BRAIN DRAIN
Fenomena brain drain—ketika para intelektual dan tenaga kerja terampil meninggalkan tanah air mereka demi peluang yang lebih baik di luar negeri—adalah paradoks modern yang mempersoalkan keadilan global. Ia membawa harapan pada individu, namun sering meninggalkan kekosongan di tempat asal. Di sini, saya mencoba mengurai isu ini dengan campuran data, analisis lintas disiplin, dan refleksi pribadi.
Menurut laporan UNESCO, lebih dari 2,5 juta mahasiswa internasional pada tahun 2021 meninggalkan negara asal mereka demi studi di luar negeri. Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia menjadi tujuan utama. Di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 9.000 mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri setiap tahunnya. Di balik itu, banyak dari mereka enggan kembali karena kurangnya peluang kerja sebanding dengan kompetensi mereka.
Di negara berkembang seperti Indonesia, brain drain sering kali menjadi gejala dari ketimpangan sistemik: ekonomi yang tidak kompetitif, birokrasi korup, dan penghargaan yang minim terhadap meritokrasi. Dalam bukunya The Wealth of Nations, Adam Smith pernah berujar, "Kemampuan manusia adalah kekayaan terbesar bangsa." Ketika kekayaan ini keluar, bagaimana nasib bangsa?
Brain drain adalah pemborosan modal manusia. World Bank memperkirakan bahwa negara-negara berkembang kehilangan miliaran dolar karena tenaga kerja terampil pindah ke negara maju. Namun, ada juga argumen bahwa remitansi—uang kiriman dari diaspora—dapat menjadi pengimbang. Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia menerima sekitar $9 miliar remitansi pada tahun 2023. Apakah angka ini cukup untuk menutupi kehilangan talenta? Tidak. Uang tidak dapat menggantikan inovasi yang gagal diciptakan.
Dari perspektif sosiologi, brain drain mencerminkan ketimpangan kekuasaan global. Negara-negara maju menarik tenaga kerja dari negara berkembang, menciptakan "kolonialisme baru" dalam bentuk perampasan talenta. Sebuah novel Timur Tengah, Men in the Sun karya Ghassan Kanafani (1962), mencerminkan impian para imigran yang berakhir tragis di tengah padang pasir. Ia menyuarakan keputusasaan mereka yang meninggalkan tanah kelahiran, hanya untuk kehilangan identitas di tempat baru.
Individu yang memilih untuk meninggalkan negara mereka sering menghadapi dilema emosional: kesedihan meninggalkan keluarga dan budaya versus optimisme akan masa depan. Dalam puisinya The Road Not Taken, Robert Frost menulis, "I took the one less traveled by, and that has made all the difference." Bagi banyak intelektual, perjalanan itu menjadi pilihan yang membawa dampak besar—baik secara pribadi maupun profesional. Namun, apa harga psikologisnya? Perasaan keterasingan, tekanan ekspektasi, dan bahkan kehilangan rasa "pulang".
Budaya sering kali menjadi korban terbesar dari brain drain. Ketika generasi terdidik meninggalkan tanah air, siapa yang akan menjaga dan memperbarui warisan budaya? Film Korea Minari (2020) menggambarkan perjuangan keluarga Korea-Amerika dalam menjaga identitas budaya mereka di negeri asing. Ia menyentuh paradoks antara akulturasi dan nostalgia.
Dalam pandangan filsafat, fenomena ini mempersoalkan konsep keadilan dan kebebasan. Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness berbicara tentang eksistensi manusia yang "terkutuk untuk bebas." Para intelektual memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka, tetapi apakah kebebasan itu menciptakan keadilan bagi bangsa mereka?
Brain drain juga menantang gagasan Aristoteles tentang manusia sebagai zoon politikon—makhluk sosial yang berkomunitas. Ketika individu pergi demi tujuan pribadi, bagaimana kita mendefinisikan tanggung jawab kolektif?
Fenomena brain drain adalah salah satu refleksi paling getir dari ketimpangan global. Saya tidak bisa tidak bertanya pada diri sendiri: Jika saya dihadapkan pada pilihan yang sama, apakah saya akan pergi atau tinggal? Dunia menawarkan peluang, tetapi tanah air menawarkan akar. Barangkali, solusinya adalah menciptakan sistem yang cukup adil untuk membuat kita bangga tinggal, dan cukup maju untuk membuat dunia ingin datang.
Seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia: “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Mungkin, melawan brain drain berarti memperjuangkan kehormatan tanah air, agar ia menjadi tempat yang layak bagi talenta terbaiknya.
Comments
Post a Comment