EL NINO


EL NINO


Ada saat di mana langit terasa lebih dekat dan matahari seolah menempel di atas kepala kita. Fenomena ini bukan sekadar soal cuaca, tetapi sebuah metafora dari bagaimana kehidupan dapat berubah secara tiba-tiba. El Nino, kata itu sendiri seperti angin panas yang berhembus, penuh makna yang memikat sekaligus mengancam.


Secara ilmiah, El Nino adalah fenomena alam yang terjadi ketika suhu permukaan laut di wilayah tropis Pasifik tengah dan timur mengalami pemanasan. Biasanya terjadi setiap dua hingga tujuh tahun, El Nino membuat arus udara bergerak lebih lemah dan menyebabkan pergeseran pola hujan, suhu, dan iklim di berbagai belahan dunia. Fenomena ini pertama kali diidentifikasi oleh nelayan Peru pada abad ke-19, yang menyadari adanya perubahan musiman yang signifikan dalam suhu laut dan hasil tangkapan ikan mereka.


Dampak El Nino pada cuaca di seluruh dunia sangatlah besar. Di Amerika Selatan, El Nino membawa hujan lebat yang berisiko banjir. Di sisi lain, wilayah Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami kekeringan panjang. Tanah yang biasanya subur mengering, sungai-sungai menjadi dangkal, dan mata air surut. Di sini, kita melihat bahwa El Nino bukan hanya soal kenaikan suhu, tetapi juga pertarungan antara harapan dan ketidakpastian yang menyelubungi kehidupan manusia.


Di tengah tantangan yang dibawa oleh El Nino, teori sosiologi tentang solidaritas memainkan peran penting. Durkheim menggambarkan bagaimana situasi krisis, seperti bencana alam, dapat mempererat ikatan sosial. Ketika kekeringan melanda, orang-orang berkumpul untuk menemukan solusi bersama, berbagi air, atau berusaha mempertahankan tanaman mereka yang tersisa. Di sinilah El Nino menjadi ujian nyata solidaritas, dan masyarakat yang biasanya hidup terpisah menemukan kembali kekuatan mereka sebagai satu kesatuan.


Secara psikologis, El Nino menantang ketahanan kita terhadap stres dan ketidakpastian. Ada teori psikologi yang menunjukkan bahwa ketidakpastian, apalagi yang terkait dengan bencana alam, memicu kecemasan yang mendalam. Menghadapi El Nino, kita dihadapkan pada refleksi tentang keterbatasan manusia di hadapan alam. Di sini, filsafat hadir sebagai penyeimbang. Dalam pandangan eksistensialis, misalnya, Sartre mungkin akan mengatakan bahwa ketidakpastian ini adalah cerminan dari absurdnya kehidupan. Kita mungkin tidak bisa mengendalikan alam, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita menafsirkannya.


Bahasa adalah cara manusia mencoba memberi makna pada sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan. "El Nino" dalam bahasa Spanyol berarti "Anak Laki-laki," yang awalnya merujuk pada Yesus Kristus karena fenomena ini sering kali mencapai puncaknya sekitar waktu Natal. Tapi El Nino bukan hanya soal kata, melainkan narasi tentang bagaimana manusia memahami perubahan. Dengan kata-kata, kita menenangkan diri, memberi batas pada ketidakpastian yang bergejolak, seolah-olah badai bisa kita taklukkan dengan satu sebutan sederhana.


Dari sisi ekonomi, El Nino adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, kekeringan yang berkepanjangan merugikan sektor pertanian dan menurunkan hasil panen, memicu inflasi dan mengancam ketahanan pangan. Namun, di sisi lain, kondisi kekeringan memicu pengembangan teknologi irigasi yang lebih efisien dan inovasi dalam manajemen air. Industri yang fokus pada teknologi penanganan kekeringan menemukan ruang untuk berkembang. Di sinilah El Nino memberi peluang ekonomi yang tak terduga di tengah tantangannya.


Secara budaya, El Nino menjadi simbol ketidakpastian dan ketahanan. Dalam masyarakat agraris, El Nino adalah penanda yang mempengaruhi cara mereka membaca tanda-tanda alam, menyesuaikan musim tanam, dan bahkan merayakan tradisi. El Nino mengingatkan kita pada kerentanan manusia di hadapan alam, yang sering kali digambarkan dalam prosa dan drama sebagai badai yang mendekat, sebuah misteri yang tak terelakkan.


Dalam prosa, El Nino sering menjadi latar dari ketegangan dan tragedi. Gabriel Garcia Marquez dalam "One Hundred Years of Solitude" (1967) misalnya, menggambarkan banjir yang berlangsung selama empat tahun sebagai simbol dari kehancuran dan ketidakpastian. Dalam drama, El Nino adalah konfrontasi antara manusia dan alam yang tidak terkendali, seperti tragedi Yunani yang menghadirkan dewa-dewa sebagai simbol kekuatan alam yang tidak dapat dijinakkan.


Di dalam film, El Nino tak jarang menjadi metafora dari konflik yang mendalam. Dalam "The Day After Tomorrow" (2004), meskipun tidak spesifik tentang El Nino, film ini menampilkan bencana cuaca ekstrem yang menunjukkan bagaimana manusia merespons kekuatan alam. El Nino adalah cara kita menghidupkan kembali ketakutan purba, bahwa di luar kendali manusia, ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, dan tak terelakkan.


Seperti badai yang tak terduga, El Nino tercermin dalam musik dan puisi yang merindukan kedamaian di tengah kerusakan. Dalam lagu "Blowin’ in the Wind" dari Bob Dylan (1963), ia bertanya, "How many times must a man look up, before he can see the sky?"—sebuah pertanyaan yang terpantul di langit El Nino, di mana kita terus menerka, bertanya, tetapi tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti.


El Nino adalah pengingat tentang keterbatasan kita, tetapi juga kekuatan kita untuk bertahan. Ketika badai itu datang, ia membawa serta pelajaran yang dalam tentang bagaimana kita bisa tetap berdiri, bahkan ketika alam mengamuk. Dalam bait puisi Rendra, “Kita adalah angin yang tak bisa dibendung,” kita memahami bahwa El Nino adalah badai yang akan berlalu, dan manusia adalah angin yang tak pernah habis berhembus, terus mencari, terus menantang batas dirinya.


Comments