PATRIOTISME


PATRIOTISME 


Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan selalu menggaungkan istilah "patriotisme" dan "patriotik" yang terasa sebagai panggilan kebangsaan yang dalam. Di era globalisasi ini, penggunaan kata patriotisme kadang terdengar seperti nostalgia yang menyejukkan dan kadang terasa asing, seolah mengingatkan kita pada masa yang berbeda, di mana kebanggaan dan pengorbanan untuk bangsa adalah hal mutlak. Merenungi konsep patriotisme dalam pidato Prabowo membuka ruang untuk menguraikan bagaimana kata ini bekerja dalam konteks bahasa, psikologi, sosiologi, filsafat, politik, dan bahkan dalam film dan novel.


Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer, tempat makna ditentukan oleh relasi antarsimbol. Patriotisme, dalam pidato Prabowo, menjadi semacam tanda yang sarat makna historis dan emosional. Kata ini bukan sekadar kata benda; ia adalah konsep yang menggugah kebanggaan dan panggilan aksi. Roland Barthes dalam "Mythologies" (1957) mengungkapkan bahwa kata-kata tertentu membawa mitos sosial—patriotisme, dalam hal ini, menjadi semacam "mitos modern" yang membawa memori kolektif dan aspirasi masyarakat. Dalam setiap ucapan Prabowo tentang patriotisme, kata itu meresap dengan makna dan resonansi tertentu, membawa beban sejarah, pengorbanan, dan aspirasi.


Secara psikologis, patriotisme menyentuh sisi afektif individu terhadap negara. Teori psikologi sosial Henri Tajfel tentang "Social Identity Theory" (1979) menyebutkan bahwa individu membentuk identitas kolektif mereka dengan berafiliasi pada kelompok-kelompok besar, seperti negara. Patriotisme dalam konteks ini memperkuat identitas kolektif dengan mengedepankan kedekatan emosional terhadap bangsa. Melalui pidato Prabowo, ajakan patriotisme diartikulasikan sebagai jalan untuk menguatkan solidaritas nasional. Sigmund Freud, dalam "Group Psychology and the Analysis of the Ego" (1921), menyebutkan bahwa pengelompokan kolektif menciptakan rasa kesamaan yang kuat, dan patriotisme menjadi "pengikat" yang mempersatukan kelompok-kelompok yang mungkin berbeda. 


Dalam sosiologi, patriotisme kadang disandingkan atau disilangkan dengan nasionalisme. Sosiolog Anthony D. Smith dalam "National Identity" (1991) menyatakan bahwa patriotisme bersifat defensif dan menekankan kesetiaan pada tanah air, sementara nasionalisme bersifat lebih aktif dan politis. Bagi Prabowo, istilah patriotik adalah cara menyampaikan panggilan untuk melindungi nilai dan kedaulatan bangsa, sesuai dengan perannya di ranah pertahanan negara. Pada level ini, patriotisme menjadi jembatan sosial untuk menekankan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi negara.


Dalam ranah filsafat, patriotisme mengundang diskusi tentang kebajikan dan keutamaan. Aristoteles dalam "Nicomachean Ethics" (sekitar 350 SM) menyebut "eudaimonia", atau hidup yang bermakna, adalah hasil dari tindakan kebajikan, salah satunya adalah cinta terhadap komunitas. Patriotisme bisa dipandang sebagai kebajikan, bentuk cinta yang sehat terhadap tanah air yang memberikan arti pada hidup. Di dalam pidato-pidato Prabowo, patriotisme tidak hanya ditekankan sebagai kewajiban melainkan sebagai jalan menuju kebermaknaan. Bagi Prabowo, seorang patriot adalah mereka yang mencapai eudaimonia melalui kontribusi mereka kepada tanah air.


Dalam teori politik, patriotisme sering digunakan sebagai alat pemersatu dan pengikat sosial. Menurut Benedict Anderson dalam "Imagined Communities" (1983), bangsa adalah komunitas yang "dibayangkan," dan patriotisme membantu membangun imajinasi kolektif itu. Pidato Prabowo sering kali menegaskan pentingnya kesatuan nasional untuk menghadapi ancaman eksternal maupun internal, menggunakan patriotisme sebagai landasan politik. Patriotisme menjadi kerangka politik yang, menurut Max Weber, memberikan "legitimasi" bagi kekuasaan negara dalam rangka mempertahankan tatanan.


Dalam konteks pertahanan dan keamanan, patriotisme bukan hanya retorika tetapi menjadi dasar legitimasi. Carl von Clausewitz dalam "On War" (1832) menekankan bahwa perang adalah perpanjangan politik, dan pertahanan negara membutuhkan dukungan penuh rakyatnya. Bagi Prabowo, patriotisme bukan sekadar kebanggaan, melainkan kesiapan warga negara untuk menjaga kedaulatan. Ini adalah ajakan implisit untuk siap membela negara di hadapan segala ancaman, baik nyata maupun potensial.


Patriotisme telah menjadi tema kuat dalam film dan novel. "Saving Private Ryan" (1998), misalnya, mengeksplorasi patriotisme melalui kisah tentara yang rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan satu prajurit. Di dunia sastra, novel "For Whom the Bell Tolls" (1940) karya Ernest Hemingway menggambarkan bentuk patriotisme sebagai sebuah tragedi dan panggilan moral. Karya-karya ini mencerminkan dilema dan konflik yang dihadapi oleh seseorang yang dihadapkan pada panggilan tanah air, namun juga menyoroti harga yang harus dibayar.


Sapardi Djoko Damono dalam puisi "Aku Ingin" menulis, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana." Patriotisme yang sederhana, mungkin seperti yang dimaksud Prabowo dalam pidato-pidatonya, adalah cinta yang nyata dan dalam, yang tak perlu dieksplorasi dengan kata-kata mewah. Ini adalah cinta tanah air yang sederhana, yang menyentuh, tanpa perlu hingar-bingar.


Pidato Prabowo tentang patriotisme mengingatkan kita pada seruan kebangsaan di tengah dunia yang semakin pragmatis. Patriotisme bukan sekadar kata; ia adalah simbol yang, seperti kata Barthes, menjadi mitos yang terus menghidupkan memori, harapan, dan idealisme kolektif. Bagi sebagian orang, mungkin ini hanyalah retorika politik, tetapi bagi yang lain, ini adalah panggilan yang bermakna. Sebuah bangsa, akhirnya, dibentuk oleh cinta yang kuat dari rakyatnya, yang siap berkorban demi keberlangsungan negara. Prabowo menghidupkan kembali patriotisme sebagai pengikat sosial di tengah dunia yang semakin mengglobal.


Comments