KURIKULUM BERORIENTASI KEMAJUAN
"Dunia ini tak cukup besar untuk impian manusia yang sangat sederhana." — (Hamid Jabbar, "Sajak untuk Orang-Orang").
Di dunia yang terus berubah dan digerakkan oleh teknologi, banyak negara kini mengarahkan pendidikan mereka pada satu tujuan: kemajuan ekonomi. Dalam arti paling langsung, pendidikan menjadi alat untuk menyiapkan generasi yang mampu bersaing, berinovasi, dan, di atas segalanya, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Bukan lagi mimpi, negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan telah lama mengadopsi kurikulum yang mengakar pada inovasi dan kewirausahaan. Jerman, misalnya, dengan sistem "dual education"-nya, menggabungkan pembelajaran di sekolah dan pengalaman langsung di industri, menciptakan tenaga kerja siap pakai dengan keahlian yang relevan dengan pasar kerja (Schuetze, 2019). Sementara itu, Korea Selatan memandang pendidikan sebagai landasan nasionalisme dan kemajuan, dengan kurikulum yang mendorong keahlian digital dan daya saing global, menghasilkan para pemimpin di bidang teknologi dan inovasi.
Namun, di balik kenyataan itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: apa makna dari pendidikan yang hanya melihat kemajuan ekonomi sebagai tujuan akhir?
Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat pergeseran besar dalam tren ekonomi global. Dari kapitalisme industri, dunia bergerak menuju ekonomi berbasis informasi dan inovasi. Di sinilah teknologi dan sains memainkan peran sentral. Kemajuan dalam kecerdasan buatan, bioteknologi, dan energi terbarukan menjadi contoh bagaimana pengetahuan baru bukan sekadar alat bantu, tetapi motor utama pertumbuhan ekonomi. Ini bukan sekadar soal menguasai teknologi, tetapi menguasai keterampilan berpikir kritis, analisis data, dan adaptasi dalam lanskap yang tak menentu.
Di dunia pendidikan, tren ini mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan manusia yang fleksibel, berpikir cepat, dan mampu beradaptasi. Negara-negara maju, seperti Singapura dan Finlandia, bahkan mulai mengadopsi model pendidikan yang lebih berpusat pada pengembangan "soft skills", keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan berkolaborasi. Alih-alih berfokus pada hafalan, mereka mendorong siswa untuk mengeksplorasi, bertanya, dan memecahkan masalah nyata, menyiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan zaman.
Bagi Indonesia, harapan menjadi negara maju pada tahun 2045 adalah impian besar, sebanding dengan populasi muda yang melimpah dan sumber daya alam yang luas. Namun, agar potensi ini menjadi kenyataan, sistem pendidikan kita harus lebih dari sekadar memberi bekal dasar. Pendidikan harus menjadi penggerak bagi ekonomi berbasis pengetahuan, yang memandang siswa bukan sekadar pekerja masa depan, tetapi sebagai inovator.
Namun, ada dilema di sini. Pendidikan yang berorientasi pada kemajuan ekonomi sering kali menciptakan jarak antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan nilai-nilai kultural masyarakat. Dalam filsafat pendidikan, hal ini menimbulkan perdebatan: apakah pendidikan semestinya mengejar ekonomi semata atau tetap menekankan nilai-nilai luhur sebagai pembentuk jati diri individu? Plato, dalam pandangannya tentang "paideia, menganggap pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter, bukan sekadar menghasilkan tenaga kerja (Plato, "The Republic"). Di Indonesia, nilai gotong royong, kekeluargaan, dan kebersamaan tetap menjadi dasar yang harus diperhitungkan.
Pendidikan yang terlampau berorientasi pada ekonomi juga menghadirkan tantangan psikologis. Dalam pandangan psikologi pendidikan, motivasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik. Ketika pendidikan dipandang sebagai alat semata untuk mencari pekerjaan, ada risiko kehilangan motivasi intrinsik, yang sebenarnya menjadi landasan bagi pembelajaran yang lebih mendalam dan berkelanjutan (Ryan & Deci, 2000). Sosiolog Pierre Bourdieu juga berpendapat bahwa pendidikan yang berfokus pada ekonomi cenderung memperkuat struktur sosial yang ada, menciptakan ketimpangan yang sulit diatasi (Bourdieu, 1986).
Jika kita setuju bahwa pendidikan harus berperan dalam memajukan ekonomi Indonesia, maka kurikulum harus memuat elemen-elemen yang relevan. Dalam pendidikan dasar dan menengah, fokus pada literasi digital, literasi sains, dan pengembangan keterampilan kewirausahaan sangat penting. Anak-anak perlu belajar lebih dari sekadar rumus, tetapi memahami bagaimana memecahkan masalah, berpikir kreatif, dan berkolaborasi dalam kelompok.
Untuk anak usia dini, pendidikan berbasis kreativitas dan eksplorasi menjadi landasan yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kognitif anak usia dini berkorelasi dengan kesuksesan mereka di masa depan, terutama ketika mereka didorong untuk mengeksplorasi dunia dengan cara mereka sendiri (Gopnik, 2016). Di sinilah kurikulum berorientasi kemajuan ekonomi bisa mulai ditanamkan dengan cara yang lebih halus, misalnya, dengan membiarkan mereka belajar dari permainan, mengeksplorasi, dan mengembangkan keingintahuan.
“Sekolah adalah benih bagi pemikiran bebas. Sekolah adalah harapan untuk dunia yang lebih baik,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam "Bumi Manusia". Pendidikan semestinya lebih dari sekadar alat untuk mencetak generasi pekerja. Pendidikan adalah mimpi kolektif tentang peradaban, tentang makna kehidupan, dan tentang nilai-nilai yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Pendidikan adalah tempat di mana ekonomi dan kemanusiaan bertemu, tempat kita merajut masa depan yang seimbang antara kebutuhan material dan spiritual.
Bila kita mengejar pendidikan yang berorientasi pada kemajuan ekonomi, kita harus memastikan bahwa kurikulum kita tetap mempertahankan sentuhan kemanusiaan. Karena pada akhirnya, manusia bukan mesin ekonomi. Kita adalah makhluk yang punya rasa, yang mencari makna, dan yang, seperti dalam puisi W.S. Rendra, selalu rindu pada “pintu yang terbuka pada langit luas” (Rendra, Potret Pembangunan).
Comments
Post a Comment