IQ ORANG INDONESIA
Ketika berbicara tentang IQ atau Intelligence Quotient, kita kerap terbentur pada kesimpulan sederhana bahwa IQ adalah pengukuran kecerdasan seseorang. Lebih dari sekadar angka, IQ membentuk wajah suatu bangsa—membentang dari sisi ilmiah hingga filosofis, dari realitas ekonomi hingga tafsir budaya. Di Indonesia, topik IQ merembes ke dalam diskusi lebih luas yang mencakup persoalan stunting, kemiskinan, dan iklim sosial-budaya kita. Apakah IQ kita menggambarkan potensi bangsa ini? Atau malah mencerminkan keterbatasan yang belum terselesaikan?
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Lynn dan Vanhanen (2002), rata-rata IQ global berkisar di angka 90 hingga 110, sementara Asia Timur mencatatkan angka tertinggi dengan rata-rata IQ di atas 105. Indonesia, sayangnya, berada di bawah rata-rata dunia dengan IQ sekitar 87. Dalam konteks ini, di tengah pesatnya perkembangan pendidikan di banyak negara Asia, Indonesia tampaknya masih tertatih mengejar ketertinggalan.
Di balik angka IQ, ada masalah gizi yang menghantui: stunting. Dalam studi UNICEF (2021), sekitar 30% anak Indonesia menderita stunting, akibat kekurangan gizi sejak usia dini. Stunting bukan sekadar masalah kesehatan; ini adalah lonceng yang menandakan potensi anak-anak kita terhambat sejak lahir. Tubuh dan otak yang kurang gizi tidak mampu berkembang maksimal, dan IQ menjadi salah satu korban yang paling nyata.
Hubungan IQ dengan kemiskinan membentuk siklus yang sulit ditembus. Kemiskinan menyebabkan keterbatasan akses pada pendidikan, yang pada gilirannya menghalangi perkembangan intelektual anak. Ditambah lagi dengan lingkungan hidup yang sering kali keras dan tidak kondusif: polusi udara, air tercemar, hingga akses kesehatan yang tidak merata. Dalam sebuah kajian dari Perdue University (2020), lingkungan hidup yang buruk—baik dalam segi fisik maupun akses pelayanan—berperan signifikan dalam merendahkan kapasitas kognitif seorang anak, apalagi jika kemiskinan menjadi tembok penghalang.
Lingkungan sosial budaya kita sendiri, dengan segala tantangan dan kenyamanannya, turut berperan dalam membentuk IQ. Pola asuh yang hierarkis dan otoritatif sering kali mengekang perkembangan kritis dan analitis anak-anak. Di samping itu, ekspektasi sosial yang menempatkan pendidikan sebagai “syarat” status sosial, bukannya mendorong pencarian pengetahuan sejati, malah mendorong banyak anak hanya untuk “lulus ujian.” Di sini, IQ bukan lagi indikator intelektual, melainkan simbol sosial.
Bahasa juga menjadi refleksi dari IQ suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, rendahnya minat baca dapat dilihat sebagai satu indikasi ketertinggalan kognitif. Bahasa kita pun, baik dalam karya sastra maupun komunikasi sehari-hari, kurang membiasakan pola pikir kritis. Hal ini senada dengan Nietzsche (1886) yang pernah menulis, “Bahasa adalah penjara pikiran,” menunjukkan bahwa keterbatasan bahasa bisa membatasi cara berpikir kita. Rendahnya IQ pun pada akhirnya menghambat kita dalam mengeksplorasi bahasa lebih mendalam.
Secara filosofis, rendahnya IQ dapat menyebabkan keterbatasan dalam memahami konsep-konsep abstrak. Kecenderungan untuk menerima saja tanpa mempertanyakan mungkin bukan semata-mata warisan budaya, tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang terbatasi oleh lingkungan.
Secara psikologis, rendahnya IQ mempengaruhi persepsi diri individu dan rasa percaya dirinya. Di Indonesia, stigma terhadap kecerdasan masih kuat: anak-anak dengan IQ rendah kerap kali dianggap “tidak mampu” atau “kurang pintar,” padahal kemampuan intelektual tidak sesempit angka IQ saja.
Sosiolog Emile Durkheim (1893) berpendapat bahwa masyarakat membentuk individu seperti “gumpalan tanah liat,” dengan IQ sebagai salah satu bahan mentahnya. Budaya kolektif di Indonesia yang lebih mengutamakan harmoni dan rasa bersama, kadang menyempitkan kesempatan individu untuk berkembang. Akibatnya, mereka yang lahir dalam keterbatasan intelektual dan ekonomi, sering kali tidak pernah berhasil keluar dari “lingkaran setan” kemiskinan.
Dari segi teologis, IQ juga memiliki peran yang menarik. Tradisi agama di Indonesia sering kali mengaitkan kecerdasan dengan “anugerah ilahi.” Keyakinan ini membuat masyarakat kita menghargai mereka yang dianggap “cerdas,” namun di sisi lain, mengabaikan mereka yang ber-IQ rendah sebagai bentuk takdir yang harus diterima tanpa upaya perbaikan. Teologi semacam ini bisa berpotensi mengerdilkan upaya manusia untuk mengubah nasibnya melalui ilmu dan kerja keras.
Tema IQ juga merasuki budaya pop, termasuk film dan novel. Dalam novel "Of Mice and Men" karya John Steinbeck (1937), misalnya, tokoh Lennie yang ber-IQ rendah menghadapi diskriminasi dan kesulitan sosial. Di Indonesia, film "Laskar Pelangi" mengangkat tema yang tak jauh berbeda—tentang bagaimana anak-anak dengan latar belakang miskin terhambat dalam pendidikan. Media ini mencerminkan kenyataan yang keras tentang bagaimana IQ yang rendah, terutama jika ditambah dengan kemiskinan, dapat menutup peluang seseorang untuk maju.
Seorang penyair pernah menulis, “Betapa bodohnya kita, yang tak pernah tahu apa yang kita tak tahu.” Kutipan ini adalah refleksi dari masalah IQ yang kompleks di Indonesia. IQ bukan hanya soal kecerdasan; ia adalah cerminan dari lingkungan, ekonomi, budaya, dan bahkan teologi kita. Untuk mengubahnya, kita tidak cukup hanya menambahkan angka pada nilai IQ, tapi merombak struktur sosial yang mengekangnya.
Comments
Post a Comment