SASTRI BAKRY DAN ARMAIDI TANJUNG: DENNY JA FOUNDATION DUKUNG ATMOSFER PENULIS SUMATRA BARAT LEWAT PROGRAM PUISI ESAI MINI


 Kabar gembira dari SATUPENA Pusat untuk anggota SATUPENA Sumbar!! 


Demikian kalimat pertama yang saya share ke grup WA anggota SATUPENA Sumbar. Kabar itu tentu saja membahagiakan anggota. Tak memerlukan waktu lama, puluhan anggota muda SATUPENA Sumbar, ikut dalam menulis puisi esai mini. Meski akhirnya yang terpilih hanya 10 orang. 

Salah satu misi penting SATUPENA Sumbar adalah meningkatkan keterampilan menulis dan kesejahteraan penulis. Honor untuk penulis muda sebesar Rp 1,5 juta untuk dua puisi esai mini, yang disediakan Denny JA , ketua umum SATUPENA serasa menjawab misi SATUPENA khususnya Sumbar.  Sekaligus mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bagi orang lain mungkin kecil tapi bagi mereka seperti mukjizat. Bukan hanya karena merasa diapresiasi dengan pembayaran honor. Tetapi makna dan kebermanfaatannya lebih jauh dari itu. 

Saya terkejut ternyata dengan adanya honor itu mereka bisa membantu orang tuanya, membeli obat, membayar uang sekolahnya  bahkan untuk membayar uang kos yang berbulan-bulan belum dibayarkan. 


Betapa mulia dan bermanfaatnya kegiatan menulis dan dihargai rupiah yang dilakukan Denny JA. Ia mau mendedikasikan hartanya untuk dunia literasi, sastra dan budaya.  Saya tak bisa membayangkan jika pemimpin organisasi bukan Denny JA. Apakah akan tetap konsisten menggerakkan dan mendorong dunia kepenulisan tetap bercahaya dengan uang pribadinya? . 


SATUPENA telah konsisten mendorong dan memotivasi anggotanya untuk terus menulis dalam beragam genre. Menulis dapat membantu meluapkan emosi yang sedang kita rasakan dan pendam. Kita bebas mengekspresikan  kesedihan, kegalauan, pemberontakan batin, kemarahan, kebencian atau lainnya saat tidak bisa bercerita kepada orang lain. Percaya atau tidak, menulis adalah obat awet muda, kata Fatima Mernisi, seorang feminis dan penulis dari Marocco.


Ketika gagasan menyambut Festival Puisi Esai  bulan Desember mendatang, saya secara ex officio ditugaskan memilih penulis-penulis muda untuk menulis puisi esai.  Saya dan Armaidi Tanjung, penulis dan wartawan utama yang juga sekretaris SATUPENA Sumbar, mengasuh  dan mengasah mereka untuk menghasilkan karya puisi esai mini. 


Antara keinginan menulis dan kemampuan menulis tentu agak sedikit berbeda. 

Mendorong menulis penulis muda (pelajar SMA & mahasiswa) bukanlah hal mudah. Apalagi untuk menulis  puisi esai mini. Menulis puisi saja sudah menemukan kesulitan sendiri, apalagi berbentuk esai. Artinya menulis harus kuat literasi akademik sekaligus memperhatikan kaidah puisi seperti diksi metafora, personifikasi, simile, struktur dan lainnya. Dasar  rujukan dari bacaan kita yang menjadi catatan kaki. Meski puisi esai mini relatif lebih simpel karena Iebih  pendek dengan catatan kaki yang sederhana. Namun bagi pemula tetaplah punya kesulitan sendiri. Apalagi tidak rajin membaca. Hasil dari membaca itu akan muncul dalam konteks di awal puisi esai mini itu. Menarik atau tidaknya. 


Ketika saya  membaca puisi esai mini dari 10 penulis muda yang terpilih tersebut. Ada perenungan mendalam secara substansi di sana. 

Keresahan jiwa adalah duka luka wajah dunia. 

Meski masih ada optimisme di situ. 

