GADIS DARI BETAYAU


GADIS DARI BETAYAU


Di tepi Sungai Sesayap yang berkelok, Angelia merenung dalam sunyi. Sungai yang berair cokelat pekat itu berkilauan diterpa matahari sore. Bagi Angelia, sungai ini lebih dari sekadar tempat bermain. Ini adalah rumah kedua, tempat ia mengais mimpi di tengah gelombang harapan dan ketidakpastian.


Angelia bukan gadis sembarangan. Usianya baru enam belas tahun, namun beban hidupnya menua dalam diam. Di sekolah pinggiran kampung, ia kerap bentrok dengan teman-temannya. Mereka menganggapnya berbeda; pikirannya terlalu liar, pandangannya terlalu luas, dan keinginannya seringkali bertolak belakang dengan arus yang tenang di desa itu. Ia sering dituduh sombong, hanya karena cita-citanya tak seperti anak-anak lain yang cukup dengan menjadi petani atau nelayan udang galah.


Udang galah memang menjadi nadi ekonomi kecil di desanya. Di pasar setempat, udang ini dihargai cukup tinggi. Sekilo udang galah bisa dijual hingga dua ratus ribu rupiah, angka yang cukup besar untuk membantu keluarga. Tradisi menangkap udang galah sudah turun-temurun dilakukan, terutama oleh suku Dayak Tidung yang menghuni desa-desa di sepanjang Sungai Sesayap. Mereka memiliki alat tangkap tradisional yang disebut 'rengkek,' anyaman bambu yang dipasang di dasar sungai, atau 'tempirai,' jaring yang dijalin sendiri, digunakan dengan kebijaksanaan nenek moyang. Tradisi ini bukan sekadar teknik, namun filosofi hidup yang menghormati alam.


Seperti ayahnya, Angelia hobi menangkap udang galah. Setiap sore, ia menyusuri sungai dengan sampan kecil milik keluarganya, mengamati arus, memperhatikan tanda-tanda di air yang keruh. Baginya, mencari udang bukan hanya cara untuk menambah penghasilan, melainkan meditasi. Di atas perahu kecil itu, Angelia sering berbincang dengan Pak Baul, seorang tetua desa yang dikenal bijak. Meski usianya hampir 70 tahun, tubuh Pak Baul masih kuat dan tangguh. 


"Kenapa kau selalu termenung, Angelia?" tanya Pak Baul, suaranya seperti gumaman ombak yang berbisik.


Angelia hanya tersenyum kecil. "Aku... ingin pergi dari sini, Pak. Aku ingin belajar di kota, bukan hanya soal udang atau sungai, tapi sesuatu yang besar."


Pak Baul menghela napas, tatapannya kosong menembus permukaan sungai. "Kau tahu, air ini tidak pernah merasa kurang, meski dialiri berjuta-juta aliran anak sungai. Mungkin kau bisa belajar dari itu. Orang yang benar-benar menguasai dirinya, bisa tinggal di mana saja, hidup dengan tenang tanpa banyak bertanya."


“Tapi Pak,” potong Angelia, “bukankah kita punya hak untuk bermimpi? Untuk keluar dari pola hidup ini, untuk menembus batas?”


Pak Baul tertawa kecil, namun suaranya sarat pengalaman. "Mimpi itu seperti sungai ini, anakku. Jika kau terlalu memaksanya, kau bisa terhanyut. Aliran di depan sana mungkin jauh lebih deras daripada yang kau duga."


Percakapan itu selalu membuat Angelia termenung. Di satu sisi, ia merasa terjebak di kampung ini, terperangkap oleh adat dan tradisi yang mengikat. Namun di sisi lain, peringatan Pak Baul tentang keikhlasan hidup seolah terus menggema, mencegahnya melangkah terlalu jauh.


***


Konflik batin Angelia semakin memuncak ketika ibunya jatuh sakit. Biaya pengobatan tak murah, dan ayahnya hanya bisa mengandalkan hasil tangkapan udang galah. Setiap hari, ia membantu ayahnya menjala di sungai, meski hatinya ingin berontak. Obsesi pada cita-cita yang lebih tinggi seringkali berbenturan dengan kenyataan pahit yang menamparnya tiap hari. 


Suatu sore, saat ia selesai menarik rengkek yang berisi udang, Angelia berbicara pada dirinya sendiri. “Aku harus keluar dari sini. Tapi bagaimana dengan Ibu? Bagaimana dengan Ayah?”


Ia menatap udang-udang yang menggeliat, berharap mendapat jawaban. Tak lama kemudian, Pak Baul datang menghampiri.


“Kau tahu, Angelia, hidup adalah pilihan. Tapi jangan pernah lupakan bahwa pilihan selalu punya harga. Ketika kau memilih untuk mengejar sesuatu, mungkin ada yang harus kau tinggalkan,” kata Pak Baul dengan suara yang tenang namun tegas.


“Kau pernah bilang, Pak, bahwa sungai ini adalah rumahmu. Apakah kau tak pernah ingin pergi?” tanya Angelia, suara seraknya bergetar.


Pak Baul tersenyum, tatapannya penuh pemahaman. “Mungkin dulu aku pernah, Nak. Tapi hidup ini mengajarkan bahwa yang kita cari seringkali sudah ada di depan mata. Kadang kita hanya perlu membuka hati.”


Angelia terdiam. Pertarungan di dalam dirinya terus berlangsung, antara kewajiban untuk keluarga dan hasrat akan masa depan yang lebih luas. Di desa kecil itu, impian terasa seperti kemewahan, seolah hanya hak istimewa mereka yang lahir di kota besar. Tapi perlahan ia memahami, mungkin mimpi tak harus meninggalkannya; mungkin mimpi bisa tumbuh, berakar, dan hidup di sini, di tepi sungai yang tenang.


Malam itu, ia berbicara dengan ayahnya, menyampaikan hasratnya untuk membantu lebih banyak dalam pekerjaan udang, demi menyokong pengobatan ibu. Ia tahu, setidaknya untuk saat ini, langkah-langkah kecilnya lebih dibutuhkan di sini. Setiap tarikan rengkek, setiap udang yang mereka dapat, adalah upayanya memperjuangkan mimpi dengan cara yang berbeda.


Angelia tahu, sungai ini masih menyimpan banyak jawaban, dan mungkin, di suatu hari nanti, airnya akan membimbingnya pada masa depan yang ia dambakan tanpa perlu meninggalkan akar dan tradisi yang mengalir dalam darahnya.

Comments