Mata yang tajam
Tatapan ke jendela
Hanya membentur kekosongan
Padahal jendela terbuka lebar.
Langit sore yang redup
Bedug masjid bergemuruh
Ada panggilan jiwa yang resah
Semua hamba diminta merapat
Ruku' dan sujud di bawah mihrabNya.
Tapi,
Di bawah kumandang magrib
Ada hati yang kosong
Dan jiwa yang gelisah
Tak pernah surut
Hari-hari yang membuncah
Ada bayangan besar
Terhampar di pelupuk
Tapi ada hati yang bimbang
Dua puluh tahun silam,
Ya sekian dekade lalu,
Semua ini pernah dicoba,
Semua strategi, segala taktik
Ragam rekayasa, aneka metode
Hasilnya adalah
Kepahitan yang digoreskan
Oleh Madiun Berdarah
1948 adalah tahun kekalahan,
Dan kekalahan adalah kepahitan
Yang sulit dicarikan obatnya.
Gerakan bubar
Semangat runtuh
Perjuangan ambyar
Teman pergi satu demi satu
Pasukan hilang entah kemana
Memang ada yang dibunuh
Memang ada yang dipenjara
Memang ada hilang sirna
Tapi di mana perang
Tidak menyisakan tragedi?
Dia berhenti lama
Di pojok kamar dengan
Hati kosong dan gelisah
Ada luka
Ada trauma
Ada bayangan kepahitan
Dia kembali teringat ayah
Juga guru ngaji di kampung
Juga teman-teman kecil
Ada lantunan ayat suci
Ada kumandang iqomah
Ada talu kentongan
Dia ingat ketika
Diam-diam minum air sumur
Kala adzan luhur buka puasa
Dia tersenyum pahit,
Terkenang masa kecil, Terkenang kekalahan.
Dia coba menolak
Semua kenangan pahit;
Perubahan harus digerakkan
Perlawanan harus dikobarkan
Dan pemberontakan harus dinyalakan!
Tidak ada jalan lain
Kemiskinan dan kebodohan
Hanya dapat dimusnahkan
Dengan jalan revolusi!
Jalan revolusi yang mana?
Jalan revolusi di mana?
Hatinya kembali kosong,
Kembali gelisah
Dia mengutuk Lenin,
Juga Marx yang serupa
Menjebak pikiran dan hatinya
Dalam dilema hebat
Tiada ujung, tiada pangkal
Tapi kepalang tanggung!
Keadilan harus ditegakkan!
Meski ada darah tumpah,
Meski ada nyawa melayang.
Mendadak dia teringat
Kekasihnya yang minggat
Karena gagal menjinakkan
Api yang berkobar
Dalam ruang kosongnya
Kekasihnya itu,
Suara itu,
"Aidit, jangan lupakan shalat!
Jangan lupakan puasa!
Revolusi tanpa Tuhan
Hanya berujung kehancuran!
Dia ingin marah
Tapi kepada siapa?
Kekasihnya sudah pergi
Bersama omong kosong cinta
Tapi,
Dia mungkin benar,
Kekasihnya itu ada betul:
Dia telah kehilangan sajadah,
Yang entah telah berapa lama
Dilemparnya ke jurang gerakan massa
Mendadak dia rindu,
Rindu suara lembut,
Rindu sentuhan lembut
Nyata ada,
Bukan kekerasan itu yang dirindukannya!
Malam telah jatuh
Suara kian bergemuruh
Dia harus bergerak utuh
Dia bangkit
Memandang serakan kertas:
Selebaran-selebaran agitatif
Propaganda yang gagal total, dan
Gairah yang tumpah!
Dia terhenyak di kursi,
Mengutuk gerakan hampa
Yang menindas hatinya kini!
Wajah kader muncul
Dalam renungan:
Wajah pucat
Cemas.
"
“Bung, situasi lapangan kian genting. Kita harus bertindak!”
Genting?
Bertindak?
Ah.
Hatinya makin kosong
Dan kian gelisah.
Ada trauma terhampar
Dia telah kalah
Dalam politik.
Tapi, dia juga sudah pernah,
Merasakan kalah dalam percintaan.
Ada suara bergema:
“Tapi, Bung jangan mundur!
Harus lanjutkan perjuangan ini!
Mundur atau hancur!”
Brengsek!
Suara siapa itu?
Masih ada revolusi?
Sunyi.
Hening.
Kosong.
2024
+++
Footnote:
1) https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/12/150000479/dn-aidit-pemimpin-terakhir-pki
Comments
Post a Comment