PENDIDIKAN YANG MENGGEMBIRAKAN
Pendidikan, dalam wujud idealnya, adalah perjalanan menuju pemenuhan diri, tempat jiwa bertumbuh dan mekar. Sayangnya, institusi yang kita sebut "sekolah" sering kali justru menjadi tempat yang terasa menekan, bukan membebaskan. Apakah salah di ruangnya? Atau dalam struktur yang kita bangun sendiri?
Ki Hadjar Dewantara mengajarkan, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang mendukung. Dalam prinsip ini, Ki Hadjar Dewantara menekankan hubungan yang saling menguatkan antara guru dan murid. Di sini, guru bukanlah “sumber” mutlak ilmu, melainkan teman dalam perjalanan belajar yang setara, yang sama-sama tumbuh dalam proses.
Ahmad Dahlan, dengan cara berbeda, menekankan pendidikan yang mendalam dengan nilai agama sebagai dasar. Ia menantang dogma dan mengedepankan ilmu sebagai kunci untuk memahami kehidupan. “Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh,” ujarnya. Ini adalah titik di mana pendidikan menjadi ladang subur untuk membangun kesadaran spiritual sekaligus ilmiah, dua hal yang kerap dianggap terpisah dalam sistem pendidikan modern.
Sedangkan Hasyim Asy'ari, lewat perjuangannya dalam membangun pesantren sebagai pusat pembelajaran berbasis agama, menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus menghapus identitas kultural yang ada, melainkan merawatnya. Beliau menyadari pentingnya konteks lokal, mendukung cara-cara tradisional yang tidak hanya mendidik dalam pengetahuan tetapi juga mengasuh dalam nilai kebersamaan dan kearifan lokal. Ini adalah pendidikan yang merawat dan menumbuhkan akar budaya, tidak menjadikannya asing di rumahnya sendiri.
Dalam konteks pendidikan internasional, teori-teori seperti konstruktivisme Lev Vygotsky (1978) dan Jean Piaget (1969) menyoroti pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Vygotsky menegaskan bahwa pembelajaran tidak terjadi dalam isolasi tetapi dalam konteks masyarakat, tempat individu terus belajar dari satu sama lain. Sebaliknya, Piaget menekankan bahwa belajar adalah proses aktif di mana murid membangun pengetahuan mereka sendiri, bukan hanya menerimanya secara pasif dari guru. Dalam suasana sekolah yang ideal, kedua teori ini tidak bertentangan, melainkan berpadu untuk menciptakan suasana yang hidup.
Pendidikan seharusnya tidak hanya sekedar transmisi pengetahuan, tetapi menghidupkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata. Film “Dead Poets Society” (1989), lewat karakter guru John Keating, menunjukkan potret seorang guru yang tidak terperangkap dalam kurikulum kaku. Keating berkata, “Carpe diem, seize the day, boys. Make your lives extraordinary.” Kutipan ini adalah seruan kepada murid untuk tidak sekadar hidup mengikuti arus, melainkan menciptakan makna mereka sendiri.
Jika kita bicara soal pendidikan yang menggembirakan, kita tidak bisa melewatkan perspektif psikologi. Teori motivasi yang digagas Abraham Maslow (1943), yang menyoroti hirarki kebutuhan manusia, menyatakan bahwa rasa aman dan rasa memiliki adalah prasyarat penting untuk pencapaian diri. Murid-murid di sekolah perlu merasa aman dan diterima, sebelum mereka dapat mencapai aktualisasi diri.
Sosiolog Pierre Bourdieu dalam karyanya “Distinction” (1984) mengkritik sistem pendidikan sebagai reproduksi struktur sosial yang ada. Sekolah-sekolah secara tidak langsung mengajarkan habitus—norma dan nilai kelas sosial dominan—yang mungkin tidak relevan dengan realitas hidup murid dari kelas bawah. Dalam konteks ini, pendidikan nasional kita perlu menyadari bahwa penerapan satu ukuran untuk semua tidak akan pernah memadai dalam menghadapi keragaman kondisi dan latar belakang siswa di negeri ini.
Di Indonesia, kita menemukan pendekatan-pendekatan pendidikan yang sangat unik, terutama di pesantren dan komunitas adat seperti pendidikan di desa adat Baduy. Pada masyarakat Baduy, pendidikan berlangsung secara organik, tanpa struktur sekolah formal, namun nilai-nilai hidup mereka tetap terjaga. Begitu pula di pesantren, pendidikan berlangsung dalam kebersamaan, menggabungkan ilmu agama dan dunia dalam satu kerangka. Tradisi ini mencerminkan sikap “mendidik dengan hati” yang terasa asing dalam konteks pendidikan modern.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa “pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Di sini, kebahagiaan bukan hanya tujuan akhir, tetapi bagian dari proses belajar itu sendiri. Pendidikan yang menggembirakan adalah pendidikan yang memberi ruang untuk menghidupkan kekuatan kodrat anak, yang bukan hanya terfokus pada aspek akademis tetapi juga menghargai perjalanan emosional mereka.
Di dalam pendidikan, bahasa tidak hanya menjadi media penyampaian pengetahuan, tetapi juga sarana penyampaian makna. Menurut teori linguistik Sapir-Whorf (1929), bahasa menentukan cara kita berpikir. Bahasa yang digunakan dalam pendidikan menentukan bagaimana murid memahami diri mereka dan dunia. Ketika kita menggunakan bahasa yang memandang murid sebagai individu yang utuh, kita membantu mereka untuk mengenal kekuatan dan potensi mereka.
Dalam puisi Chairil Anwar, “Aku” (1943), ada keberanian dan keteguhan: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Semangat ini adalah esensi dari pendidikan yang menggembirakan—bukan sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi membangkitkan hasrat hidup, mendorong murid untuk berani menjadi dirinya yang sejati. Jika pendidikan hanya menghasilkan murid yang seragam, di mana letak kebermaknaannya?
Jika kita kembali pada filsafat eksistensialisme, sebagaimana dipopulerkan Jean-Paul Sartre, “man is condemned to be free” (1946). Dalam pendidikan, ini berarti bahwa murid seharusnya memiliki kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri. Namun, sistem pendidikan yang terlalu berstruktur justru kerap menjauhkan mereka dari kebebasan ini. Pendidikan yang menggembirakan akan mendekatkan mereka pada kebebasan dan rasa tanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka sendiri.
Pada akhirnya, pendidikan yang menggembirakan bukanlah sistem yang kaku, melainkan hubungan yang dinamis antara guru dan murid, antara ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan hidup, antara masa lalu dan masa depan. Seperti yang ditulis oleh Khalil Gibran dalam bukunya "The Prophet" (1923), "Kamu bisa memberi mereka cintamu tapi tidak pikiranmu, karena mereka punya pikirannya sendiri." Pendidikan yang menggembirakan adalah pendidikan yang menghormati pikiran dan jiwa manusia.
Comments
Post a Comment