UPACARA BENDERA
Setiap Senin pagi, murid-murid berbaris rapi di lapangan sekolah, di bawah sengatan matahari atau embusan angin dingin. Semua bergeming menatap bendera yang berkibar, menyanyikan lagu kebangsaan, menyatukan pandangan pada satu titik yang sama. Upacara bendera hari Senin telah menjadi ritual yang melekat di banyak sekolah di Indonesia. Namun, di balik harmoni seragam, gema pro dan kontra pun mengalir pelan, bahkan membentuk alur perdebatan yang tak kunjung putus: apa sebenarnya makna dari upacara ini? Apakah ia masih relevan atau sekadar formalitas kosong?
Upacara bendera di sekolah memiliki akar sejarah panjang. Tradisi ini diperkenalkan di Indonesia sejak masa kolonialisme Jepang, saat para pelajar mulai dihadapkan pada simbol nasionalisme dalam bentuk ritual penghormatan bendera. Namun, pada masa awal kemerdekaan, upacara bendera mulai menjadi simbol kebanggaan, lambang harga diri bangsa yang baru merdeka. Dalam periode Orde Baru, upacara ini dilembagakan secara formal sebagai bagian dari pendidikan nasional. Maka, sejak itu, ia menjadi pemandangan yang wajib dilaksanakan setiap Senin pagi. Secara regulasi, keberadaan upacara bendera diatur dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2018 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menegaskan upacara sebagai bagian dari pembinaan karakter kebangsaan.
Dalam perspektif pendidikan, upacara bendera adalah sarana internalisasi nilai kebangsaan dan disiplin. Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan seharusnya “menuntun tumbuhnya anak-anak” menuju kemerdekaan jiwa yang bertanggung jawab (Ki Hajar Dewantara, 1935). Dalam praktiknya, upacara bendera merupakan wujud dari pandangan ini, di mana siswa diharapkan memahami dan meresapi arti dari nasionalisme. Di sisi lain, teori keguruan menekankan peran guru sebagai fasilitator yang harus menanamkan kesadaran nilai pada murid. Namun, bagi sebagian guru modern, upacara bendera menjadi tugas formal yang kadang terlepas dari makna mendalamnya, seolah-olah beban administratif yang harus dituntaskan setiap pekan.
Sekolah, menurut teori institusi pendidikan, adalah perpanjangan dari negara yang bertugas menyiapkan generasi penerus. Dalam konteks ini, upacara bendera adalah simbol pengingat bahwa para pelajar adalah bagian dari bangsa yang lebih besar. Michel Foucault, dalam teori pengawasan dan hukuman, menyoroti bagaimana institusi seperti sekolah mengatur perilaku individu melalui rutinitas dan ritual (Foucault, 1975). Upacara bendera, dalam kacamata ini, adalah alat pembiasaan terhadap keteraturan, disiplin, dan kepatuhan pada otoritas.
Dari sudut pandang psikologi, upacara bendera dapat menjadi pengalaman kolektif yang membentuk identitas sosial siswa. Teori psikologi sosial menunjukkan bahwa tindakan bersama, seperti menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormati bendera, menguatkan rasa memiliki terhadap kelompok yang lebih besar (Tajfel, 1981). Namun, psikologi modern mengakui bahwa simbol-simbol ini tidak selalu diterima secara mendalam. Bagi sebagian siswa, upacara menjadi rutinitas yang dilakukan tanpa refleksi, dan hal ini justru menimbulkan jarak dengan nilai nasionalisme yang diinginkan.
Secara filosofis, upacara bendera dapat dilihat sebagai bentuk perenungan kolektif, mirip dengan konsep Heidegger tentang "meninggalkan waktu untuk kembali pada makna yang esensial" (Heidegger, 1927). Bendera, dalam hal ini, adalah simbol eksistensial yang mengingatkan individu pada identitas bangsa. Namun, dalam dunia modern yang serba cepat, upacara bendera kadang hanya menjadi simbol kosong, kehilangan esensinya karena dijalankan dalam keterpaksaan.
Dalam bahasa, “upacara” berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu “upachara,” yang berarti penghormatan atau persembahan. Sementara “bendera” berasal dari bahasa Belanda “vlag,” yang merujuk pada tanda atau simbol. Secara literal, upacara bendera bisa berarti penghormatan pada simbol kebangsaan. Namun, dalam praktiknya, makna ini terkikis seiring pergeseran budaya dan nilai. Di era digital, di mana individu lebih bebas mengungkapkan pandangan, ritual-ritual ini sering kali diinterpretasi ulang atau bahkan dikritisi.
Dalam perspektif budaya, upacara bendera bisa dianggap sebagai warisan yang memperkuat identitas kolektif. Clifford Geertz menyebut simbol-simbol nasional sebagai unsur budaya yang menyatukan masyarakat dalam solidaritas simbolik (Geertz, 1973). Namun, di era modern, upacara semacam ini sering dianggap kuno oleh sebagian generasi muda, terutama dalam masyarakat yang semakin plural dan individualistis.
Secara sosiologis, upacara bendera dilihat sebagai mekanisme sosialisasi yang menanamkan nilai kolektivitas dan kebersamaan. Menurut Emile Durkheim, upacara adalah “fakta sosial” yang mengatur perilaku individu dalam kelompok. Namun, sosiolog modern melihat adanya potensi disonansi antara tujuan upacara dan penerimaan siswa. Bagi sebagian siswa, upacara bendera lebih dirasakan sebagai kewajiban daripada panggilan nasionalisme.
Upacara bendera juga hadir dalam banyak karya sastra dan film yang mengangkat tema nasionalisme dan identitas. Dalam novel "Pulang" karya Leila S. Chudori (2012), upacara bendera menjadi latar bagi karakter yang mengalami dilema identitas kebangsaan. Film "Ada Apa dengan Cinta?" (2002) juga menyiratkan bagaimana generasi muda mulai mempertanyakan simbol-simbol nasionalisme. Sementara dalam puisi Chairil Anwar “Diponegoro,” ada semangat perjuangan yang bisa disetarakan dengan penghormatan pada bendera sebagai simbol perlawanan (Anwar, 1943).
Bagi saya, upacara bendera adalah perpaduan antara ritual dan ambiguitas. Di satu sisi, ia memiliki makna yang dalam, namun di sisi lain sering kali terasa formalistik. Pengalaman pribadi saat berdiri berjam-jam di bawah matahari sambil mendengarkan pidato panjang membuat saya bertanya, apa makna sebenarnya? Saya teringat akan puisi Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin,” di mana Sapardi mengungkapkan keinginan untuk memberikan makna tanpa terlalu terlihat. Mungkin demikian pula upacara bendera seharusnya, sebuah ritual yang tidak perlu dipaksakan agar tidak kehilangan makna aslinya.
Di akhir esai ini, saya teringat pada kata-kata tokoh dalam film "Laskar Pelangi": "Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa bisa kita mengeluh." Mungkin itulah hakikat upacara bendera bagi sebagian besar dari kita, sebuah keberanian untuk terus mengenali identitas kita, bahkan ketika ritual itu sendiri belum tentu kita pahami sepenuhnya.
Comments
Post a Comment