LA NINA
Di atas langit kelabu, di tengah gelombang besar yang mendekat, "La Nina" terdengar seperti sebuah nada melankolis. La Nina tidak hanya berarti badai, tapi juga metafora bagi ketidakpastian—seperti menulis sajak yang tak kunjung selesai, seperti meraba makna yang tersembunyi dalam kabut.
Secara ilmiah, La Nina adalah fenomena iklim yang terjadi ketika suhu permukaan laut di bagian timur dan tengah Samudra Pasifik Tropis mengalami penurunan yang signifikan. La Nina adalah kebalikan dari El Nino, tetapi keduanya memiliki dampak yang sama luar biasanya. Selama La Nina, aliran udara timur menguat, menyebabkan udara hangat di permukaan laut bergerak menuju barat dan memungkinkan air dingin naik ke permukaan di pesisir Amerika Selatan. Akibatnya, suhu permukaan laut yang lebih dingin ini mempengaruhi pola curah hujan dan angin di seluruh dunia.
Di dunia, La Nina menghadirkan pola cuaca ekstrem yang berbeda-beda: musim dingin yang lebih basah di Amerika Serikat bagian selatan, kekeringan di bagian utara Amerika Selatan, dan badai hebat di Samudra Pasifik Barat. Di Indonesia, fenomena ini memperburuk musim penghujan, membawa curah hujan lebih banyak dan meningkatkan risiko banjir. Ini adalah saat di mana sungai-sungai yang tenang berubah ganas, desa-desa yang damai mendadak dikelilingi air yang tak kenal belas kasihan.
La Nina, seperti badai lainnya, membawa ujian bagi psikologi manusia. Dalam teori psikologi, ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan cuaca dapat memicu kecemasan kolektif. Dalam teori perilaku adaptif, manusia belajar bertahan melalui stresor eksternal yang di luar kendali. Namun, berhadapan dengan bencana yang tak terduga seperti banjir bandang di desa terpencil, di situlah keajaiban ketahanan psikologis manusia berperan. Begitu kita mencoba memahami badai yang menghantam kita, begitu juga kita memahami badai yang ada di dalam diri kita.
Bagi sosiologi, bencana seperti La Nina menciptakan momen solidaritas. Emile Durkheim pernah mengatakan bahwa bencana adalah ujian solidaritas masyarakat; perasaan kolektif dari penderitaan bersama ini memperkuat ikatan sosial. Di tengah banjir, sering kita temukan orang-orang saling membantu, membangun tanggul darurat, atau menyediakan makanan bagi mereka yang terkena dampak. La Nina mengingatkan kita bahwa dalam badai yang kita alami bersama, manusia memiliki kekuatan untuk berbagi, untuk berempati, dan untuk bertahan.
Dalam lingkup linguistik, bahasa menciptakan narasi bagi manusia untuk memahami dunia yang kacau. Kata "La Nina," yang dalam bahasa Spanyol berarti "anak perempuan," membawa kesan lembut, namun ironisnya memiliki makna yang menakutkan. Fenomena ini dipersonifikasikan sebagai sosok feminin, mungkin mengingatkan kita pada citra "Ibu Alam" yang penuh kekuatan. Melalui bahasa, manusia memberi makna pada alam, menghadirkan antropomorfisme untuk memudahkan kita bernegosiasi dengan ketidakpastian.
Dalam budaya populer, La Nina telah menjadi simbol ketidakstabilan alam dan kehidupan. Dalam film, badai atau banjir seringkali digunakan untuk menandakan kehancuran, seperti dalam film "The Impossible" (2012) yang menceritakan tentang tsunami, atau "Weathering with You" (2019) dari Jepang yang menyoroti perubahan iklim. Film-film ini merefleksikan ketakutan kita terhadap alam yang tak terkendali, namun juga menyajikan keindahan dari kekuatan alam.
Secara ekonomi, La Nina membawa risiko sekaligus peluang. Di sektor pertanian, hujan berlebih bisa merusak tanaman, menurunkan produksi, dan mengancam ketahanan pangan. Namun, ada pula peluang ekonomi, terutama di sektor konstruksi dan bantuan kemanusiaan yang diaktifkan oleh kebutuhan mendesak akan pemulihan. Infrastruktur baru dibangun, lapangan kerja diciptakan, dan roda ekonomi berputar melalui upaya rehabilitasi.
Dalam prosa, La Nina kerap hadir sebagai metafora kehancuran yang penuh harap. Seperti kata Ernest Hemingway dalam "The Old Man and the Sea" (1952), "A man can be destroyed but not defeated." La Nina, dalam metafora ini, menjadi badai yang menghancurkan tetapi juga menyatukan. Begitu pula dalam musik, dalam lagu seperti "The Sound of Silence" dari Simon & Garfunkel (1964), di mana keheningan menjadi simbol dari kerusakan yang tenang—La Nina menghadirkan suara hening dalam kerusakan yang dia tinggalkan.
La Nina adalah pengingat bahwa kehidupan adalah rangkaian badai yang datang tanpa permisi. Seperti puisi Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” mungkin kita, di tengah ketidakpastian La Nina, merasakan keinginan yang sama—keinginan untuk bertahan, untuk menciptakan makna, dan untuk terus hidup dalam dunia yang tak sepenuhnya kita pahami.
Comments
Post a Comment