Sedemikian burukkah kehidupan sosial kita sekarang di Negeri Timur yang biasa dikenal sebagai pemegang norma sosial dan adat yang beradab  tinggi? 

Soal perkosaan, bahkan terhadap anak kandung sendiri, pembunuhan, kemiskinan, pelecehan, ketidakadilan, penghakiman,  kesewenangan penguasa, korupsi bahkan bunuh diri  yang  bertebaran di berita medsos dan koran- koran muncul dalam kumpulan puisi esai mini ini. Mereka mengamati, membaca dan menulisnya. Peristiwa itu seolah hal biasa yang tak lagi mampu menyentuh nurani. 

Betulkah? 


Deni Friska mengurai anak-anak yang sekolah di pesantren tega disodomi berulang kali oleh guru yang seharusnya melindunginya. 

Tidak hanya sesama lelaki, Shadiq pun menulis kegundahan hatinya tentang korban pelecehan  yang berakhir pembunuhan kekasih hati.  Betapa mudahnya orang memperkosa seperti yang juga ditulis Sinta Wahyuni, sopir travel yang tega merampas kesucian remaja yang dalam ketakutan di ruang gelap ketika   menumpang mobilnya. Tasya ul Farah prihatin atas korban perkosaan tiga pria dewasa yang menyekap anak  yang masih SD. 

 Ayah tiri membunuh anak tiri dengan alasan sepele. Membunuh karena kesulitan hidup juga ditulis Deni Friska Yulianti. Qaula menceritakan ibu angkat yang tega membunuh anak kecil  yang diasuhnya, atau Tasya yang menceritakan calo kerja terutama TNI yang ditipu ratusan juta lalu karena tak mampu mengembalikan uangnya, tega dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang. 

Gelandangan yang berebut makanan dengan lalat  hanya untuk mengisi perut sungguh melukai hati. Mengiris luka yang menganga. Kisah yang merupakan kepedulian M Dhafa atau kegelisahannya tentang korupsi alat praktik belajar siswa. Patut kita renungkan. 

Banyak  orang merendahkan perempuan karena kecurigaan dan merasa benar sebagai objek moral dengan tidak bermoral. 

Rismania, mengamati tentang banyaknya yang bunuh diri. Peristiwa kecelakaan karena kebakaran gotong royong lalu bermain-bermain  dengan minyak tanah telah berakibat fatal , terenggut jiwa   dari tubuhnya. 

Atau soal begal yang dilakukan sekelompok remaja yang mestinya belajar. 

Siska melihat persoalan lebih luas, yang merasa tidak adil  karena pejuang wanita yang melawan penjajah tak diakui sebagai pahlawan. Atau ketidak-adilan remaja yang menyamar jadi lelaki hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan adiknya. 

Syafa dengan sedih mengungkapkan  remaja yang ditelan sungai . Ia  juga bercerita tentang ketidakpedulian seorang ayah yang berakibat fatal membuat  anak dan istrinya, lebih memilih bunuh diri karena ayahnya lebih memilih selingkuhannya. Menyakitkan memang. 

Isu kesewenang-wenangan polisi terhadap anak remaja yang meninggal tapi tak ada pembelaan bahkan fitnah diungkapkan Zaitun ul Husna sampai kesedihan tentang bencana di Sumbar, meski didendangkan dengan harmoni tetap saja membawa jiwa yang luka. 


Potret puisi esai mini ini mengajak kita membuka hati, berani menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut. 

Setidaknya jadi renungan kita bersama. 

Tentunya saya berharap mereka yang tidak hanya terampil menulis juga terampil membaca puisi itu terpilih membacakan langsung di hadapan penikmat sastra seluruh Indonesia di Jakarta. Agar kita bisa mendengar langsung suara  hati mereka yang penuh  luka mengetuk hati kita hingga sampai ke langit. Berharap perubahan ada di sana. 

Kami menunggu dengan bahagia hasil akhir dari kumpulan puisi esai mini ini. 

Selamat membaca! 

Editor

Sastri Bakry - Armaidi Tanjung

Comments